Pakar Hukum Pertanahan dari Universitas HKBP Nommensen, Dayat Limbong (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Kisaran - Perikatan hukum terkait dengan dokumen pertanahan harus sepenuhnya mengacu pada hal yang tertulis dalam dokumen yang ditandatangani oleh para pihak yang 'mengikatkan diri' dan disahkan oleh pihak yang berwenang.
Dengan demikian tanpa perikatan tertulis tersebut tidak ada pihak manapun yang dapat mengklaim terlibat dalam proses pelepasan hak atas tanah yang terjadi. Demikian disampaikan Pakar Hukum Pertanahan dari Universitas HKBP Nommensen, Dayat Limbong, saat memberikan keterangan kepada hakim pada persidangan di Pengadilan Negeri Kisaran, Jumat (9/7).
Dayat Limbong dihadirkan sebagai saksi ahli terkait perkara kepemilikan lahan yang tercantum atas nama Iskandar melawan penggugat bernama Rudyanto.
“Surat pelepasan hak, sudah masing-masing pihak untuk mengikatkan diri yang dituangkan dalam Surat pelepasan hak dan ditandatangani oleh para pihak dan disaksikan Notaris serta sudah dilegalisasi Notaris, sesuai ketentuan yang berlaku termasuk tandatangan para saksi-saksi. Oleh sebab itu surat pelepasan hak tersebut sah dan mempunyai kekuatan sebagai alat bukti,” sebutnya pada persidangan yang dipimpin Ketua Majelis Miduk Sinaga, dan hakim anggota Ahmad Adib.
“Sehubungan dengan itu sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata bahwa persetujuan yang tertuang dalam perikatan pada Surat pelepasan hak tidak dapat ditarik kembali,” sambungnya.
Diketahui perkara antara Iskandar dan Rudyanto terjadi atas dua bidang tanah seluas 4.251 meter persegi yang dibeli dari Muhammad Yahya dan Tanah seluas 7.579 meter persegi yang dibeli dari Sabungan Rajagukguk di Dusun VII, Desa Sukaramai, Kecamatan Air Putrih, Kabupaten Batubara tersebut.
Ridyanto secara tiba-tiba mengklaim lahan tersebut miliknya dengan menyebut Iskandar hanya sebagai perwakilannya dalam proses jual beli (pelepasan hak) atas lahan tersebut. Namun, Rudyanto tidak menunjukkan bukti adanya perikatan antara dirinya dengan Iskandar yang ditudingnya sebagai perantara.
Dalam persidangan tersebut, Dayat diberi kesempatan untuk melihat bukti berupa dokumen pelepasan hak atas dua bidang tanah tersebut yakni bukti yang ditunjukkan Nomor surat: 1699/L/VIII/Not/RIN/2018 tanggal 21 Agustus 2018, dimana Pihak Pertama: Tuan Muhammad Yahya &, Nyonya Adhisyanti Satria Wati Nasution dan Pihak kedua Tuan Iskandar.
Demikian pula Surat Pelepasan dengan ganti ruginya dengan Nomor : 1711/L/VIII/Not/RIN/2018 tanggal 31 Agustus 2018, Pihak Pertama: Tuan Sabungan Rajagukguk &, Nyonya Junita Marpaung dan Pihak Kedua: Tuan Iskandar, yang luasnya ± 4.251 m².
Dalam dokumen tersebut pihak pertama telah melepaskan haknya kepada pihak kedua. Penandatangan disaksikan dihadapan Notaris dan dibubuhi tandatangan para saksi.
Pihak Pertama dan Kedua terikat dengan perjanjian yang telah disepakati sesuai dengan klausul yang terdapat dalam surat pelepasan hak. Surat Pelepasan hak tersebut dilegalisasi oleh Notaris sesuai dengan kewenangannya sebagaimana diatur pada Pasal 15 ayat (2) UU No. 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Atas bukti itu, Dayat menyebut tidak ada pihak mana pun di luar dari para pihak yang memiliki 'perikatan' tertulis dalam dokumen tersebut yang dapat dijadikan sebagai pihak terkait jika tidak ada bukti tertulis yang menyatakan dirinya ikut dalam proses pelepasan hak atas tanah tersebut.
“Seseorang yang mengaku sudah melakukan transfer uang tetapi tidak ikut menandatangani surat pelepasan hak tidak mempunyai hak apapun terhadap surat pelepasan hak. Pihak kedua yang menerima pelepasan hak sesuai bunyi pasal-pasal yang tertulis pada Surat Pelepasan Hak yang sudah ditandatangani dan dilegalisasi,” terangnya.
“Hal ini dapat dibuktikan melalui Surat Pelepasan Hak yang sudah ditandatangani tersebut. Dimana tidak ada keterlibatan pihak-pihak lain selain yang tertulis nama dan tandatangan pada Surat Pelepasan Hak tersebut,” sambungnya.
Dalam persidangan tersebut, Dayat menjelaskan secara rinci mengenai pengetahuan dan keahliannya dalam bidang hukum agraria mulai dari masalah-masalah pertanahan, proses pendaftaran, alas-alas hak yang menjadi bukti kepemilihan tanah yang diterbitkan oleh pejabat berwenang hingga berbagai prosedur lain yang ditanyakan oleh hakim dan para pihak yang berperkara.
“Intinya dalam perkara agraria maka saya melihat yang tertulis, bukan yang tidak tertulis. Semua yang tertulis itu sudah menjelaskan,” tandasnya.
(RZD)