Nasionalisme dalam Jejak Justin Sihombing

Oleh: Sahat P. Siburian

Jejak Justin Sihombing (1890-1979) terentang mulai dari zaman kolonial Belanda, masa pendudukan Jepang, hingga kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Ia tumbuh jadi orang terdidik pada masa zending Jerman (RMG) dan kolonial Belanda.

Ia tekun meniti kiprah dalam gereja Batak di bawah kepemimpinan RMG. Meski terbuka peluang, ia tidak pernah berkecimpung dalam mesin birokrasi pemerintah kolonial.

Kontribusinya sebagai guru dan pendeta terekam dalam sejarah gereja Batak. Yakni sejak kepemimpinan misionaris Jerman (1861-1940) hingga kepemimpinan pendeta Batak (1940-sekarang). Ia pernah membaktikan diri menjadi ephorus HKBP selama dua puluh tahun (1942-1962).

Justin Sihombing merengkuh posisi puncak dalam struktur gereja Batak pada masa-masa sulit dan genting. Mulai dari masa pendudukan Jepang (1942-1945), agresi Belanda dan perjuangan Indonesia untuk kemerdekaan nasional (1945-1949), hingga kedaulatan nasional (1950-1962).

Di tengah situasi itu, Justin dengan tekun dan arif mengukir sederet capaian yang terbilang fenomenal dan spektakuler. Perihal ini dapat dibaca dalam beberapa referensi tentang gereja dan etnis Batak.

Kiprah Justin Sihombing mendapat perhatian tersendiri dari Fakultas Teologi Universitas Fredrich Wilhelm, Jerman. Ia dipandang sebagai pemimpin yang berikhtiar menata dan merawat keutuhan gereja Batak. Juga berkomitmen mempertahankan eksistensi gereja agar tidak menjadi instrumen politik kekuasaan. Atas dasar ini, pada tahun 1951, Universitas Fredrich Wilhelm menganugerahkan gelar Doktor honoris causa kepada Justin Sihombing (F.H. Sianipar, 1978: 114-116).

Pemerintah kabupaten Tapanuli Utara dan kota Pematangsiantar juga menunjukkan apresiasi. Nama Justin Sihombing ditetapkan sebagai nama seruas jalan di Tarutung dan Pematangsiantar. Namun di gereja Batak, pikiran dan gagasan Justin Sihombing nyaris terlupakan, kecuali sekadar dikenang pernah menjadi ephorus.

Padahal selama kurun tahun 1942-1962, Justin Sihombing mengejawantahkan suatu praksis berteologi dalam konteks sosial politik. Tema ini seyogianya menjadi kajian para akademisi dan teolog Kristen Batak. Terlebih karena ia mewariskan belasan judul buku dan puluhan ceramah serta artikel. Tetapi hingga kini, pemikiran dan kiprahnya masih belum mendapat pembahasan memadai.

Jejak Justin Sihombing

Justin Sihombing lahir di Pangaribuan, Tapanuli Utara. Tumbuh jadi orang terdidik pada masa zending Jerman dan kolonial Belanda. Jenjang pendidikan Sekolah Dasar (Sikola Metmet), Sekolah Tinggi (1908-1912) dan Sekolah Pendeta (1923-1925) ditempuh di lembaga milik zending Jerman.

Para misionaris Jerman, termasuk Dr. I.L. Nomensen dan Dr. Johannes Warneck, simpatik terhadap Justin Sihombing. Mereka mengenal Justin sebagai orang cerdas, berbakat dan terpercaya serta loyal kepada pimpinan. Karakter kepribadian ini cukup mewarnai kisah kehidupan Justin dalam pusaran pelayanan zending Jerman.

Sejak usia 17 tahun, Justin telah berprofesi sebagai guru. Tahun 1907-1908, guru penolong atau guru bantu di Sekolah Dasar (Sikola Metmet), milik zending, di Sibingke-Pangaribuan. Ia juga berhasil meraih sertifikat kecakapan mengajar dari pemerintah kolonial Belanda. Lalu mulai 1 Oktober 1912 hingga 1923 jadi guru kepala Sekolah Dasar merangkap guru jemaat di Pakpahan-Pangaribuan.

