Usut Pelaku Peretasan yang Dialami Ketua Umum AJI Indonesia

Usut Pelaku Peretasan yang Dialami Ketua Umum AJI Indonesia
Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrim. (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Jakarta - Komite Keselamatan Jurnalis mendesak Polisi untuk mengusut pelaku peretasan dan penyebar Hoaks terhadap Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Sasmito Madrim pada Rabu (23/2).

"Mendesak Kepolisian untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan secara tuntas kasus peretasan dan penyebaran hoaks, yang bertujuan untuk mengadu domba AJI dengan organisasi masyarakat sipil lain. Serta menyerahkan kasus ini ke jaksa penuntut untuk melakukan penuntutan di pengadilan," bunyi pernyataan Komite Keselamatan Jurnalis, Jumat (26/2).

Dalam pernyataan itu juga disampaikan, meminta Dewan Perwakilan Rakyat dan Pemerintah untuk segera menyelesaikan pembahasan dan mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (PDP).

Kemudian, meminta Dewan Pers untuk mendesak aparat Kepolisian mencari bukti, dan mengungkapkan fakta kasus peretasan dan penyebaran Hoaks terhadap Sasmito. Serta mengingatkan semua pihak untuk tidak menyebar hoaks, dan mengambil sikap transparan sesuai dengan mekanisme UU Pers.

"Lalu meminta semua pihak untuk menghormati kebebasan pers dan kebebasan berekspresi," kata pernyataan itu.

Komite Keselamatan Jurnalis dideklarasikan di Jakarta, 5 April 2019. Komite beranggotakan 10 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil, yaitu; Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, SAFEnet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Ada juga Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Komite Keselamatan Jurnalis bertujuan mengadvokasi kasus kekerasan terhadap jurnalis.

Bukan hanya Komite Keselamatan Jurnalis, Jaringan CekFakta yang terdiri dari AJI, Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Masyarakat Anti-Fitnah Indonesia (MAFINDO), serta 24 media lainnya juga menyatakan, bahwa peretasan dan serangan disinformasi pada Sasmito, merupakan teror terhadap demokrasi.

"Mendesak Pemerintah untuk melindungi pembela hak asasi manusia, termasuk di dalamnya pembela kebebasan pers dan kebebasan berekspresi," bunyi pernyataan Jaringan CekFakta.

Mereka juga mengajak elemen masyarakat untuk menolak penggunaan disinformasi untuk merusak demokrasi dan menjatuhkan kredibilitas pembela HAM.

Sebelumnya, pembobolan sistem keamanan digital milik Sasmito terjadi pukul 18.15 WIB. Saat itu, dia menerima notifikasi WhatsApp jika nomornya telah didaftarkan pada perangkat lain. Nomor tersebut kemudian tidak bisa menerima panggilan telepon dan menerima SMS.

Upaya hacking kemudian menyasar ke akun Instagram, Facebook, dan Twitter milik Sasmito. Seluruh postingan Instagram dihapus, nomor pribadi disebarluaskan, hingga foto profil facebook diganti gambar porno.

Serangan peretas berlanjut hingga Kamis 24 Februari 2022. Pantauan AJI Indonesia penyebaran informasi hoax yang mencantumkan nama dan foto Sasmito terbit di media sosial dengan berbagai narasi, diantaranya Sasmito mendukung pemerintah membubarkan FPI, Sasmito mendukung pemerintah membangun Bendungan Bener Purworejo, dan Sasmito meminta Polri menangkap Haris Azhar dan Fatia.

Namun, konfirmasi yang dilakukan Komite Keselamatan Jurnalis dan cek fakta berbagai media, menyebutkan pernyataan tersebut adalah palsu atau tidak pernah diucapkan Sasmito. Hoax atau disinformasi tersebut, dinilai ingin mengadu domba AJI Indonesia dengan organisasi masyarakat sipil lainnya.

Komite Keselamatan Jurnalis juga menilai peretasan dan upaya menyebar hoaks merupakan bentuk serangan terhadap aktivis yang selama ini memperjuangkan kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.

Kebebasan berekspresi adalah kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan gagasan, yang diatur dalam Pasal 28 e ayat 3 dan pasal 28 f UUD 1945. Serta diatur dalam kovenan internasional tentang hak-hak sipil dan politik yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia.

(CSP)

Baca Juga

Rekomendasi