Rasulullah Saw Mempraktekkan Keadilan

rasulullah-saw-mempraktekkan-keadilan

• Oleh: Sofyan

Dalam Alquran dan hadis-hadis Nabi saw. dinyatakan agar seorang Muslim menegakkan keadilan, Alquran melarang untuk tidak melakukan keadilan sekalipun kepada musuh-musuh dan mereka yang telah melakukan kezaliman kepada, sebagaimana firman-Nya”Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi de­ngan adil dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS Al-Ma’idah: 8).

Alquran pun memerintahkan untuk berlaku adil walaupun kepada mereka yang berbeda agama, "Mereka itu adalah orang-orang yang suka mende­ngar berita bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahu­di) datang kepadamu (untuk me­minta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka, maka mereka tidak akan memberi mudharat kepada­mu sedikit pun. Dan jika kamu memutuskan per­kara mereka, maka putuskanlah (perka­ra itu) di antara mereka dengan adil. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil." (QS. Al-Ma'idah: 42)

Kedua ayat di atas, menjadi landa­san dan perintah kepada setiap Muslim untuk dapat menegakkan keadilan. Adil menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al-Usaimin ra. artinya menunaikan hak kepada setiap pemiliknya, atau mendu­dukkan setiap pemilik kedudukan pada tempat yang semestinya.

Untuk menegakkan keadilan bukan­lah hal yang mudah, menurut Ibnul Qayyim al-Jauziyah Allah swt. mengu­tus para Rasul-Nya, menurunkan kitab-kitab-Nya supaya manusia menegakkan al-qist (keadilan). Bentuk  keadilan yang paling agung menurut Ibnul Qayyim adalah tauhid.

Tauhid menjadi pilar utama penegak keadilan dan keadilan yang paling adil. Sedangkan kesyirikan merupakan keza­liman yang sangat besar dan ben­tuk kezaliman yang paling zalim.  Misi utama para Rasul yang diutus Tuhan ke dunia ini  untuk menanamkan kalimat tauhid agar mereka menjadi pribadi yang tidak menuhankan selain Allah dan tidak mengabdikan diri mereka kepada Thagut. 

Diutusnya Nabi Muhammad saw.  ke dunia bersama para Nabi yang lain, Nabi Nuh as, Nabi Ibrahim, Nabi Isa as dan sebagainya memiliki aktivitas mulia agar mendidik kaumnya menjauhi kesyirikan dan tidak menjadi manusia musyrik yang menzalimi orang lain.

Sejatinya, mereka yang telah tertanam di dadanya kalimat tauhid “la ilahaillallah wa anna Muhamma­da­rusulullah menjadi senjata yang ampuh dalam menegakkan keadilan.  Ketaq­waan dan keimanan kepada Allah, yang terpatri kokoh di dalam dada orang-orang yang beriman menjadi pondasi utama tegaknya keadilan.

Hikayat tentang Keadilan Nabi saw

Beberapa kisah mencerminkan ke­adilan Nabi saw., lihat piagam Madi­nah, yang ditandatangani oleh pendu­duk asli Madinah, kaum Yahudi serta imigran Muslim dari Makah. Salah satu pasal dari isi  Piagam Madinah yaitu memberikan kebebasan dalam melak­sanakan agama.

Ada  pasal yang menegaskan bahwa hak antara seorang Muslim dengan non Muslim sama, hal itu terdapat pada pasal 16 dari Piagam Madinah yang berbunyi,”Orang Yahudi yang mengikuti kami dipastikan berhak atas dukungan kami dan persamaan hak yang sama seperti salah seorang dari kami, ia tidak akan dirugikan atau musuhnya tidak akan dibantu.

Rasulullah saw. menegakkan keadilan terhadap dirinya sendiri, barangkali kita pernah mengetahui hikayah tentang seorang sahabat Nabi  Ukasyah bin Mihson, yang di do’akan Nabi masuk surga tanpa hisab.

Sekedar mengingatkan kembali kisah tersebut, Nabi Muhammad saw. tatkala merasa ajalnya sudah dekat, beliau mengumpulkan  para sahabat. Kemudian, beliau menyampaikan pidatonya, ''Sahabat-sahabatku seka­lian! Ajalku mungkin sudah dekat, dan aku ingin menghadap Allah dalam keadaan suci bersih. Mungkin selama bergaul dengan Anda sekalian, ada yang pernah aku pinjam uangnya atau barangnya dan belum aku kembalikan atau belum aku bayar, sekarang ini juga aku minta ditagih. Mungkin ada di antara kalian yang pernah aku sakiti, sekarang ini juga aku minta dihukum qishos (hukuman balasan). Mungkin ada yang pernah aku singgung perasaannya, sekarang ini juga aku minta maaf.''

