Tapanuli Utara menyimpan satu warisan budaya yang tak ternilai: Ulos. Lebih dari sekadar kain tenun, ulos adalah identitas, memori kolektif, dan simbol peradaban Batak. Namun, realitas pasar menunjukkan bahwa warisan ini terancam ditinggalkan oleh generasi muda dan tak mampu bersaing dalam industri kreatif nasional. Harga jual rendah, pemasaran lemah, dan minimnya inovasi menyebabkan banyak penenun hidup dalam keterbatasan.
Di sinilah Power-Dependence Theory (Emerson, 1962) menjadi lensa strategis. Teori ini menekankan bahwa hubungan antara pihak yang memiliki kekuasaan (power) dan yang bergantung (dependence) bisa digunakan secara produktif untuk menciptakan perubahan.
Pemerintah daerah—dalam hal ini Bupati—memiliki kekuatan regulatif untuk "memaksa dengan niat baik", mendorong perubahan struktur pemasaran ulos secara menyeluruh.
Coercive Power yang Solutif dan StrategisPemaksaan bukanlah selalu hal buruk. Dalam konteks pembangunan, coercive power dapat diterapkan dalam bentuk kebijakan wajib penggunaan ulos pada hari-hari tertentu di sekolah, kantor pemerintahan, dan kegiatan adat.
Pemerintah dapat mengarahkan hotel dan restoran lokal untuk menjual souvenir ulos, serta mendesain interior dengan motif-motif lokal. Ini bukan pemaksaan otoriter, tetapi upaya sistematis menghidupkan kembali kebanggaan terhadap budaya sendiri.
Generasi Milenial Sebagai Agen Perubahan
Transformasi tidak bisa mengandalkan kekuasaan semata. Butuh kekuatan baru: generasi muda. Kaum milenial dan pelajar di Tapanuli Utara perlu dilibatkan secara aktif melalui kurikulum budaya lokal, pelatihan pemasaran digital, dan kegiatan wirausaha kreatif di sekolah.
Bayangkan jika setiap siswa SMK mampu membuat kampanye Instagram tentang produk ulos lokal. Mereka bukan sekadar pembelajar, tetapi duta budaya yang modern.
Sungai, Mural, dan Ruang Estetik BaruSungai (Aek) Situmandi dan Sungai Segeaon, yang mengalir di tengah kota Tarutung, selama ini hanya dipandang sebagai saluran air. Padahal, kedua tanggulnya bisa menjadi galeri terbuka—dinding mural yang dihiasi lukisan ulos, tokoh budaya, dan pesan kebhinekaan.
Jika anak-anak muda melukis sejarah Batak di situ, sungai bukan lagi hanya aliran air, melainkan destinasi wisata edukatif dan spot Instagramable. Estetika ruang publik adalah bagian penting dari pemasaran kota dan budaya.
Membangun Ekosistem KolaboratifPemerintah daerah perlu mengambil peran sebagai koordinator pemasaran ulos. Dalam skema power-dependence, pemerintah menjembatani antara penenun, pelaku wisata, komunitas mural, sekolah, dan media lokal.
Koordinasi ini tidak hanya menguatkan nilai jual ulos, tetapi juga membangun kepercayaan sosial (trust) dan komitmen relasional yang kuat. Sinergi inilah yang akan menghasilkan competitive positional advantage—keunggulan bersaing Tapanuli Utara di tengah pasar budaya global.
Wisata Tenun sebagai Daya Tarik Budaya BaruSudah saatnya pemerintah daerah menetapkan desa atau kecamatan yang mayoritas penduduknya adalah penenun ulos sebagai sentra tenun wisata. Dengan branding populer seperti “Kampung Ulos” atau “Desa Kreatif Tenun Batak”, lokasi ini bisa dikembangkan menjadi destinasi wisata edukatif yang menampilkan proses pembuatan ulos secara langsung.
Pengunjung dapat menyaksikan, mencoba menenun, dan membeli produk asli dari tangan pengrajin. Dengan demikian, tenun ulos tidak hanya menjadi simbol budaya, tetapi juga menjadi sumber penghidupan yang berkelanjutan dan daya tarik pariwisata unggulan bagi Tapanuli Utara.
KesimpulanUntuk menyelamatkan ulos, kita tidak cukup hanya "bangga". Kita harus “bertindak”. Kadang, masyarakat memang harus "dipaksa untuk peduli"—dengan kebijakan, dengan pendidikan, dan dengan ruang kreatif.
Ulos tidak boleh menjadi artefak yang hanya dikenakan di acara adat. Ia harus menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari, ekonomi kreatif, bahkan gaya hidup urban. Tapanuli Utara tidak cukup hanya sebagai penghasil ulos, tetapi harus menjadi pemasar ulos terbaik di Sumatera Utara—bahkan Indonesia.