Filosofi, Simbol dan Keteladanan;

Geriten Bagi Masyarakat Karo

Oleh: Dr. Daulat Saragih M.Hum.

SETIAP orang meyakini, kematian adalah akhir dari kehidupan di dunia ini. Diyakini juga, kematian awal dari suatu kehidupan baru di alam “sana”. Dunia disebut fana. Berarti ada suatu keyakinan, ada dunia yang tidak fana dalam arti menyenangkan. Diyakini kehidupan sesungguhnya adalah kehidupan setelah kematian di dunia fana ini.

Manusia mempersiapkan diri selama hidup di dunia fana selama 70 sampai 80 tahun. Selama Tuhan memperkenankan kita mengisi hari-hariNya, setelah itu berakhir dan masuk dalam permulaan kehidupan yang transenden.

Pada masyarakat Karo ada suatu kepercayaan. Bila seseorang meninggal dunia, sebenarnya unsur-unsur jasmaniah dan rohaniahnya kembali ke asal semula. Menurut kepercayaan orang Karo : dareh jadi lau (darah jadi air), daging jadi taneh (daging jadi tanah). Demikian juga, kesah jadi angin (napas jadi angin), buk jadi ijuk (rambut jadi ijuk). Juga tulan jadi batu (tulang jadi batu), tendi mulih ku dibata simada tinuang (roh kembali kepada maha pencipta). Ternyata masyarakat Karo lama, paham dirinya bukanlah miliknya. Ada suatu kekuatan ‘zat’ yang manusia sendiri sulit memahaminya. Akhirnya akan kembali kepada “zat” yang transenden tersebut.

Suku Karo menyebut Kampung atau Desa adalah Kuta. Dalam satu Kuta memiliki beberapa bentuk arsitektur seperti rumah adat, jambur, geriten, sapo page dan lesung. Rumah adat dihuni beberapa keluarga, sehingga sebutan rumah sesuai dengan jumlah penghuninya.

Disebut  rumah adat siwaluh jabu, artinya dalam satu rumah adat dihuni delapan keluarga. Penempatan penghunian rumah adat memiliki aturan etika, moral dan hukum yang disepakati. Jambur adalah bangunan tempat pertemuan. Geriten tempat menyimpan tulang-belulang para tokoh yang telah lama meninggal. Sapo page digunakan sebagai tempat untuk menyimpan hasil pertanian khususnya padi.

Berikutnya suatu bangunan pondok yang di dalamnya terdapat lesung. Batu yang diceruk untuk tempat menumbuk padi bersama-sama. Dalam satu Kuta  mempunyai satu Kesain (alun-alun) sebagai tempat segala upacara adat berlangsung atau tempat anak-anak bermain. Adakalanya suatu Kuta besar memiliki lebih dari satu Kesain.  

Pengertian Geriten

Menurut Samaria Ginting (1994): Geriten hampir sama bentuknya dengan jambur. Geriten lebih kecil dari jambur. Ukurannya kira-kira 2,5 meter x 2,5 meter. Di atasnya dibuat berdinding dan di dalamnya digunakan untuk tempat menyimpan tulang-belulang orang yang telah meninggal cawir metua (lanjut usia). Dalam penjelasan lain Hilderia Sitanggang (1991) dalam bukunya Arsitektur Tradisional Batak Karo menjelaskan.  Geriten merupakan bangunan lebih kecil dari jambur. Bangunan geriten digunakan untuk tempat penyimpanan tengkorak dari nenek moyang atau tulang belulang dari orang tua yang cawir metua. Pengertian cawir metua dapat kita lihat seperti penjelasan Nelly Tobing (1991) dalam bukunya berjudul  Upacara Adat Kampung Lingga . Yakni:  Mate cawir metua artinya meninggal dalam usia yang sudah lanjut. Seseorang yang disebut mate cawir metua, dia sudah mempunyai banyak turunan termasuk anak, cucu, cicit bahkan buyut. Jenis kematian ini dianggap paling mulia pada budaya Karo.

Dari beberapa penjelasan di atas dapat disimpulkan. Geriten bangunan seperti rumah adat, bentuknya jauh lebih kecil. Geriten berdiri di atas tiang yang mempunyai dua lantai. Lantai di bawah tidak berdinding, sedang lantai di atas berdinding. Geriten berfungsi untuk menyimpan kerangka atau tulang-tulang orang yang telah meninggal. Tidak sembarang orang yang berhak tulang-belulangnya “dinaikkan” ke Geriten. Yang berhak, mereka yang layak ketika hidupnya berjasa kepada orang lain dan menjadi teladan bagi keturunannya, masyarakat Karo lainnya.

