Oleh: Andri Setyawan
DEVISA merupakan salah satu sumber pendapatan suatu negara, baik yang berasal dari hasil ekspor barang dan jasa, pungutan bea masuk maupun dari sektor pariwisata. Oleh karena itu, sektor pariwisata sebagai salah satu sumber devisa dipandang sebagai hal yang penting bagi suatu negara.
Setiap negara kini mulai menggenjot sektor pariwisata mereka termasuk Indonesia yang akhir-akhir ini semakin gencar melakukan promosi ke negara-negara lain. Pada tahun ini, pemerintah mencanangkan pariwisata sebagai pendongkrak utama devisa negara. Hal itu tidak lepas dari meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan mancanegara dari tahun ke tahun.
Pada 14 Juni 2017 lalu, seiring dengan meningkatnya kunjungan wisatawan mancanegara, pemerintah meluncurkan program lanjutan dari Pesona Indonesia yakni 10 Destinasi Pariwisata Proritas (DPP), yang terdiri dari Danau Toba, Candi Borobudur, Tanjung Lesung, Tanjung Kelayang, Wakatobi, Labuan Bajo, Kepulauan Seribu, Mandalika, dan Pulau Morotai. Program tersebut diharapkan dapat mendongkrak devisa negara kita.
Dilansir lewat laman Kontan 01/02/2019, jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia di sepanjang tahun 2018 mencapai 15,81 juta. Angka ini naik 12,58 persen dibandingkan tahun 2017 yang berjumlah 14,04 juta. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), tercatat pada bulan Januari 2019 terjadi peningkatan jumlah kunjungan wisatawan mancanegara sebanyak 1,16 juta.
Angka tersebut naik 5,22 persen dibandingkan pada Januari 2017 yang tercatat sebanyak 1,10 juta. Adapun menurut pintu masuk, paling banyak melalui udara yakni mencapai 743,9 ribu atau sekitar 64 persen. Melalui laut sebanyak 223,5 ribu atau 19 persen dan melalui jalur darat sebanyak 190,7 ribu atau 17 persen.
Meski jumlah wisatawan mancanegara kita meningkat, namun dari berbagai survei menunjukkan bahwa Indonesia masih berada peringkat keempat di ASEAN dalam jumlah kunjungan wisatawan mancanegara, dimana pada tahun 2017 sebanyak 14,04 juta dan tahun 2018 sebanyak 15,81 juta kunjungan.
Indonesia tertinggal jauh dari Thailand yang menempati peringkat pertama dimana pada tahun 2017 sebanyak 35,4 juta dan tahun 2018 sebanyak 38,3 juta kunjungan, disusul Malaysia di peringkat kedua yang pada tahun 2017 sebanyak 25,7 juta dan 2018 dengan 25,8 juta kunjungan dan Singapura di peringkat ketiga yang pada tahun 2017 sebanyak 17,4 juta dan 2018 dengan 18,5 juta kunjungan.
Tentu ini hal yang sangat memprihatinkan, sebagai negara terbesar di ASEAN dengan segala kekayaan budaya, keindahan alam serta keanekaragaman flora dan fauna harusnya bisa menarik wisatawan mancanegara lebih banyak lagi daripada ketiga negara ASEAN tersebut.
Ada beberapa hal untuk menyiasati masalah-masalah yang menganggu wisatawan mancanegara datang ke Indonesia. Hal-hal ini harus dilakukan oleh pemerintah agar pariwisata kita dapat mendongkrak devisa negara. Pertama, kemasan paket wisata harus lebih menarik, unik dan spesifik. Dengan memberikan pengalaman wisata yang berkesan kepada para wisatawan mancanegara dan mereka tidak akan pernah menjumpainya di negara lain.
Misalnya saja Thailand, yang kemasan pariwisatanya memfokuskan pada wisata mewah, antara lain dengan cara meningkatkan pariwisata di bidang kapal pesiar, golf, wisata medis, kesehatan dan kebugaran. Mereka juga mengembangkan pariwisata berbasis komunitas di daerah terpencil dan wisata ramah perempuan. Manfaat wisata mewah yakni dapat menjadi variasi wisata apabila wisatawan sudah bosan berkutat pada wisata alam dan budaya, mereka akan mendapat sebuah kenyamanan saat menikmatinya.
Selain itu, berwisata di daerah terpencil akan memberikan sensasi tersendiri dan juga wisata ramah terhadap wisatawan perempuan memang sangat jadi primadona saat ini. Tentunya, jika kemasan pariwisata tersebut diterapkan di Indonesia, maka peluangnya juga ada. Tinggal bagaimana mengemasnya lebih baik lagi untuk meningkatkan citra dan brand image tersendiri bagi pariwisata Indonesia.
Kedua, pembenahan infrastruktur. Objek wisata kita sangat berlimpah mulai dari alam, jejak peradaban sampai yang modern alias kekinian. Namun kontribusi pariwisata kita belum bisa dikatakan membanggakan karena infrastruktur yang tidak memadai. Diperlukan sinergi aktif pemerintah dalam membangun sarana-sarana penunjangnya.
Hal ini sesuai dengan program Nawa Cita Presiden Jokowi yakni meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional. Produktivitas rakyat dapat terangkat dengan pembenahan infrastruktur di daerah wisata seperti akses jalan, penginapan dan informasi. Sehingga, pariwisata Indonesia lebih terangkat pamornya di tingkat internasional.
Ketiga, peningkatan kualitas dan kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) merupakan salah satu kunci sukses memenangkan persaingan pariwisata global. Realitanya, masih kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM) yang cakap, membuat pariwisata kita seperti "terlambat panas". Untuk itu, pemerintah diharapkan sesering mungkin mengadakan kegiatan soft skill tentang bagaimana cara melayani wisatawan dan kemampuan berbahasa Inggris kepada para pegiat wisata.
Keempat, pemerintah juga menghadirkan promosi pariwisata kebudayaan dan kearifan lokal. Majemuknya budaya dan kearifan lokal masyarakat Indonesia sangat memungkinkan apabila dikembangkan menjadi destinasi wisata baru. Selama ini, sangat jarang pemerintah menonjolkan promosi wisata kebudayaan dan kearifan lokal.
Untuk itulah, pemerintah harus mempromosikanya karena itulah identitas dan ciri khas bangsa Indonesia. Tentu itu dapat menjadi nilai tersendiri karena memiliki ikon yang khas dan masih alami sehingga menarik wisatawan untuk berkunjung ke Indonesia sehingga semakin masyur dan diakui keberadaannya oleh wisatawan mancanegara.
Bagaimana pun juga, fokus utama pemerintah adalah menjadikan sektor pariwisata sebagai sumber utama penghasil devisa. Itu artinya pembenahan pariwisata kita menjadi hal urgen. Oleh karena itu, pembenahan pada kemasan wisata, infrastruktur, Sumber Daya Manusia (SDM) dan promosinya harus secepat mungkin dilakukan. Risikonya, jika pariwisata tidak sukses, maka devisa negara kita akan juga jauh dari target yang diharapakan. ***
* Penulis adalah mahasiswa program studi ilmu sejarah Universitas Sebelas Maret (UNS), Surakarta, Jawa Tengah