Tahun 1925-1928, ia mengemban tugas sebagai pendeta evangelis. Ia menerima penugasan khusus dari ephorus untuk mengunjungi dan mengadakan evangelisasi atau penginjilan di berbagai daerah. Pada 21 Oktober 1928, Justin dikukuhkan sebagai pendeta jemaat di Medan. Tetapi statusnya sebagai pendeta evangelis tetap melekat. Ia harus membagi waktu mengunjungi daerah-daerah tertentu sesuai arahan ephorus (F.H. Sianipar, 1978: 51-54).

Sebagai pendeta evangelis, Justin Sihombing telah menemui orang Kristen Batak di wilayah Sumatera Utara (kini) dan daerah-daerah perantauan. Mulai dari Padang hingga Aceh, termasuk Sabang.

Dalam setiap kunjungan, Justin lebih menerapkan pendekatan kultural ketimbang pendekatan struktural gerejani. Ia selalu menyemangati orang-orang Batak untuk tetap percaya diri menampilkan identitas sebagai orang Kristen Batak. Mereka diminta pula untuk merajut dan merekatkan kebersamaan dengan membentuk persekutuan jemaat Kristen Batak (F.H. Sianipar, 1978: 34-63; J.R. Hutauruk, 2011: 181-184). Ikhtiar ini menunjukkan peran aktif orang Batak dalam mengkonstruksi identitas Kristen Batak menjadi identitas etno-religius Batak (Johan Hasselgren, 2008:132-136).

Setelah 6,5 tahun (1928-1935) jadi pendeta jemaat Medan, pada Oktober 1935 Justin resmi ditetapkan sebagai pendeta resort (jemaat induk) Medan. Ia merupakan pendeta Batak pertama yang jadi pendeta resort. Sebelumnya, posisi ini hanya diemban misionaris RMG (J.R. Hutauruk, 2011: 191). Dalam jemaat-resort Medan tergabung jemaat cabang: Arnhemia, Belawan, Labuhan Deli, Binjei, Kuala, Lubuk Pakam, Perbaungan, Sei Karang, Tebingtinggi, Pancurbatu.

Penetapan Justin Sihombing sebagai pendeta resort Medan sekaligus menandai lahirnya jemaat Batak yang pertama menjadi otonom di bidang kepemimpinan. Jemaat-resort Medan dipimpin pendeta Batak bukan lagi misionaris Jerman (Johan Hasselgren, 2008: 261).

Begitulah selama kepemimpinan RMG, arus utama perhatian Justin Sihombing lebih tercurah pada upaya untuk mengakselerasi pengukuhan kekristenan menjadi identitas etnis Batak dan mengartikulasikan identitas Kristen Batak sebagai etno-religius Batak. Ia tampak tidak secara eksplisit menaruh perhatian tentang “nasionalisme kedaerahan” dan nasionalisme Indonesia.

Menurut J.R. Hutauruk, nasionalisme kedaerahan merupakan suatu eksklusifisme etnisitas dan tidak mengenal wawasan politis bangsa Indonesia. Sedangkan nasionalisme Indonesia memantangkan eksklusifisme etnisitas, menghargai keragaman budaya dan agama, tidak mengingkari eksistensi setiap etnis dari seluruh bangsa Indonesia (1993: xix).

Perspektif Justin Sihombing yang seolah tanpa wawasan nasionalisme Indonesia berakar pada loyalitasnya yang nyaris tanpa reserve kepada misionaris Jerman. Ia cenderung sungkan untuk membantah pendapat apalagi menolak penugasan dari misionaris. Baginya tidak berguna menyangkal misionaris, karena ternyata argumentasinya selalu benar dan tepat (F.H. Sianipar, 1978: 26). Namun dalam hal tertentu, ia tampak tidak selalu mengikuti pandangan ataupun sikap misionaris.

Misionaris mengajarkan “tunduklah kepada para penguasa” (Lance Castles, 2001: 105) dan jajaran zending Jerman mengaktualisasikan sikap kurang kritis terhadap pemerintah kolonial Belanda (Zakaria J. Ngelow, 1994: 24-25). Ajaran dan realitas ini membuat Justin Sihombing hampir tidak pernah melontarkan kritik sosial terhadap kenyataan kolonialisme.