Makna Geriten Pada Mayarakat Karo

Pada masyarakat Karo dahulu, setelah orang meninggal, tidak langsung dikebumikan. Diadakan upacara adat kematiannya untuk menghormati jenazahnya. Jenazah dimakamkan untuk sementara. Setelah beberapa tahun lamanya, makam digali kembali untuk mengambil tulang-tulangnya dan dikumpulkan.

Selanjutnya tulang-tulang atau kerangka yang sudah kering dibungkus dengan kain putih. Dimasukkan ke dalam geriten, diiringi dengan upacara yang disebut  nurun-nurun. Kerangka ditempatkan di geriten adalah kerangka penghulu (kepala kampung/kepala desa). Pada zamannya sebagai panutan (pemimpin) atau sierjabaten. Misalnya: guru, penggual, penarune dan lain sebagainya. Di samping itu orang ini harus mempunyai pekerti. Kewibawaan dan tingkah laku yang menjadi teladan bagi masyarakat. Karenanya akan dirayakan setiap waktu tertentu untuk mengenang jasanya semasih hidup.

Menurut Sarjani Tarigan, adakalanya setelah beberapa lama mayat dikubur, kuburannya kembali di bongkar. Dipindahkan ke kuburan lebih baik atau dimasukkan ke dalam geriten. Untuk itu harus dilakukan menurut adat Karo. Terlebih dahulu ditaruh belo bujur, disiram lau simalem-malem. Kuburan kemudian digali oleh kalimbubu, kemudian diteruskan oleh anak beru. Setelah ketemu, tulangnya kembali diangkat oleh kalimbubu, dibersihkan lalu diuras kemudian dibungkus dengan dagangen. Selanjutnya diadakan acara memasukkan ke  dalam geriten.

Dalam status sosial masyarakat Karo, banyak terjadi perbedaan dalam pembuatan  geriten, seperti dalam pembuatan ornamennya dan bentuk geriten. Hal ini terjadi karena perbedaan kedudukan, status ekonomi dan tergantung kepada kreativitas tukang yang membuat geriten.  Penerapan jenis ornamen pada geriten menggambarkan strata sosial dan profesi  semasih hidup orang yang sudah menjadi tulang-belulang tersebut.

Ornamen tapak raja sulaiman  misalnya. Dikenakan pada bagian pinggir melmelen dan sering disebut sebagai pendungi ukiren (penyelesaian terakhir ornamen). Menurut kepercayaan suku Karo, ornamen tapak raja sulaiman merupakan ornamen paling tua. Ornamen teger tudung  melambangkan kewibawaan dan lambang keagungan, ditempatkan di awal dan ujung melmelan. Ornamen pengeret-ret (cicak) ornamen yang sering digunakan pada bangunan tradisional Karo. Selain sebagai pengikat derpih juga memiliki makna kekeluargaan dan kesatuan pada masyarakat Karo.

Ornamen pengeret-ret digambarkan dengan media jalinan tali terbuat dari ijuk. Secara teknis berfungsi untuk mengikat bilah-bilah papan dinding suatu bangunan. Memiliki makna sebagai penolak bala  dan mengusir roh-roh jahat yang hendak mengganggu pemilik rumah maupun geriten.

Pembangunan rumah adat ataupun geriten diakhiri dengan memasang tanduk kerbo (kepala kerbau). Setelah setiap bagian siap dikerjakan. Tanduk kerbo di pasang oleh pande tukang pada malam hari, supaya tidak banyak orang yang menyaksikan dan mengomentarinya. Sesuai tradisi asli suku Karo pande tukang berbicara sendiri kepada tanduk dan melontarkan beberapa pertanyaan.

Menurut kepercayaan tidak seorang pun diperbolehkan menjawab pertanyaan tukang pada waktu tukang memasang tanduk. Jika ada yang menjawab, musibah akan dialami oleh orang yang menjawab pertanyaan tukang. Tanduk kerbo dipercayai  sebagai penolak bala dan sebagai pelindung dari niat-niat jahat orang lain terhadap isi geriten. Penempatan kepala kerbau dibuat menunduk pada geriten dan rumah adat. Mengandung makna kerendahan hati dan rasa hormat pemilik rumah bagi setiap tamu yang akan masuk rumah. 

Gerga  Simbol Keteladanan dan Wibawa

Bangunan tradisional Karo tidak lengkap kalau tidak dikenakan gerga. Gerga adalah ragam hias atau ornamentik dalam bahasa Indonesia. Gorga dalam bahasa Batak Toba. Gerga tidak sekedar ornamentik atau hiasan. Dia mengandung makna disesuaikan dengan fungsi bangunan, gerga geriten berbeda dengan jambur atau rumah adat. Gerga Geriten sebagai simbol untuk mengenal siapa dahulu sosok yang tulang-belulangnya “dinaikkan” dalam geriten.  

