PBB Akan Menyerukan Penghentian Aliran Senjata ke Myanmar

PBB Akan Menyerukan Penghentian Aliran Senjata ke Myanmar
Massa anti kudeta saat melakukan unjuk rasa di Myanmar (AFP/STR)

Analisadaily.com, New York - Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada hari ini Jumat (17/6) akan menyerukan penghentian aliran senjata ke Myanmar dan mendesak militer untuk menghormati hasil pemilihan November serta membebaskan tahanan politik, termasuk pemimpin Aung San Suu Kyi.

Negara-negara Barat telah mendorong badan yang beranggotakan 193 negara itu untuk mempertimbangkan rancangan resolusi, tetapi ditunda karena untuk mendapatkan lebih banyak dukungan, termasuk dari sembilan negara Asia Tenggara.

Tidak segera jelas apakah ada negara yang akan menyerukan pemungutan suara pada rancangan resolusi Majelis Umum atau apakah itu akan diadopsi melalui konsensus. Para diplomat mengatakan teks itu memiliki cukup dukungan untuk disahkan jika dimasukkan ke dalam pemungutan suara.

Rancangan resolusi awal termasuk bahasa yang lebih keras yang menyerukan embargo senjata di Myanmar. Menurut sebuah proposal yang dilihat oleh Reuters bulan lalu, negara-negara Asia Tenggara ingin bahasa itu dihapus.

Rancangan kompromi "menyerukan semua negara anggota untuk mencegah aliran senjata ke Myanmar."

Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer menggulingkan pemerintah Aung San Suu Kyi, dengan alasan penolakannya untuk mengatasi apa yang dikatakannya sebagai penipuan dalam pemilihan November. Pengamat internasional mengatakan pemungutan suara itu adil.

Duta Besar Myanmar untuk PBB, Kyaw Moe Tun, yang mewakili pemerintah sipil terpilih di negara itu, meminta negara-negara anggota PBB untuk tidak mendukung militer secara langsung atau tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja.

"Sangat penting untuk menunjukkan dukungan kuat mereka terhadap rakyat Myanmar dalam upaya kami untuk memulihkan demokrasi, membawa kembali kekuasaan negara kepada rakyat dan membangun serikat demokrasi federal," kata Moe Tun kepada Reuters dilansir Channel News Asia.

Resolusi Majelis Umum tidak mengikat secara hukum tetapi membawa bobot politik. Berbeda dengan Dewan Keamanan yang beranggotakan 15 negara, tidak ada negara yang memiliki hak veto di Majelis Umum.

Direktur Human Rights Watch PBB, Louis Charbonneau, mendesak Majelis Umum untuk mengadopsi resolusi tersebut.

"Setelah berbulan-bulan pelanggaran hak asasi manusia dan kekejaman oleh pasukan keamanan junta, tidak ada pemerintah yang harus mengirim satu peluru ke Myanmar," ujar Charbonneau.

Sejak peristiwa itu, lebih dari 860 orang meninggal dunia, menurut kelompok Assistance Association for Political Prisoners. Militer mengatakan jumlahnya jauh lebih rendah.

Rancangan resolusi Majelis Umum menyerukan Myanmar untuk segera menerapkan konsensus lima poin yang disepakati militer dengan Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pada April untuk menghentikan kekerasan dan memulai dialog dengan lawan-lawannya.

(CSP)

Baca Juga

Rekomendasi