Oleh: Agung Hermansyah
“MULUTMU harimaumu yang akan menerkammu”. Ucapan Galih Ginanjar terkait “ikan asin” yang bermuatan asusila terhadap mantan istrinya Fairuz A Rafiq di akun Youtube Rey Utami dan Pablo Benua telah mengantarkan mereka bertiga menjadi seorang tersangka.
Ketiganya disangkakan atas dugaan tindak pidana pencemaran nama baik dan melanggar ketentuan Pasal 27 ayat (1) jo. Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (1) UU ITE jo. Pasal 310 jo. Pasal 311 jo. Pasal 55 KUHP dan telah resmi dilakukan penahanan oleh kepolisian terhitung Jumat (12/7/2019).
Memetik pelajaran dari kasus tersebut, bahwa browsing, upload dan sharing konten di dunia maya juga butuh etika. Ketika pengguna medsos kurang bijak menggunakan medsosnya, justru menjadi bumerang bagi pemilik medsos itu sendiri. Bisa jadi pribahasa yang lebih tepat dalam konteks kekinian adalah “Medsosmu Harimaumu yang akan menerkammu”.
Demi menghormati proses hukum (due process of law) yang berjalan terhadap kasus tersebut, maka tulisan ini tidak akan menyentuh pokok permasalahan. Melainkan hanya membahas hal-hal yang sifatnya umum.
Meskipun penerapan sanksi pidana dalam UU ITE menimbulkan banyak kontroversi di kalangan publik, namun penerapan sanksi pidana sendiri masih sangat dibutuhkan. Pakar hukum pidana di seluruh dunia, baik yang pro dan kontra terhadap penggunaan sanksi pidana sepakat, bahwa penerapan sanksi pidana masih dibutuhkan, tetapi tidak sebagai hukum balas dendam (lex tailonis) melainkan untuk keadilan korektif, rehabilitatif, dan restoratif.
Keadilan korektif berkenaan dengan hukuman yang dijatuhkan kepada terpidana. Keadilan rehabilitatif berhubungan dengan upaya untuk memperbaiki terpidana. Dan keadilan restoratif penyelesaian yang adil dengan menekankan pada keadaan semula dan bukan pembalasan.
Vos menyebutkan hukum pidana berfungsi untuk melawan tindakan-tindakan yang tidak normal. Tindakan-tindakan yang tidak normal dimaksud adalah (1) tindakan yang menyerang kepentingan individu (indviduale belangen), dan (2) tindakan yang menyerang kepentingan masyarakat ataupun negara (sociale of maatschappelijkebelangen).
Sebagaimana yang dikatakan Romli Atmasasmita bahwa penerapan hukum itu haruslah dilakukan dengan berhati-hati, tidak tergesa-gesa, dan penuh amarah serta sewenang-wenang, karena akan menimbulkan kontra produktif bagi ketertiban dan kesejahteraan umat manusia. Begitu juga penerapan sanksi pidana harus dilakukan dengan hati-hati untuk mencegah terjadinya kriminalisasi dan viktimisasi.
Melihat banyaknya korban akibat dari elastisitas Pasal-Pasal UU ITE, maka untuk kasus serupa beberapa Yurisprudensi dapat dijadikan rujukan oleh aparatur penegak hukum, terutama Hakim. Yurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum. Memang tidak semua Putusan Hakim bisa dijadikan Yurisprudensi, hanya Putusan Hakim yang memenuhi syarat, yakni (1) memiliki kekuatan hukum tetap, (2) Diikuti putusan setelahnya, (3) memuat pertimbangan yang baik, dan (4) diterima dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung RI.
Berdasarkan SK Ketua Mahkamah Agung No.142/KMA/SK/IX/2011 jo. SEMA No. 4 Tahun 2016, untuk kasus dan pokok permasalahannya serupa, Hakim wajib menjadikan Yursiprudensi terdahulu sebagai rujukan dalam pertimbangan hukumnya.