Tetapi saat otoritas zending gencar mengecam gerakan Hatopan Kristen Batak (HKB) yang menentang dominasi kolonial dan zending (Lance Castles, 2001: 97-128), Justin tampaknya memilih bersikap independen. Ia tidak turut serta mencela gerakan tersebut. Hal ini terlihat dalam dokumen-dokumen historis yang dapat ditelusuri sampai saat ini.

Spirit Nasionalisme Indonesia

Kepemimpinan misionaris Jerman di gereja Batak terpaksa harus berakhir pada 10 Mei 1940. Ketika itu, pemerintah Belanda menangkap dan mengusir seluruh warga Jerman dari Hindia Belanda (Indonesia kini). Peristiwa ini menghadapkan gereja Batak pada situasi sulit dan genting. Pendeta Batak mesti tampil memimpin gereja Batak. Proses peralihan terjadi tiba-tiba, tanpa persiapan secara bertahap.

Dalam pada itu, pemerintah Belanda juga mengambil-alih semua inventaris, berupa tanah dan bangunan, milik gereja Batak. Tindakan ini berlanjut pada masa pendudukan Jepang, sejak Maret 1942. Jepang menguasai sebagian besar bangunan gereja, sekolah, rumah sakit dan bangunan lain. Digunakan sebagai tempat pemondokan, barak militer, kandang kuda, gudang, dan lain-lain. Sejumlah harta milik tersebut sampai sekarang masih berada di tangan instansi pemerintah Indonesia (J.R. Hutauruk, 2011: 7-8).

Di tengah situasi pelik dan ruwet, Justin Sihombing hadir sebagai figur kunci. Ia dengan arif dan ulet merajut keutuhan dan merawat kebersamaan demi menegakkan eksistensi gereja Batak. Pada sinode Juli 1940 banyak pendeta yang menominasikan Justin Sihombing menjadi ephorus. Ia meraih suara terbanyak dalam pemungutan suara. Tetapi ia mengalah sebagai wujud rasa hormatnya kepada seniornya, K. Sirait, dan demi keutuhan bersama (Edward O.V. Nyhus, 1987: 153; Johan Hasselgren, 2008: 269).

Semenjak Justin Sihombing menjadi ephorus, ia berjibaku memperkuat tatanan internal gereja Batak dan gencar membangun jaringan pada aras nasional dan internasional. Kiprah dan capaiannya menghantar Justin dikenal sebagai “pemimpin yang berani dan teguh dalam iman” (Lothar Schreiner dalam Gerald H. Anderson, 1999: 620). Ia dinilai “sukses memimpin gereja Batak mengarungi masa-masa pelik” (Jan Sihar Aritonang dan Karel A. Steenbrink, 2008: 552).

Dalam pada itu, Justin Sihombing juga memperlihatkan sebuah titik kisar yang krusial terkait sikap politik. Selama ini, ia condong meneladani sikap politik misionaris Jerman yang kurang tegas mengkritik pemerintah kolonial Belanda. Namun pasca kepemimpinan misionaris, ia justru jadi bersikap kritis dan menolak takluk terhadap otoritas Jepang dan Belanda (F.H. Sianipar, 1978: 91-102).

Sikap tersebut nyata dalam berbagai fakta dan peristiwa. Seperti saat menghadapi taktik Jepang untuk mendelegitimasi wibawa kepemimpinan Justin Sihombing. Seorang kepala militer Jepang datang ke Pearaja Tarutung dan menuduh Justin melakukan korupsi keuangan jemaat (manggolaphon hepeng ni huria). Justin tegas membantah tuduhan itu. Ia tanpa tedeng aling-aling menunjukkan dokumen administrasi keuangan beserta bukti-bukti kuitansi. Setelah menelisik data tersebut, tentara itu terdiam seraya mengacir (F.H. Sianipar, 1978: 95).

Begitu pula ketika residen Belanda di Sibolga bernama Heckman membentak-bentak Justin Sihombing di kantor pusat HKBP di Pearaja. Residen itu menuding Justin menerapkan politik bawah tanah (marpolitik di toru ni tano). Antara lain karena menemui presiden Republik Indonesia di Yogyakarta dan secara terbuka menyebut Belanda membakar 1.125 unit rumah penduduk di Tapanuli.

