Pengungsi Rohingya Berisiko Jadi Korban TPPO

Pengungsi Rohingya Berisiko Jadi Korban TPPO
IOM kolaborasi Pemko Lhokseumawe, Kejaksaan Negeri Lhokseumawe, dan Polres Lhokseumawe, melaksanakan Pelatihan Identifikasi korban TPPO (Analisadaily/Isitmewa)

Analisadaily.com, Lhokseumawe - Dalam upaya pencegahan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan juga penanganan penyelundupan manusia Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) berkolaborasi Pemko Lhokseumawe, Kejaksaan Negeri Lhokseumawe, dan Polres Lhokseumawe, melaksanakan Pelatihan Identifikasi korban TPPO di Kota Lhokseumawe.

Pelatihan itu bertujuan meningkatkan pemahaman tentang cara mengidentifikasi, menangani, dan merujuk kasus TPPO dan penyelundupan manusia serta menciptakan sarana untuk berkordinasi bagi para aktor-aktor yang terkait dan para pemangku kepentingan yang lain dalam hal pencegahan TPPO atau penyelundupan manusia yang terjadi pada etnis Rohingya di Lhokseumawe.

Kepala Kejaksaan Negeri Lhokseumawe, Mukhlis, mengapresiasi kegiatan yang dilakukan IOM, yang membangun kolaborasi dengan aparat penegak hukum, OPD dan lembaga kemanusiaan untuk memberikan informasi dan pengetahuan kepada masyarakat terkait pencegahan perdagangan orang.

"Kegiatan yang positif ini sangat kita apresiasi. Apalagi terkait tindak pidana perdagangan orang ya," katanya, Senin (25/1).

Dalam paparannya, Kajari menjelaskan bahwa TPPO merupakan fenomena gunung es yang hanya terlihat di permukaannya saja, sedangkan masalah sesungguhnya lebih besar dan tidak tidak terlihat di dasarnya.

"Korban paling banyak dari TPPO terjadi pada kelompok rentan, yaitu perempuan dan anak-anak. Saat ini, pengungsi Rohingya yang di tampung di BLK Lhoseumawe menjadi kelompok yang paling rentan menjadi korban TPPO. Untuk itu perlu kerja sama dan koordinasi yang kuat dengan semua stakeholder," jelasnya.

"Tidak hanya pengungsi Rohingya yang berisiko menjadi korban TPPO, kita juga harus mencegah agar warga dan masyarakat Lhokseumawe tidak terjerat sebagai pelaku TPPO. Jadi kita perlu terus menerus memberikan edukasi dan sosialisasi terkait pencegahan TPPO. Jangan sampai niat baik masyarakat ingin menolong pengungsi Rohingya pada akhirnya menjadi tersangka pelaku perdagangan manusia," sambungnya.

Dalam pelatihan yang digelar di Singapore Lhokseumawe ini dihadiri 20 peserta dari DP3A-P2KB Kota Lhokseumawe, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kota Lhokseumawe, Dinas Kesehatan Kota Lhokseumawe, Dinas Sosial Kota Lhokseumawe, UNHCR, PMI Kota Lhokseumawe, Yayasan Geutanyo, ACT, JRS, Puspelkessos, YKMI, Human Initiative.

Polres Lhokseumawe yang diwakili oleh Kadit Tipidum Reskrim, Ipda Bagus Ardiantoro, mengungkapkan, bentuk kejahatan TPPO ini selain eksploitasi seksual, penjualan organ tubuh manusia seperti hati dan jantung bisa mencapai Rp 1,2 miliar hingga Rp 1,4 miliar.

"Untuk menjerat korbannya, para pelaku TPPO ini melakukan beberapa modus operandi seperti iming-iming gaji besar dan kehidupan layak," terangnya.

Kepala DP3A-P2KB Kota Lhokseumawe, Mariana Affan, menjelaskan pentingnya penguatan 8 fungsi keluarga sebagai strategi pencegahan TPPO di Kota Lhokseumawe.

"Selama ini kekerasan berbasis gender dan perdagangan orang disebabkan lemahnya fungsi keluarga dari aspek perlindungan, pendidikan, kasih sayang, agama dan ekonomi," tuturnya.

Untuk diketahui, perdagangan orang merupakan masalah yang signifikan di Indonesia. Seperti yang diketahui bersama, Indonesia bukan hanya negara asal dan transit, tetapi juga negara tujuan perdagangan orang lintas batas dan dalam negeri.

Meskipun kasus TPPO kebanyakan melibatkan perempuan dan anak-anak, namun TPPO semakin diakui terjadi pada semua orang, baik warga negara Indonesia, warga negara asing, maupun mereka yang tidak memiliki kewarganegaraan, termasuk pengungsi Rohingya.

Oleh karena itu, terdapat kebutuhan untuk mengatasi risiko perdagangan manusia secara lebih komprehensif, termasuk inisiatif pencegahan dan penanggulangan yang dapat mengurangi kerentanan para migran dan komunitas setempat terhadap perdagangan manusia.

(JW/RZD)

Baca Juga

Rekomendasi