Tim Independen Ungkap Hasil Tinjauan Kasus Natumingka-TPL

Tim Independen Ungkap Hasil Tinjauan Kasus Natumingka-TPL
Tim Independen yang menelusuri kasus bentrokan warga dengan perusahaan di Desa Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Borbor - Tim independen yang meninjau kasus bentrokan antara warga Desa Natumingka, Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba pada 18 Mei 2021 mengungkap sejumlah fakta.

Hasil ini didapat setelah dilakukan observasi langsung ke lokasi yang diperkuat interaksi masyarakat berupa wawancara dengan warga, perangkat desa hingga pejabat musyawarah pimpinan kecamatan (muspika) setempat.

Tim tersebut terdiri dari Ricson Simarmata (koordinator), Hasudungan Butar-butar (sekretaris) dan Ebenezer Manullang (staf advisory) yang melakukan penelusuran dan peninjauan serta pertemuan dan observasi langsung selama tiga hari, 25-28 Mei.

Tim ini sebelumnya juga telah mengungkap dan mempublis hasil telusur bencana banjir dan longsor di Parapat yang terjadi pada 13 Mei 2021.

Pasca peristiwa bentrok di Desa Natumingka, sejumlah fakta temuan tim independen adalah:

1. Jalan umum keluar masuk desa dipalang dan ditutup warga sehingga tim terpaksa menempuh jalur lain dari desa Parsoburan dan Balige dengan waktu tempuh empat jam.

2. Terjadi saling curiga antar warga desa maupun dengan orang luar sehingga terjadi pro-kontra penyaluran bantuan program CSR dari PT TPL.

3. Terjadi salah paham dalam pembongkaran makam leluhur Ompu Puduraman Simanjuntak yang sempat dikait-kaitkan turut memicu konflik antara TPL dengan warga, namun ternyata hal itu atas inisiatif keluarga keturunan Ompu Puduraman sendiri.

4. Kasus yang telah menimbulkan korban cedera di kedua belah pihak (dua orang warga desa dan lima karyawan TPL) telah menimbulkan aksi ‘tangguk air keruh’ bagi sekelompok orang yang menyusup dan menyisip kepentingannya, bahkan ada anggota LSM yang tampak berlagak penguasa, mempertontonkan dominasi dan intervensinya di desa sehingga harus meminta surat tugas dari tim.

5. Selain itu minim dan lemahnya edukasi atau sosialisasi dari pemerintah tentang hak hutan atau tanah adat sehingga warga mengira kepemilikan atau peralihan hak tanah itu bersifat mutlak (instant) tanpa perlu proses legalilasi hukum, sehingga memperburuk hubungan warga desa Natumingka dengan TPL yang selama puluhan tahun ini tampak harmonis hingga masa penanaman enam periode (sejak RKT 1991).

Hasudungan Butar-butar ketika memaparkan hasil telusuran itu, Selasa (1/6) menjelaskan, pasca terbitnya Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) Nomor P.21/MENLHK/SETJEN/KUM.1/4/2019 tentang Hutan Adat dan Hutan Hak, masyarakat merasa dengan sendirinya memperoleh pembagian lahan untuk perluasan pertanian mereka.

"Terlebih, di desa itu ada pihak ketiga dari beberapa kelompok warga yang terindikasi punya agenda kepentingan lain, yang selalu mendorong dan mempengaruhi warga Desa Natumingka dengan dalih mendukung, untuk memperoleh hak kelola hutan adat tanpa harus mengikuti proses dan tahapan sesuai Permen LHK tersebut," kata Hasundungan.

Secara rinci, Hasudungan mengungkap hasil dialog dengan warga Desa Natumingka dan karyawan PT TPL di lokasi berbeda, bahwa bentrokan terjadi mulai pukul 06.30 WIB hingga pukul 15.00 WIB setelah pihak polisi turun ke lokasi kejadian.

Lokasi peristiwa ternyata di luar wilayah Desa Natumingka, sekitar 15 kilometer dari batas desa ke areal TPL, sementara jarak antara batas desa dengan lokasi HTI yang dikelola TPL berkisar 600-an meter.

Bentrokan berawal ketika warga Desa Natumingka dari pihak keturunan Ompu Puduraman Simanjuntak menghalangi karyawan TPL untuk mengerjakan penanaman bibit eucalyptus di lokasi HTI yang baru selesai dipanen beberapa waktu sebelumnya.

Masyarakat menghalangi karena merasa lokasi HTI itu tanah adat mereka, sementara karyawan TPL menyatakan lokasi itu areal HTI TPL yang sah dan buktinya sudah ditanami selama lima periode tanam tanpa pernah ada komplain dan protesa.

Bentrok yang berlanjut aksi lempar kayu dan batu menimbulkan korban luka dua orang dari keluarga Ompu Puduraman Simanjuntak yaitu Jusman Simanjuntak dan Agus Simanjuntak, lima korban luka dari pihak TPL (karyawan dan sekuriti) yakni: Sulaiman Simanjuntak, Teddy Panjaitan, Basrin Nababan, Setia Simatupang dan Prinawati.

Sementara pihak Polres Toba seorang personel juga terluka, yaitu Aipda Mahendra Keliat. Puncak dari bentrokan inilah yang mengakibatkan akses jalan umum keluar masuk desa itu ditutup warga.

