Oleh : Destanul Aulia, SKM, MBA, MEC, Ph.D

Kanker dari Infeksi: Masalah Kesehatan Masyarakat yang Bisa Dicegah dengan Pendekatan “One Health”

Kanker dari Infeksi: Masalah Kesehatan Masyarakat yang Bisa Dicegah dengan Pendekatan “One Health”
Kanker dari Infeksi: Masalah Kesehatan Masyarakat yang Bisa Dicegah dengan Pendekatan “One Health” (Analisadaily/istimewa)

Masih banyak orang yang belum menyadari bahwa sejumlah kanker sebenarnya bisa berawal dari infeksi kronis. Tidak sedikit yang mengira kanker hanya soal faktor keturunan atau gaya hidup tidak sehat. Padahal, bukti ilmiah menunjukkan bahwa virus, bakteri, dan bahkan parasit yang menetap lama di tubuh bisa merusak sel-sel sehat hingga berubah menjadi ganas. Kuman-kuman ini bekerja secara diam-diam. Mereka menimbulkan peradangan yang tidak kunjung sembuh, menghasilkan racun yang merusak DNA sel, dan melemahkan sistem kekebalan tubuh. Lama-kelamaan, akumulasi kerusakan ini membuat sel normal kehilangan kontrol, membelah tak terkendali, dan menjadi sel kanker.

Sejumlah penelitian di dunia sudah membuktikan mekanisme ini. Di tingkat global, sekitar 15% kasus kanker disebabkan oleh infeksi kronis angkanya bahkan lebih tinggi di negara-negara berkembang karena masalah sanitasi, gizi, vaksinasi, dan keterbatasan akses kesehatan. Indonesia termasuk salah satu negara dengan beban kanker akibat infeksi yang masih tinggi.

Beberapa jenis kanker yang paling sering dipicu infeksi di Indonesia antara lain kanker serviks, kanker hati, dan kanker nasofaring. Kanker serviks masih menjadi kanker terbanyak kedua pada perempuan Indonesia, dengan sekitar 36.600 kasus baru setiap tahun (Globocan 2020). Kanker hati menyusul dengan lebih dari 20.000 kasus baru per tahun, dan kanker nasofaring menduduki peringkat keempat pada laki-laki.

Semua ini erat kaitannya dengan infeksi kronis: Human Papillomavirus (HPV) pada kanker serviks, virus hepatitis B dan C pada kanker hati, dan Epstein-Barr Virus (EBV) pada kanker nasofaring. Jenis kanker lain yang juga terkait infeksi adalah kanker lambung akibat bakteri Helicobacter pylori, kanker kandung kemih akibat parasit Schistosoma haematobium, dan kanker saluran empedu akibat infeksi cacing hati dari ikan air tawar mentah atau kurang matang. Bahkan kanker langka seperti kanker kulit Merkel Cell Carcinoma juga dipicu oleh infeksi virus MCPyV, dan leukemia tertentu disebabkan oleh HTLV-1.

Bagaimana kuman-kuman ini bisa sampai menyebabkan kanker? Para peneliti menyebut ada tiga mekanisme utama. Pertama, peradangan kronis yang melukai jaringan tubuh secara berulang-ulang, menciptakan kondisi yang ideal bagi pertumbuhan sel abnormal.

Kedua, kerusakan DNA akibat racun dan stres oksidatif yang dihasilkan selama infeksi. Ketiga, sistem imun yang melemah (imunosupresi), sehingga sel-sel abnormal yang seharusnya bisa dihapus oleh tubuh justru dibiarkan berkembang. Yang lebih mengkhawatirkan, cara penularan kuman-kuman penyebab kanker ini sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari. HPV, misalnya, menular melalui hubungan seksual tidak aman.

Virus hepatitis B dan C bisa menyebar lewat transfusi darah yang tidak steril, penggunaan jarum suntik bergantian, atau dari ibu ke bayi saat proses melahirkan. Bakteri Helicobacter pylori masuk lewat makanan atau minuman yang tidak higienis. Parasit Schistosoma bisa menyerang saat kulit bersentuhan dengan air kotor di daerah endemis. Sementara infeksi cacing hati sering terjadi akibat mengonsumsi ikan air tawar yang tidak dimasak dengan baik.

Fakta ini mestinya jadi pengingat penting bagi kita semua: pencegahan infeksi bukan hanya soal mencegah penyakit menular, tetapi juga tentang melindungi diri dari kanker. Sayangnya, pesan ini belum sepenuhnya sampai ke masyarakat luas. Padahal langkah-langkah pencegahan sangat jelas: vaksinasi HPV dan hepatitis, pola hidup sehat, perilaku seksual yang aman, menjaga kebersihan diri dan lingkungan, konsumsi makanan matang dan bersih, serta melakukan deteksi dini bagi yang berisiko.

