Penelitian Stanford University: Orang Indonesia Paling Malas Jalan Kaki

Penelitian Stanford University: Orang Indonesia Paling Malas Jalan Kaki
Ilustrasi (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Jakarta - Penelitian Stanford University baru-baru ini menemukan bahwa orang Indonesia termasuk paling malas jalan kaki. Riset yang dilakukan terhadap 717.627 orang di 111 negara itu dalam tempo 95 hari itu dilakukan memakai aplikasi pelacakan pergerakan di ponsel pintar.

Hasilnya, orang Indonesia terhitung paling malas berjalan kaki. Indonesia berada pada peringkat pertama dalam daftar negara yang paling malas berjalan kaki dengan hanya mencatat 3.513 langkah perhari saja. Angka ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan Hongkong yang mencatat 6.680 langkah per hari, ataupun dengan Jepang dengan 6.010 langkah perhari.

Salah satu alasan utama keengganan untuk jalan kaki di Tanah Air adalah fasilitas pejalan kaki yang kurang memadai dan kurang aman serta minim keselamatan. Alhasil, sebagian besar masyarakat Indonesia masih memilih menggunakan alat transportasi pribadi bahkan untuk menempuh jarak yang sangat dekat.

Kawasan berkonsep Transit Oriented Development diharapkan bisa meningkatkan jumlah langkah kaki orang Indonesia.

“TOD adalah sebuah konsep yang mengintegrasikan transportasi dan tata guna lahan. Transit itu berhubungan dengan angkutan umum dan development itu artinya mengembangkan tata guna lahan,” kata Direktur Prasarana Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek Kementerian Perhubungan, Jumardi di Jakarta, Senin (15/8).

Menurutnya, tata guna lahan dalam sebuah kawasan TOD harus mempunyai kepadatan dan kerapatan.

“Bangunan dalam daerah tidak boleh tersebar jauh, harus padat dan dalam radius 400 meter sehingga para penghuninya dapat menempuhnya tanpa menggunakan alat transportasi berbasis motor. Misalnya, mereka dapat naik sepeda atau berjalan kaki untuk berbelanja menggunakan jalur sepeda dan pejalan kaki yang tersedia,” kata Jumardi.

“Pada akhirnya, konsep ini bertujuan untuk mendorong masyarakat untuk menggunakan angkutan umum dan menciptakan budaya jalan kaki serta bersepeda,” tambah dia.

Ia mengungkapkan, konsep kerap diartikan dengan tidak tepat. Perumahan atau apartemen kerap dibangun tanpa mempedulikan adanya pelayanan angkutan umum. Kemudian pengembang perumahan dan apartemen hanya sebatas mendekatkan hunian dengan fasilitas stasiun tanpa memperhatikan aspek-aspek pengembangan TOD atau dikenal dengan istilah Transit Adjacent Development (TAD).

“Pada dasarnya adalah salah satu konsep yang ada dalam compact city. Compact city menciptakan kawasan dengan jarak antar bangunan berdekatan, sekitar 400-800 meter dan dapat ditempuh dengan jalan kaki atau bersepeda. Ini memengedepankan angkutan umum sebagai sarana transportasi,” ucap Jumardi.

Ia mengatakan, sangat mungkin untuk dikembangkan di kawasan Jabodetabek karena tersedia jaringan sistem angkutan umum massal (MRT, LRT, KRL dan BRT). Lalu dalam radius 400-800 meter pada semua stasiun di Jabodetabek itu berpeluang untuk dikembangkan menjadi kawasan TOD.

Menurutnya, pemerintah daerah harus berperan di depan dalam pengembangan ini. Kemudian konsepnya harus menarik minat swasta dan menguntungkan semua pihak.

“Harus ada master plan dan dibuat peraturan detail dan mengikat tentang insentif dan disinsentif baik bagi pengelola maupun bagi pemilik lahan,” pungkasnya.

(TRY/CSP)

Baca Juga

Rekomendasi