Saling Curiga

Soal dampak saling curiga antara warga, Hasudungan mengungkapkan reaksi warga yang juga mendirikan pos-pos pengawasan di beberapa ruas jalan umum. Sesama warga saling mengawasi gerak-gerik semua orang yang mengait-ngaitkan operasional TPL di sekitar desa, terlebih rasa curiga terhadap tamu atau orang luar yang datang ke desa Natumingka. Akibatnya, hubungan sosial antara karyawan TPL dengan warga Desa Natumingka semakin renggang dan memburuk belakangan ini.

Pihak warga yang selama ini bemitra dengan baik dengan TPL jadi kuatir dihakimi atau dicemooh bila menerima bantuan CSR TPL atas peranan sejumlah warga yang bekerja sebagai buruh harian lepas di TPL. Padahal secara ekonomi warga mengaku membutuhkan bantuan kemitraan dari CSR tersebut.

Lalu, soal terjadinya salah paham dalam pembongkaran makam seorang keturunan Ompu Puduruman Simanjuntak (data lain menyebut Panduraman) yang sempat diisukan sebagai aksi bongkar paksa oleh pihak TPL.

Tim independen akhirnya memperoleh klarifikasi final bahwa pihak TPL sama sekali tidak terlibat bahkan tidak tahu menahu soal pembongkaran makam tersebut. Bersama Camat Borbor Castro Simanjuntak, Kades Natumingka James Pasaribu serta beberapa orang warga dan anggota keluarga keturunan Ompu Puduraman Simanjuntak sendiri, plus seorang perwakilan LSM, tim langsung menuju lokasi bekas galian atau bongkaran makam yang memang terletak di pinggir jalan areal HTI TPL.

Dari dialog langsung dengan keluarga keturunan Ompu Puduraman Simanjuntak, yaitu Hotdi Simanjuntak, Resman Simnjuntak dan Kastro Simanjuntak, diperoleh info dan fakta bahwa pembongkaran makam pada 21 April lalu adalah inisiatif dan rencana pihak keluarga sendiri yang ingin memindahkan tulang belulang leluhurnya ke tempat (makam) yang lebih baik, yang jaraknya hanya 100-an meter dan masih berdekatan dengan jalan HTI-TPL.

"Soal indikasi adanya ‘ulah menanguk air di air keruh’ dari peristiwa 18 Mei itu, kami dari Tim Independen dan juga Kepala Desa Natumingka dan Camat Borbor mengalaminya. Saat perkenalan saja di hadapan Kepala Desa dan warga desa, tiba-tiba seorang anggota LSM langsung meminta Surat Tugas Tim Independen, tapi dengan ‘budaya ketimuran’ kami menyerahkan surat tugas kepada Kepala Desa, bukan kepada LSM karena itu bukan hak atau kapasitas dan bukan urusannya. Orang LSM itu sudah mempertontonkan dominasinya di Desa Natumingka dan menunjukkan seolah (LSM itu) sudah jadi salah satu penguasa di desa itu," ujar Hasudungan prihatin.

Klaim Tanah Adat

Lalu, soal tuntutan masyarakat atau warga desa dari barisan keluarga keturunan Ompu Puduraham Simanjuntak yang mengklaim lokasi HTI TPL di desa Natumuingka adalah areal tanah adat, ternyata baru muncul pada tahun ini (2021, periode tanam ke-6). Operasional PT TPL dalam mengelola areal hutan tanaman industri (HTI) di sekitar desa Natumingka selama ini berlangsug aman dan kondusif dengan legalitas SK Menhut No.236/Kpts-IV/1984 dan SK No.493/Kpts-II/1992 jo SK No.307/MENLHK/SETJEN/HPL.0/7/2020. Bahkan, hasil klarifikasi tim independen dengan Kepala KPH-IV (Dishut) Balige, juga menegaskan dan menunjukkan peta bahwa peta lokasi areal yang diklaim sebagai wilayah adat Pomparan Ompu Puduraman Simanjuntak berada dalam areal hutan lindung Toba Habinsaran di Register 79.

Hasil telusur dan evaluasi Tim Independen di beberapa desa Ring-1 Kecamatan Porsea (sebelum mekar dengan Kecamatan Parmaksian) pada 2003-2005 atau awal reoperasional PT TPL (pasca ganti nama dari PT IIU), memang sudah muncul satu komunitas masyarakat yang didukung oleh LSM bidang lingkungan yang tetap menolak reoperasional TPL dengan cara aktif mengajak masyarakat untuk tidak menjalin komunikasai dan hubungan sosial dengan pihak PT TPL, bila tidak ingin dicap ‘penjilat’ atau istilah ‘93’.

"Dari kasus atau konflik ini bisa dipetik hikmah betapa pentingnya kebijakan lanjut dari pemerintah untuk bersosialisasi lanjut dengan edukasi publik soal prosedur peralihan status dan kepemilikan atau hak-hak atas tanah ulayat atau hutan adat. Pengalaman adalah guru terbaik, tapi jangan biarkan masyarakat terjebak dalam peluang tanpa tahapan (proses atau prosedur), karena pada akhirnya selalu masyarakat yang merasakan akibatnya," tuka Hasudungan serius.

(HERS/EAL)

Baca Juga

Rekomendasi