Salah satu kunci penting dalam upaya mencegah kanker akibat infeksi adalah deteksi dini. Semakin cepat infeksi kronis diketahui dan diobati, semakin besar peluang untuk mencegah kerusakan jaringan yang dapat berkembang menjadi kanker. Sayangnya, di banyak tempat, deteksi dini infeksi kronis masih jauh dari optimal, padahal teknologi untuk melakukannya sudah tersedia.

Salah satu contoh yang paling berhasil adalah program skrining kanker serviks melalui tes DNA HPV. Infeksi Human Papillomavirus (HPV) pada leher rahim sering tidak menimbulkan gejala pada tahap awal, tetapi bisa memicu perubahan sel prakanker. Melalui tes DNA HPV, materi genetik virus dapat terdeteksi dengan sensitivitas yang tinggi, bahkan sebelum ada kelainan nyata pada jaringan.

Skrining ini memungkinkan dokter memberikan penanganan dini pada lesi prakanker, sehingga mencegah berkembangnya kanker serviks. Negara-negara yang sudah rutin melakukan skrining HPV terbukti berhasil menurunkan angka kejadian dan kematian akibat kanker serviks secara signifikan.

Selain pada kanker serviks, deteksi dini juga penting untuk infeksi kronis yang menyebabkan kanker hati, yaitu hepatitis B dan C. Skrining hepatitis B dan C secara berkala pada kelompok berisiko tinggi seperti ibu hamil, pengguna narkoba suntik, atau pasien dengan riwayat transfusi darah sangat dianjurkan. Infeksi hepatitis yang tidak terdeteksi bisa berkembang menjadi sirosis dan kanker hati. Dengan deteksi dini, pasien bisa mendapat terapi antivirus untuk menekan replikasi virus, memperbaiki fungsi hati, dan menurunkan risiko kanker.

Di era teknologi modern, deteksi infeksi kronis penyebab kanker juga semakin maju berkat teknologi molekuler. Metode seperti Polymerase Chain Reaction (PCR) memungkinkan mendeteksi DNA atau RNA virus, bakteri, atau parasit dengan akurasi tinggi bahkan pada jumlah yang sangat kecil. Ini sangat berguna untuk diagnosis infeksi HPV, EBV, HBV/HCV, bahkan kuman-kuman yang sulit dikultur di laboratorium biasa.

Selain itu, teknik immunohistokimia (IHC) juga digunakan pada jaringan biopsi untuk mendeteksi keberadaan antigen spesifik dari kuman penyebab kanker di dalam sel-sel tubuh. IHC sangat membantu untuk menentukan etiologi infeksi pada kanker yang sudah berkembang, seperti pada kasus kanker nasofaring terkait EBV.

Deteksi dini bukan hanya menyelamatkan pasien secara individu, tetapi juga menjadi strategi kesehatan masyarakat yang sangat efisien. Dengan menemukan infeksi lebih awal, biaya pengobatan jauh lebih rendah, kualitas hidup pasien lebih terjaga, dan beban ekonomi akibat kanker bisa ditekan.

Oleh karena itu, investasi pada program skrining berbasis populasi, perluasan cakupan deteksi pada kelompok berisiko, serta pemanfaatan teknologi diagnostik canggih perlu menjadi prioritas dalam kebijakan kesehatan. Karena mencegah kanker sejak dini, berarti menyelamatkan banyak nyawa di masa depan.

Dalam upaya menurunkan beban kanker di masyarakat, pencegahan selalu lebih baik daripada pengobatan. Strategi pencegahan yang tepat bukan hanya menyelamatkan banyak nyawa, tetapi juga menjadi investasi kesehatan publik yang jauh lebih hemat biaya dibanding merawat pasien kanker pada stadium lanjut.

Salah satu langkah pencegahan paling efektif dan terbukti secara ilmiah adalah vaksinasi. Vaksin HPV, misalnya, telah terbukti mampu melindungi perempuan dan laki-laki dari infeksi Human Papillomavirus, yang menjadi penyebab utama kanker serviks, anus, dan beberapa kanker lain. Begitu juga vaksin hepatitis B (HBV), yang memberikan perlindungan jangka panjang terhadap infeksi hepatitis kronis dan menurunkan risiko kanker hati.

Kedua vaksin ini tidak hanya efektif secara klinis, tetapi juga sangat cost-effective, karena biaya vaksinasi jauh lebih rendah dibandingkan biaya perawatan kanker. Program vaksinasi massal di banyak negara sudah berhasil menurunkan secara nyata angka kejadian kanker terkait infeksi dan Indonesia harus terus memperluas cakupan vaksinasinya.