Dahulu geriten digunakan anak-anak muda untuk bercengkerama. Juga sebagai tempat berdiskusi para orang tua untuk urusan kesejahteraan kampung. Setiap orang yang sudah duduk di atas geriten, harus menjaga tutur kata dan kelakuan. Tabu untuk berkata bohong apalagi dengan sikap angkuh, emosi atau merasa menang sendiri. Kontrol sosial bagi setiap orang yang mengadakan diskusi di bawah geriten.

Orang dahulu percaya, mereka dipantau suatu energi yang mereka sendiri sulit untuk menjelaskan. Mereka tahu tempat ruang di atas, tempat menyimpan tulang-belulang seorang tokoh yang berpengaruh di desa itu. Masyarakat sekitar percaya mereka sedang  diamati roh-roh nenak moyangnya ketika mereka menjalani kehidupan. 

Filosofi Geriten 

Geriten tidak sembarang bangunan. Bagian-bagian konstruksinya sarat dengan nilai-nilai yang harus ditafsirkan kembali. Terdapat nilai-moral, nilai-nilai sosial, nilai religius dan nilai pedagogis. Patut ditiru dan digugu oleh generasi  sesudahnya.  Penempatan geriten tidak bisa jauh dari rumah adat. Ketika raga binasa maka roh kembali ke rumah untuk mengayomi keturunannya.

Tempat tulang-belulang dimasukkan dalam Geriten. Tidak boleh  jauh dari rohnya yang tinggal di rumah. Tulang-belulang dinaikkan ke atas merupakan suatu simbol penghargaan. Dareh jadi lau, daging jadi taneh, kesah jadi angin, buk jadi ijuk, tulan jadi batu, tendi mulih ku dibata simada tinuang (roh kembali kepada maha pencipta). Masyarakat Karo lama (sebelum menganut agama Kristen maupun non-kristen) telah paham. Dirinya bukanlah miliknya. Suatu penghabisan adalah perubahan. Asal mula, akhir dari suatu perubahan itu dan menjadi, air kembali ke air, tanah kembali ke tanah, roh kembali kepada pemilik roh. Rambut jadi ijuk, tulang jadi batu, akhir bukanlah suatu kesia-siaan, melainkan awal sesuatu yang bermanfaat demi kesejahtraan umat.

Apa yang menjadi sebab penghabisan dari pada segala yang ada? Apa asal alam ini? Thales mengatakan semuanya itu air. Air adalah pangkal, pokok dan dasar (principe) segala-galanya. Segala sesuatu terjadi karena air dan kembali ke air pula.

Anaximandros mencari asal dari segala sesuatu, menurutnya yang asal itu bukan air. Menjadi dasar segala sesuatu adalah Apeiron. Suatu yang tidak dapat dirupakan, tak ada persamaannya dengan salah satu barang yang kelihatan di dunia ini.  Dimana bermula yang dingin, disana berakhir yang panas. Anaximenes mengatakan asal mula sesuatu adalah udara. Membalut dunia ini menjadi sebab segala yang hidup. Herakleitos menyebut anasir yang asal itu adalah api. Semuanya bertukar menjadi api. Api bertukar menjadi semuanya. Api itu panas matahari yang menjadi syarat hidupnya semua  makhluk hidup. Energilah menggerakkan segala kehidupan. Materi adalah yang nampak, yang fisik. Energi  merupakan suatu yang metafisik.

Masyarakat Karo percaya, semua memiliki asal mula dan sebab penghabisan segala sesuatu adalah prinsip segala-galanya. Segala sesuatu bermula pastilah berakhir. Kembali kepada sang pencipta yang tak terhingga  (la terturiken). Dia ada dimana-mana, tidak dibatasi ruang dan waktu. Karena Dia adalah zat yang transenden. Ada di rumah, ada pada geriten, ada di ladang, ada di gunung dan ada pada diri setiap orang. Segala aktivitas budaya masyarakat Karo adalah dimensi eksistensi energi itu sendiri dan simbol keteladanan.

Bagi masyarakat Karo tokoh-tokoh yang tulang-belulangnya “dinaikkan” pada geriten adalah panutan dan simbol keteladanan bagi generasi sesudahnya. Mereka para cendekia teruji dan menjadi contoh bagi masyarakat. Kini peringatan untuk para leluhur itu hanyalah mengingatkan kembali bagi generasi muda. Kecendikiaan tokoh-tokoh itu pantas ditiru dan digugu.

Upacara adat dilakukan bukan membangunkan kembali kepercayaan lama. Hanya untuk  menggali kembali kearifan lokal Karo yang pantas diangkat menjadi kearifan global. Sebagai salah satu bahagian dari tiang-tiang penyangga budaya Nusantara.  Mejuah-juah, Horas.

Penulis; Pengajar Filsafat di Unimed

()

Baca Juga

Rekomendasi