Setelah Covid-19 Mereda, Dinkes Diminta Kembali Serius Tangani TB

Setelah Covid-19 Mereda, Dinkes Diminta Kembali Serius Tangani TB
Sejumlah perwakilan berbagai lembaga peduli penanggulangan TB di Medan berdiskusi tentang beragam persoalan TB di kota ini di Sekretariat Yayasan Penabulu Medan, Jalan Gatot Subroto, Medan, Senin (29/8). (Analisadaily/istimewa)

Analisadaily.com, Medan - Sejumlah komunitas peduli tuberkulosis (TB) Medan mengajak instansi terkait kembali memaksimalkan penanganan masalah penyakit ini di Kota Medan setelah meredanya kasus Covid-19.

Jika sebelumnya, penatalaksanaan masalah TB di lapangan terganggu akibat Covid-19 termasuk refocussing anggaran, maka sekarang, situasi sudah kembali normal. Maka, sudah selayaknya masalah TB menjadi proritas kembali.

Hal ini terungkap dari diskusi tim kecil beberapa lintas lembaga yang digelar Yayasan Penabulu dan Yayasan Kepedulian Kemandirian Masyarakat (Yapemmas) Sumut di Sekretariat Penabulu, Jalan Gatot Subroto, Medan, Senin (29/8).

Hadir Maman Natawijaya dari Yayasan KKSP, Jhonatan Binsar Panggabean dari Peradi Medan, Dameria dari Universitas Prima Indonesia, Irvan (Fitra Sumut), Tangkas Silalahi (Yayasan Pesat), Sri Amanah (Direktur Yapemmas), Wanda Sahab (Yapemmas) dan Samara Yudha Arfianto dari Yayasan Penabulu Medan.

Diskusi ini bagian dari pertemuan sebelumnya dengan sejumlah lembaga untuk percepatan eliminasi TB di Kota Medan. Keberadaan civil society ini bertujuan untuk membantu Pemerintah Kota Medan mengeliminasi penyakit TB.

Soalnya, prakiraan di tahun 2020 di Kota Medan ada 18.963 kasus, sementara yang berhasil diobati dan dilaporkan 5.593. Di 2021, hanya dapat 5.641 kasus. Sedangkan di tahun 2022, prakiraan kasus sama, masih tahun berjalan baru 4.054 kasus TB yang diobati dan dilaporkan. Artinya, masih banyak kasus yang belum didapat.

Dalam diskusi tim tersebut, dirumuskan beberapa masalah di antaranya, belum ada Perda terkait penanggulang TB di Kota Medan. Tidak semua pasien TB baru pada saat pengobatan diberikan pengetahuan dan pemahaman (edukasi) yang detail oleh pihak layanan kesehatan. Masih ditemukan pasien gagal pengobatan (resistensi obat/RO) dikarenakan kurangnya pemahaman pasien dalam hal pengobatan TB dari petugas TB ke pasien.

Tidak semua pasien memiliki PMO (pengawas minum obat) pada saat program pengobatan yang berdampak pada pasien putus obat. Pelibatan masyakarat (kader) dalam penangulangan TB di Kota Medan masih belum maksimal / masih terbatas yang saat terlibat dalam program penanggulangan TB jika dilihat dari jumlah penduduk di Kota Medan yang tersebar di 21 kecamatan.

Sangat dibutuhkan pelatihan bagi petugas layanan terkait TB agar lebih maksimal di lapangan. Perlunya pemberian nutrisi bagi sebagian pasien TB yang tidak tidak mampu.

Di lain pihak, pada diskusi itu juga mencuat permasalahan minimnya anggaran untuk penanggulangan TB di Kota Medan. Pada tahun 2021, Anggaran APBD Kota Medan ± Rp4,64 T dan Total Anggaran Kota Medan tahun 2022 Rp 6,72 T (Kenaikan sekitar 2,1 T).

Dari Total anggaran Dinas Kesehatan Pemko Medan tahun 2021 ± 800 miliar, untuk penanggulangan TB total anggaran APBD 2021 hanya Rp115 juta. Sedangkan untuk APBD total anggaran Dinas Kesehatan Pemko Medan tahun 2022 ±Rp963 miliar dan untuk penanggulangan TB berkisar Rp 329 juta. Sementara, keberhasilan program penanggulangan TB sangat dipengaruhi berapa besar anggaran yang disiapkan.

Menyikapi semua itu, sebut Sri Amanah Direktur Yapemmas, tim ini nanti akan mencoba mendorong Pemko Medan untuk memiliki komitmen yang kuat dalam penanggulangan masalah TB termasuk juga dari sisi peraturan.

“Soalnya, secara nasional sudah ada Perpres No 67 tahun 2021 yang mengatur secara lengkap tentang penanggulangan TB. Hanya saja, bagaimana Perpres ini diterapkan di daerah melalui peraturan daerah dan surat peraturan walikota,” sebutnya.

Tangkas Silalahi (Yayasan Pesat) mengaku, masalah TB ini sangat serius. Makanya harus ditangani dengan komprehensif dan secara bersama-sama lintas sektor.

Sebagai seorang mantan penderita TB RO, dia mengaku, pengobatan TB harus dilakukan secara total dan sampai sembuh. Tidak hanya sebatas dikatakan hanya 6 bulan pengobatan tuntas. Tapi, harus dilakukan pemeriksaan akhir apakah sembuih atau belum.

Karena sudah RO, dia melanjutkan pengobatan TB lini dua. “Cukup berat efek obatnya. Saya setiap hari suntik selama beberapa bulan. Muntah bila minum obat. Belum lagi rasa tidak nyaman. Bahkan, ada rekan saya yang mau bunuh diri karena tidak tahan karena efeknya. Makanya, kita harapkan pengobatan itu sampai sembuh jangan sampai RO. Hal ini harus benar-benar dipahami pasien. Tentunya harus ada sosialisasi dan edukasi yang baik tentang TB di masyarakat,” ucapnya.

(NAI/JG)

Baca Juga

Rekomendasi