Selain vaksinasi, edukasi masyarakat juga memegang peran penting dalam strategi pencegahan. Masyarakat perlu lebih memahami bagaimana pola hidup sehat dapat melindungi mereka dari infeksi kronis penyebab kanker. Perilaku sederhana seperti memilih hubungan seksual yang aman, memastikan makanan matang dan bersih, serta menghindari kontak dengan air yang tercemar merupakan langkah nyata yang bisa dilakukan sehari-hari.

Edukasi tentang risiko konsumsi ikan air tawar mentah atau setengah matang, yang bisa membawa cacing hati penyebab kanker saluran empedu, juga perlu digencarkan di daerah-daerah tertentu.

Tak kalah penting adalah upaya pengendalian lingkungan. Sanitasi yang buruk dan air yang terkontaminasi menjadi sumber penularan banyak parasit dan bakteri yang memicu kanker. Program penyediaan air bersih, perbaikan drainase, serta pengendalian populasi siput perantara parasit di daerah endemis Schistosoma, misalnya, terbukti menurunkan angka infeksi kronis. Lingkungan yang sehat berarti menurunkan peluang paparan masyarakat terhadap kuman-kuman penyebab kanker.

Sebagai penulis, saya berkesempatan mengikuti The 2025 International Symposium for One Health Research and Practice: From Vision to Collaboration and Action di Shenzhen, China, yang memperkuat keyakinan saya bahwa pendekatan One Health sangat relevan untuk pencegahan kanker akibat infeksi.

Simposium ini menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor manusia, hewan, dan lingkungan untuk menjawab tantangan kesehatan yang kompleks, termasuk kanker dari infeksi kronis.

Pendekatan One Health membantu kita melihat bahwa masalah kanker akibat infeksi tidak bisa diselesaikan hanya di sektor kesehatan saja. Kerja sama lintas sektor kesehatan manusia, hewan, lingkungan, pendidikan, hingga tata kota adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang lebih sehat.

Melalui komitmen bersama untuk pencegahan berbasis One Health, kita bukan hanya mengobati penyakit yang sudah ada, tetapi benar-benar melindungi masa depan yang lebih sehat bagi semua.

One Health mengajarkan bahwa kesehatan manusia tidak bisa dipisahkan dari kesehatan hewan dan lingkungan. Pendekatan ini mengajak kita untuk bekerja sama lintas bidang melalui enam langkah aksi utama, yaitu: (1)Memperkuat koordinasi lintas sektor dan sistem kesehatan. (2) Mengatasi penyakit zoonosis baru dan yang muncul kembali. (3) Mengendalikan penyakit endemik, tropis terabaikan, dan penyakit akibat vektor yang banyak terkait kanker. (4) Menjaga keamanan pangan untuk mencegah infeksi dari makanan. (5).Melawan resistansi antimikroba yang menghambat pengobatan infeksi kronis. (6) Melindungi lingkungan dari kerusakan, polusi, dan perubahan iklim yang memengaruhi penyebaran kuman.

Sebagai contoh, infeksi cacing hati penyebab kanker saluran empedu sering terjadi akibat ikan air tawar mentah dari lingkungan yang tercemar. Infeksi Schistosoma penyebab kanker kandung kemih terjadi akibat buruknya sanitasi air. Dengan One Health, perbaikan lingkungan, pengendalian populasi perantara (seperti siput), penyediaan air bersih, hingga edukasi masyarakat dilakukan bersamaan untuk mencegah infeksi. Selain itu, keamanan pangan juga penting. Infeksi Helicobacter pylori pada lambung yang menyebabkan kanker lambung erat kaitannya dengan higienitas makanan dan minuman yang dikonsumsi.

Investasi pada strategi pencegahan ini tidak hanya memberi dampak jangka pendek, tetapi juga jangka panjang. Sehatnya masyarakat, ringan pula beban ekonomi negara akibat biaya perawatan kanker yang mahal. Melalui vaksinasi, edukasi yang tepat, dan lingkungan yang sehat, kita bukan hanya melindungi generasi saat ini, tetapi juga generasi mendatang dari ancaman kanker yang sebenarnya bisa dicegah.

Pendekatan One Health membantu kita melihat bahwa masalah kanker akibat infeksi tidak bisa diselesaikan hanya di sektor kesehatan saja. Kerja sama lintas sektor kesehatan manusia, hewan, lingkungan, pendidikan, hingga tata kota adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang lebih sehat. Melalui komitmen bersama untuk pencegahan berbasis One Health, kita bukan hanya mengobati penyakit yang sudah ada, tetapi benar-benar melindungi masa depan yang lebih sehat bagi semua.

Berita kiriman dari: Dosen FKM USU dan Pemerhati Kesehatan Masyarakat

Baca Juga

Rekomendasi