Menekan Junta Butuh Persatuan dan Komitmen Internasional

Menekan Junta Butuh Persatuan dan Komitmen Internasional
Orang-orang berduka atas seorang wanita, yang meninggal dunia dalam bentrokan dengan pasukan keamanan Myanmar, sebelum dikremasi di Yangon pada hari Senin, 29 Maret 2021. (AP)

Analisadaily.com, Yangon - Lebih dari 500 orang tewas pasca junta Myanmar melakukan penindakan terhadap pemrotes terkait kudeta yang menggulingkan pemimpin sipil Aung San Suu Kyi.

Kelompok Pemantau Lokal menyebutkan, jumlah korban yang mengerikan itu berlalu ketika kekuatan dunia meningkatkan kecaman atas kampanye kejam militer melawan gerakan yang menuntut pemulihan demokrasi dan pembebasan Aung San Suu Kyi.

Washington menangguhkan pakta perdagangan dengan Myanmar dan kepala PBB Antonio Guterres menyerukan front persatuan global untuk menekan junta setelah lebih dari 100 pengunjuk rasa tewas dalam kekerasan berdarah akhir pekan.

Unjuk rasa harian di seluruh Myanmar oleh pengunjuk rasa tak bersenjata telah disambut dengan gas air mata, peluru karet dan peluru tajam.

Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP) mengatakan telah mengkonfirmasi total 510 kematian warga sipil, tetapi memperingatkan bahwa jumlah sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi.

Sekretaris Jenderal PBB, Guterres, mendesak pemerintah Myanmar untuk melakukan "transisi demokrasi yang serius".

"Benar-benar tidak dapat diterima melihat kekerasan terhadap orang-orang pada tingkat yang begitu tinggi, begitu banyak orang terbunuh," kata Guterres dalam konferensi pers.

"Kami membutuhkan lebih banyak persatuan dan lebih banyak komitmen dari komunitas internasional untuk memberikan tekanan guna memastikan bahwa situasinya terbalik," tegasnya.

Pemerintahan Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, mengumumkan pada hari Senin Perjanjian Kerangka Perdagangan dan Investasi 2013, yang mengatur cara untuk meningkatkan bisnis tetapi bukan kesepakatan yang sepenuhnya matang, akan tetap ditangguhkan sampai demokrasi dipulihkan.

"Amerika Serikat mengutuk keras kekerasan brutal pasukan keamanan Burma terhadap warga sipil," kata Perwakilan Dagang AS Katherine Tai, menggunakan nama lama Myanmar, Burma.

Pernyataan tersebut secara efektif menghapus Myanmar dari Sistem Preferensi Umum, di mana AS memberikan akses bebas bea ke beberapa impor dari negara berkembang jika mereka memenuhi standar utama.

(CSP)

Baca Juga

Rekomendasi