Ketua Umum Komite Independen Batak (KIB) Captain, Tagor Aruan. (Analisadaily/Istimewa)
Analisadaily.com, Medan - Sejumlah elemen masyarakat dan organisasi buruh di Sumatera Utara menyampaikan protes kepada Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, soal usulan agar pemerintah segera mencabut izin konsesi lahan Toba Pulp Lestari dengan alasan telah merampas hak lingkungan dan hak pekerjaan masyarakat selama ini.
Ketua Umum Komite Independen Batak (KIB) Captain, Tagor Aruan mengatakan, permintaan atau desakan pencabutan izin konsesi lahan (untuk usaha industri pulp TPL) akan diartikan publik identik sebagai pencabutan izin usaha untuk menutup perusahaan tersebut.
Tanpa berpihak pada siapapun, secara objektif hanya bilang nasib 21.000-an keluarga dari 7.000-an lebih karyawan yang bekerja di TPL selama ini, jauh lebih penting bahkan harus diprioritaskan. Dalam situasi ekonomi normal saja sangat sulit mendapatkan lapangan atau pekerjaan baru, apalagi dalam situasi ekonomi serba krisis di masa pandemi sekarang ini.
“Ketua MPR RI kita yang terhormat selaku wakil rakyat harusnya bijak dan lebih arif dalam menyikapi pengaduan sekelompok masyarakat. Jangan sampai situasi ini menjadi motif pihak tertentu untuk pasang ‘tangguk di air keruh’ yang justru akan merugikan banyak orang nantinya,” kata Tagor, Minggu (30/5).
Selaku surveyor ekonomi dan fungsionaris Asosiasi Independen Surveyor Indonesia (AISI) Pusat, Tagor juga menegaskan tidaklah segampang kita bicara untuk melakukan tindak pencabutan izin atau penutupan usaha perusahaan manapun atas kasus apapun, tanpa harus menempuh prosedur formal yang memakan waktu lama bahkan akan mengambangkan nasib banyak orang sebagai pekerjanya.
Secara khusus dia mencontohkan perusahaan industri keramba jaring apung (KJA) di Danau Toba selama ini, yang sudah berulang kali didesak untuk cabut izin dan tutup usaha dengan alasan dan kasus perusakan lingkungan secara masif yang juga mengancam jiwa, tapi fakta dan kenyataannya masih tetap beroperasi bahkan berganti nama, walau ada pejabat tinggi negeri ini bilang sudah diproses-audit oleh pihak Bank Dunia.
Hal senada disampaikan DPP Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (KSBSI) Provinsi Sumatera Utara Arsula Gultom. Kata dia, konflik antara masyarakat Desa Natumingka Kecamatan Borbor, Kabupaten Toba dengan karyawan perusahaan TPL pada 18 Mei lalu, harusnya disikapi dan mediasi langsung untuk berdamai. Ini untuk kepentingan bersama, tanpa harus ada pesan dan bisikan kepada pihak lain untuk hembuskan isu cabut izin atau tutup usaha TPL.
“Kita protes pernyataan Ketua MPR RI itu. Kalau TPL ditutup dengan mencabut izinnya, mampukah pemerintah membiayai hidup 7.000-an pekerja (staf karyawan dan buruh) di perusahaan (TPL) itu? Jika masing-masing punya dua anak plus seorang isteri, berarti tak kurang dari 21.000 jiwa yang akan terancam, apalagi di masa sulit pandemi ini. Jangan jadi memikirkan diri atau kelompok sendiri. Hak hidup para pekerja atau buruh itu dijamin UUD 45 di pasal 27 ayat 2, bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan,” tegas Arsula.
Kordinator Wilayah Serikat Buruh Sejahtera Indonesia Wilayah Barat Indonesia (Korwil SBSI-WBI), Eduard Pakpahan mengatakan pernyataan Ketua MPR RI soal cabut izin konsesi TPL sangat terlalu dini atau prematur.
Karena kasus atau konflik antara karyawan TPL dengan warga desa Natumingka pada Selasa 18 Mei lalu sebenarnya bisa dituntaskan secara normatif dengan proses hukum tanpa harus mengabaikan aspek sosial yang terkait adat dan kearifan lokal.
“Kasus ini sangat mirip dengan konflik warga desa Sihaporas dengan orang TPL di lahan TPL wilayah Kecamatan Pematang Sidamanik Kabupaten Simalungun, pada September 2019 lalu. Klaim tanah adat berlanjut juga dengan pengaduan ke Komnas HAM seperti yang dilakukan utusan warga Desa Natumingka ke Komnas HAM," ujarnya.
Dia lanjut menjelaskan, secara sosial politik tindakan warga memang punya alasan karena adanya kebijakan pemerintah atau Presiden Jokowi soal hak masyarakat atas tanah adat. Tapi secara hukum dan juridis, pihak TPL masih tetap berhak atas pengelolaan dan konsesi lahan sesuai surat izin dan masa berlakunya.
Sementara, masyarakat hingga kini belum punya payung hukum untuk menguasai atau mengusahai lahan walau bilang sejak zaman nenek moyang itu tanah leluhurnya berupa tanah adat atau ulayat.
"Di siniah pemerintah harus tegas untuk menetapkan legalitas status lahan adat milik masyarakat agar jangan pihak kapitalis atau investor yang diuntungkan. Kalaupun akhirnya masih tetap difungsikan sebagai arel konsesi, tentu harus diberlakukan yang namanya kompensasi sesuai aturan formalnya,” ujar Edward.
(HERS/CSP)