Implementasi Perda Masyarakat Adat di Tano Batak Dinilai Lambat

Implementasi Perda Masyarakat Adat di Tano Batak Dinilai Lambat
Dekan Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen (UHN) Medan, Janpatar Simamora, diacara peluncurkan Catatan Akhir Tahun 2022 yang dilaksanakan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, Senin (9/1). (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Medan - Proses implementasi Peraturan Daerah (Perda) Masyarakat Adat di Kabupaten sekitaran Danau Toba dinilai masih lambat. Memang ada yang sudah berjalan, tetapi ada yang sama sekali tidak berjalan, seperti di Kabupaten Toba.

Sedangkan di Tapanuli Utara, pasca terbitnya Peraturan Daerah tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat oleh Bupati, telah terbit 3 Surat Keputusan (SK) yang menetapkan masyarakat Adat dan Wilayah Adat. Saat ini sedang berjalan proses penetapan di tujuh lokasi.

"Di Kabupaten Samosir masih dalam proses menunggu registrasi Perda yang sudah diparipurnakan 2 tahun lalu dari Biro Hukum Pemerintah Provinsi Sumatera Utara," kata Ketua Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak, Roganda Simanjuntak diacara peluncurkan Catatan Akhir Tahun 2022, menyangkut kondisi masyarakat adat di Tano Batak dengan tema “Melihat Ulang Huta (Wilayah Adat), Senin (9/1).

Dalam laporannya, Roganda, lanjut menjelaskan, untuk Kabupaten Humbahas Perdanya bersifat khusus untuk Pandumaan-Sipituhuta, sehingga perlu direvisi lagi agar menjadi Perda payung untuk Kabupaten Humbang Hasundutan. Pada Februari 2022, masyarakat adat telah menerima SK Hutan Adat dan Wilayah Indikatif Lokasi Hutan Adat (WILHA) dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) di 6 komunitas adat dengan total luasan 7.200 Ha.

Pada Agustus 2021 juga telah terbit SK Pencadangan di 5 Komunitas Adat dengan luasan 6.857 Ha. Kemudian hanya 1 Komunitas adat yang ditindak lanjuti untuk mendapat SK Hutan Adat yaitu Komunitas adat Pandumaan-Sipituhuta dengan luasan 4.393,38 Ha. Maka status pencadangan saat ini adalah 2.464 Ha.

Menurut dia, sebenarnya jumlah itu sangat kecil dibanding pemberian izin kepada investor seperti PT. Toba Pulp Lestari (PT.TPL, Food Estate, Taman Sain dan Taman Herbal (TSTH) dengan Kawasan Hutan Tujuan Khusus (KHDTK) atas nama Institute Teknologi-DEL (IT-DEL) dan Proyek Pariwisata, yang menyebabkan banyak konflik di Kawasan Tano Batak.

Peluncurkan Catatan Akhir Tahun 2022 oleh Aliansi Masyarakat Adat (AMAN) Tano Batak menyangkut kondisi masyarakat adat di Tano Batak dengan tema “Melihat Ulang Huta (Wilayah Adat), Senin (9/1).
Direktur Kelompok Studi Pengembangan dan Prakarsa Masyarakat (KSPPM), Delima Silalahi, mengatakan paradigma pertumbuhan ekonomi yang terjadi adalah hadirnya industri ekstraktif yang merusak lingkungan dan sumber ekonomi Masyarakat Adat.

Kata dia, kenapa menjawab kemiskinan dengan industri, sedangkan daerah industri atau pariwisata justru angka kemiskinannya lebih besar daripada daerah yang fokus kepada sektor pertanian lokal seperti Karo dan daerah lain.

"Sebenarnya di Tanah Batak tidak ada marga yg tidak punya tanah. Setidaknya ada 500 an marga yang sudah punya Huta dan tanah. Sedangkan 60 persen daratan di kawasan Danau Toba masuk klaim kawasan hutan negara yang tidak pernah melibatkan masyarakat adat. Apalagi sejak tahun 1980 an banyak industri yang masuk ke Tanah Batak dan merampas ruang-ruang hidup Masyarakat Adat," tegas Delima, yang hadir sebagai narasumber diacara itu.

Dekan Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen (UHN) Medan, Janpatar Simamora, menyampaikan semua orang tahu bahwa jauh sebelum ada negara masyarakat adat sudah hadir dan eksis. Padahal putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pun sudah mengakui tanah adat, akan tetapi ada pula yang bilang masyarakat adat tidak ada.

"Padahal Restorative justru memakai konsep hukum nya masyarakat adat. Tapi, mengapa kita sangat sulit mengakui keberadaan masyarakat adat serta hak² yang melekat pada mereka," tutur Janpatar.

Dia menerangkan, mandeknya RUU Masyarakat Adat saat ini sangat berpengaruh terhadap perjuangan teman-teman yang selama ini menyuarakan itu. Sadar atau tidak, hukum formal justru merujuk kepada hukum yang hidup di masyarakat (hukum adat).

"Masyarakat adat butuh suara-suara yang mendukung mereka. Itu yang perlu kita seriusi," tutur Janpatar.

Aktivis Masyarakat Adat, Abdon Nababan, menyampaikan ada 5 poin manfaat ketika Masyarakat Adat mendapat Pengakuan dan perlindungan, diantararnya mendorong dan memperkuat konstitusionalisme dalam penyelenggaraan negara, mencegah dan menyelesaikan konflik sosial dan agraria yang terus meningkat

"Meningkatkan kapasitas berusaha, memperluas kewenangan dan meningkatkan akses Pemerintah Daerah terhadap pengelolaan Sumber Daya Alam di daerahnya di tengah resentalisasi kewenangan perizinan Sumber Daya Alam, dan terakhir memberi ruang untuk pemulihan jati diri/identitas budaya bangsa yang beragam," kata Abdon.

(CSP)

Baca Juga

Rekomendasi