Pena 98 Gelar Diskusi Peringatan 25 Tahun Reformasi 

Pena 98 Gelar Diskusi Peringatan 25 Tahun Reformasi 
Peneliti, J Anto, saat memaparkan materainya dalam diskusi interaktif ‘Peringatan 25 Tahun Reformasi, Kami Menolak Lupa’ di Aula Universitas Santo Thomas Medan, Selasa (9/5). (Analisadaily/Cristison Sondang Pane)

Analisadaily.com, Medan - Pekerjaan rumah pasca runtuhnya kepemimpinan Soeharto atau dikenal rezim orde baru pada 21 Mei 1998 silam, memerlukan perhatian sangat serius untuk diselesaikan, termasuk soal kesejahteraan rakyat, yang sampai sekarang masih memprihatinkan.

Dadang Darmawan, akademisi Universitas Medan Area (UMA), mengutarakan hal itu pada saat mengawali paparan materi dalam diskusi interaktif ‘Peringatan 25 Tahun Reformasi, Kami Menolak Lupa’ di Aula Universitas Santo Thomas Medan, Selasa (9/5).

“Diperlukan kesadaran dari anak-anak muda, mahasiswa yang ada saat ini untuk menyikapi dan menyuarakan kondisi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Kemudian gerakan mahasiswa juga harus melihat tuntutan bangsa kita hari,” kata Dadang.

Menurut Dadang, ada kemunduran gerakan sekarang, yang sebelumnya dimiliki mahasiswa melawan rezim orde baru, yaitu kesadaran, keberanian dan pengorbanan. Hal tersebut yang sudah terkikis, hilang dan tidak banyak mahasiswa yang mendedikasikan dirinya kembali terhadap bangsa ini.

“Itu adalah refleksi kita saat ini, dan bukan berarti mahasiswa di masa itu sempurna. Namun, tiga poin tadi, kesadaran, keberanian dan pengorbanan harus tetap dimiliki mahasiswa agar dapat memperhatikan kondisi bangsa,” sambung mantan aktivis ‘98 itu.

Dadang melihat, jatuhnya rezim Soeharto karena ada beberapa faktor yang mempengaruhinya, diantaranya lingkungan ekonomi. Bagian ini cukup membangun dan membentuk suasana saat itu, seperti ekonomi negara-negara di dunia terpukul, seperti Argentina dan Indonesia.

Kemudian berikutnya adalah Aktor. Mahasiswa Indonesia saat itu memiliki kesadaran, keberanian dan pengorbanan. Ini yang menurut saya satu nafas mahasiswa di mana-mana. Tanpa kekuatan mahasiswa saat itu, mustahil terjadi reformasi. Bagian selanjutnya adalah soal perubahan sistem, dan terakhir adalah sejarah, yang memutus mata rantai kekuasaan.

Pada masa pemerintahan Soeharto tidak sedikit terjadi pelanggaran-pelanggaran hak asasi manusia, kekerasan yang dialami warga negara dan berujung pada perbuatan rasial, yang dirasakan etnis Tionghoa di seluruh Indonesia.

“Serangan rasialisme yang paling tragis itu adalah pada peristiwa tragedi Mei 1998 dan yang menjadi sasaran itu adalah etnis Tionghoa. Kekerasan fisik, seksual, pemerkosaan dialami warga Tionghoa, termasuk di Sumatera Utara,” kata J Anto, seorang peneliti dan juga Jurnalis di Kota Medan.

Kata dia, acara peringatan reformasi ini sangat penting untuk terus dilakukan sehingga bangsa ini terus mengetahui bahwa ada fase sejarah kelam yang pernah terjadi. Tidak hanya itu, kondisi serupa juga tidak boleh terulang di masa depan, apalagi saat ini sedang dekat-dekat Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

“Politisasi identitas berpotensi muncul lagi, dan mudah-mudahan kita tidak mengulangi lagi peristiwa 25 tahun lalu,” ujar J Anto, yang juga menjadi saksi sejarah rezim Soeharto.
Dia pun mengatakan, memang sudah banyak terjadi perubahan-perubahan pasca orde baru jatuh, misalnya soal demokrasi yang berkembang, lahirnya Undang-undang nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, dan pers saat ini menjadi sangat bebas. Berbanding terbalik dengan sebelumnya, sangat tertutup ruang untuk menyampaikan kritik terhadap rezim.

Presidium Nasional Pena 98, Nicodemus Sitanggang, mengatakan mahasiswa pada 1998 melakukan demonstrasi besar-besaran karena berawal dari rasa kekecewaan terhadap jalannya pemerintahan Soeharto. Dia juga setuju bahwa telah banyak perubahan-perubahan yang terjadi meskipun masih ada pekerjaan rumah yang belum selesai.

“Karena itu, generasi muda harus mampu melihat masa depan yang lebih baik, termasuk dengan memilih pemimpin yang tepat untuk kemajuan bangsa,” kata Nico.

(CSP)

Baca Juga

Rekomendasi