Menanggapi tudingan itu, Justin dengan berani dan santun mengatakan: “Janganlah membentak-bentak. Saya bukan anak-anak. Saya akan menjawab semua tuduhanmu...Lihatlah tiang kantor ini yang ditetaki tentaramu dengan golok dan dapur kami pun hendak dirobohkan jadi kayu bakarnya. Pantaskah tindakan seperti itu dilakukan terhadap rumah?” Mendengar keterangan ini, residen Heckman tidak memperpanjang perdebatan dan sekejap kemudian beringsut pergi (F.H. Sianipar, 1978: 101-102).

Data dan peristiwa tersebut mengindikasikan bahwa dalam benak Justin Sihombing merekah spirit bernuansa nasionalisme Indonesia. Spirit ini tampak melecut semenjak penguasa Jepang melarang orang Kristen Batak menunaikan semua kegiatan keagamaan, termasuk beribadah. Pada saat bersamaan, Jepang memaksa seluruh warga untuk menyembah kaisar Tenno Heika.

Dalam pandangan Justin Sihombing, tindakan Jepang sedemikian itu sangat bertentangan dengan amanat Alkitab sebab mereka menanamkan anti-ajaran Kristen dan hendak menumpas kekristenan. Ia pun tegas menolak memuja kaisar, karena ritual itu dianggap memperlakukan kaisar sama dengan Tuhan (Jan Sihar Aritonang dan Karel A. Steenbrink, 2008: 551-552). Ini menyiratkan seberkas pemahaman Justin bahwa fasisme Jepang lebih berbahaya dari kolonialisme Belanda. Terlebih karena Jepang memasung kebebasan beragama.

Setelah Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, Justin Sihombing memperlihatkan spirit nasionalisme Indonesia yang semakin pekat. Ia secara terbuka mendeklarasikan dukungan dan kesediaan berkolaborasi dengan pemerintah Republik Indonesia. Hal ini nyata dari beberapa langkah konkret berikut (F.H. Sianipar, 1978: 100-102; Paul B. Pedersen, 1975: 152-154).

Pertama, mengirim surat kepada Presiden Soekarno. Intinya memohon agar menjaga dan melindungi bangsa Indonesia terhadap segala kesulitan serta mengatasi masalah-masalah sosial politik dalam semangat cinta kasih. Kedua, mengirim surat pastoral kepada semua pendeta dan jemaat. Dilanjutkan dengan mengunjungi jemaat-jemaat di seluruh daerah Sumatera, Jawa (Jakarta, Bogor, Bandung, Semarang, Yogyakarta, Surabaya, Malang), Kalimantan (Pontianak, Singkawang), dan Singapura. Setiap pelayan maupun warga jemaat diminta supaya tekun berdoa dan tidak turut serta menghalangi upaya memperkuat kemerdekaan Indonesia.

Ketiga, menemui dan menyatakan dukungan kepada Presiden Republik Indonesia di Yogyakarta. Pemerintah diminta membantu mengatasi masalah sosial dan politik di Sumatera, termasuk agar berupaya keras menghempang Belanda membakar rumah-rumah penduduk di Tapanuli.

Langkah konkret tersebut menunjukkan bahwa Justin Sihombing cukup aktif mendiseminasi spirit nasionalisme kepada warga negara bangsa Indonesia. Bahkan pada tataran tertentu, ia turut berkontribusi meneguhkan kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia. Semua ini tentu masih membutuhkan elaborasi yang lebih utuh dan mendalam.

Namun sulit membantah bahwa Justin Sihombing mengalami titik kisar sikap politik pada masa pendudukan Jepang. Nasionalisme Indonesia dalam dirinya makin pekat bergelora setelah Jepang membelenggu kebebasan beragama. Ini mengabstraksikan adanya korelasi yang signifikan antara spirit nasionalisme dan kebebasan beragama. ***

Penulis adalah anggota Lembaga Pemberdayaan Media dan Komunikasi (LAPiK), Medan.

()

Baca Juga

Rekomendasi