Para sahabat terdiam, kondisi sangat hening, karena merasa tidak mungkin hal itu akan terjadi. Tapi, tiba-tiba seorang sahabat mengangkat tangan dan melaporkan satu peristiwa yang pernah menimpa dirinya, ''Ya Rasulullah! Saya pernah terkena tongkat komando Rasulullah saw pada saat Perang Badar. Ketika Rasulullah saw mengayunkan tongkat komando­nya, kudaku menerjang ke depan dan aku terkena tongkat Rasulullah saw. Saya merasa sakit sekali, apakah hal ini ada qishos-nya!''.

Nabi Muhammad saw menjawab, ''Ya, ini ada qishos-nya jika kamu merasa sakit.'' Rasul pun menyuruh Ali bin Abi Tholib mengambil tongkat ko­man­donya yang disimpan di rumah Fatimah. Setelah Ali bin Abi Thalib tiba kembali membawa tongkat komando, Rasulullah saw menyerahkan kepada sahabatnya untuk melaksanakan qishos.

Seluruh sahabat yang hadir di majelis itu hening, apa kira-kira yang akan terjadi jika Rasulullah saw dipukul dengan tongkat itu. Di tengah keheni­ngan itu, Ali bin Abi Tholib tampil ke depan: ''Ya Rasulullah! Biar kami saja yang dipukul oleh orang ini. Abu Bakar dan Umar bin Khattab juga ikut maju. Tetapi, Rasulullah memerintahkan, Ali, Abu Bakar, dan Umar agar mundur, sambil berkata: ''Saya yang berbuat, saya yang dihukum, demi keadilan''.

Situasi tambah hening. Tetapi, di tengah-tengah keheningan itu tiba-tiba sahabat yang siap jadi algojo itu berkata: ''Tapi di saat saya terkena tongkat komando, saya tidak pakai baju.'' Mendengar itu langsung Rasulullah saw membuka bajunya di depan para sahabat. Kulit Rasulullah saw tampak bercahaya, tetapi ciri ketuan sudah terlihat jelas.

Menyaksikan hal ini para sahabat tambah khawatir, Ali bin Abi Tholib tam­pil lagi ke depan memohon kepada Rasul agar dia saja yang di-qishos. Tapi, Rasulullah saw langsung memerintahkan agar Ali mundur, karena hukuman itu harus dijalankan sendiri demi keadilan.

Tiba-tiba sahabat ini menjatuhkan tongkatnya langsung merangkul dan mencium Rasulullah saw. dan berkata: Ya Rasulullah! Saya tidak bermaksud melaksanakan qishos, saya hanya ingin melihat kulit Rasulullah saw menyentuh dan menciumnya. Sahabat-sahabat yang lain tersentak, gembira. Rasulullah langsung berkata: ''Siapa yang ingin melihat ahli surga, lihatlah orang ini.''

Sejatinya kisah ini menjadi tauladan bagi kita semua, terkhusus kepada para pemimpin saat ini agar mencontoh keadilan yang telah dilakukan oleh Nabi saw. beliau sangat menjunjung tinggi keadilan, kendati beliau sebagai se­orang kepala negara, pemimpin umat Islam tetapi beliau memperkenankan rakyatnya untuk memberikan hukuman atas kezaliman yang pernah dilakukan. 

Hukum seharusnya ditegakkan dengan penuh keadilan, tidak tumpul ke atas tetapi tajam ke bawah. Seorang pemimpin sejatinya berani  menegakkan keadilan kepada semua pihak tanpa memandang pangkat, jabatan, keka­yaan, ras, suku, agama, baik dari partai­nya sendiri maupun orang-orang yang di luar partainya.

Keadilan menjadi substansi dari hukum, hukum diterapkan untuk menciptakan kedamaian, melindungi manusia dan tidak dijadikan alat untuk menindas dan menghabisi musuh. Wallahu a’lam.

Penulis dosen di STAI Darularafah Deli Serdang

()

Baca Juga

Rekomendasi