Putusan PN Bantul Nomor 196/Pid.Sus/2014/PN.BT menegaskan ‘’Pasal 27 ayat (3) UU ITE sebagai delik aduan absolut dan yang boleh melaporkan adanya dugaan tindak pidana pencemaran nama baik adalah orang yang menjadi korban langsung’’.
Putusan PN Raba Bima Nomor 292/Pid.B/2014/PN.Rbi menyatakan ‘’suatu pernyataan yang tidak ada penyebutan nama secara langsung, maka pernyataan tersebut tidak memiliki muatan penghinaan’’.
Putusan PN Tangerang Nomor 1269/Pid.B/2009/PN.TNG menyatakan ‘’apabila suatu perbuatan dilakukan demi kepentingan umum, atau karena terpaksa membela diri, maka punya konsekuensi dimana seseorang berhak mendistribusikan, mentransmisikan, membuat dapat diakses informasi elektronik meskipun isinya bersifat penghinaan’’.
Tuntutan Ganti Kerugian
Sebenarnya, KUHPerdata sendiri sangat akomodatif menyeret kasus pencemaran nama baik atau penghinaan untuk digugat secara keperdataan melalui gugatan perbuatan melawan hukum yang dapat dimintakkan ganti kerugian.
Terlebih, makna perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPerdata telah diperluas. Tak hanya melanggar UU saja, tetapi juga meliputi: (1) bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, (2) bertentangan dengan hak subjektif orang lain, (3) bertentangan dengan kesusilaan, dan (4) bertentangan dengan kepatutan, ketelitian, dan kehati-hatian, sebagaimana terdapat dalam beberapa Yurisprudensi dan doktrin.
Dalam konteks perdata, berbicara mengenai perbuatan melawan hukum maka tidak bisa lepas dari unsur kesalahan, yang mana kerugian lahir karena adanya kesalahan sebagaimana tercantum dalam Pasal 1366 KUHPerdata.
Unsur tanpa hak atau melawan hukum dalam UU ITE pun juga telah diperjelas melalui Yurisprudensi Putusan PN Kota Timika No.120/Pid.Sus/Pn.Tim, yang dimaksud dengan tanpa hak atau melawan hukum dapat dibedakan menjadi (1) melawan hukum secara formil, yaitu yang bersumber pada undang-undang yang berlaku dan (2) melawan hukum secara materil, yaitu bukan saja berdasarkan undang-undang yang berlaku, tetapi juga didasarkan atas azas ketentuan umum, kesusilaan, dan kepatutan yang hidup didalam masyarakat.
Apalagi makna kerugiaan immateril dalam gugatan perbuatan melawan hukum telah diperluas, tak hanya keuntungan yag akan diperoleh saja, tetapi juga terhadap kematian, rasa malu, penghinaan dan kekecewaan sebagaimana dimaksud dalam Yurisprudensi Putusan PN Semarang No.304/Pdt/2011/PN.Smg jis. Putusan Banding No.254/B/Pdt/2012/PT.Smg jis. Putusan Kasasi No.820/K/Pdt/2013 jis. Putusan PK No. 632/PK/Pdt/2014.
Perkara pencemaran nama baik atau penghinaan lewat medsos yang dengan sengaja didistribusikan, ditransmisikan atau membuat dapat diakses yang menimbulkan rasa malu, menyerang subjektifitas, dan merendahkan martabat orang lain telah memenuhi unsur perbuatan melawan hukum, yakni melanggar hukum, adanya kesalahan (schuld), dan kerugian (scade).
Sehingga rasa malu, penghinaan, dan kekecawaan akibat yang timbul dari pencemaran nama baik atau penghinaan lewat medsos bisa dituntut ganti kerugian melalui gugatan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 jo. Pasal 1366 KUHPerdata. Hukum harus dijadikan mekanisme penyelesaian masalah yang adil dan bermartabat. Karena hukum selalu memberi obat (lex semper dabit remedium) terhadap ketidakteraturan dan ketidaknormalan dalam kehidupan masyarakat. ***
Penulis adalah, advokat & konsultan hukum, Associate Servanda Law Office Jakarta.