Kasus Kekerasan Terhadap Jurnalis Didominasi Polisi

Kasus Kekerasan Terhadap Jurnalis Didominasi Polisi
Ketua Aliansi Junalis Independen (AJI) Indonesia, Abdul Manan memaparkan ‘Potret Kebebasan Pers Indonesia 2019' di Jakarta Selatan, Senin (23/12). (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily (Medan) - Pendataan yang dilakukan Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, setidaknya sampai 23 Desember 2019, terdapat 53 kasus kekerasan terhadap Jurnalis.

Dibanding tahun sebelumnya, jumlah tahun ini mengalami penurunan. Tahun 2018 setidaknya ada 64 kasus kekerasan. Namun jika merujuk pada rata-rata kasus kekerasan dalam 10 tahun ini, jumlah ini masih di atas rata-rata.

Meski lebih rendah dibandingkan dengan jumlah kasus pada 3 tahun belakangan ini, namun itu masih di atas jumlah kasus pada tahun 2013 (40 kasus), 2014 (40 kasus), dan 2015 (42 kasus).

Paparan kasus tersebut disampaikan Ketua Aliansi Junalis Independen (AJI) Indonesia, Abdul Manan diacara Catatan Akhir Tahun AJI dengan tema ‘Potret Kebebasan Pers Indonesia 2019 di Jakarta Selatan, Senin (23/12).

Dalam penjabarannya, Manan menyebutkan, kasus kekerasan masih didominasi oleh kekerasan fisik sebanyak 20 kasus. Setelah itu, diikuti perusakan alat atau data hasil liputan (14 kasus), ancaman kekerasan atau teror (6 kasus), pemidanaan atau kriminalisasi (5 kasus), pelarangan liputan (4 kasus).

Masih dominannya kasus dengan jenis kekerasan fisik ini sama dengan tahun sebelumnya. Tahun lalu jenis kekerasan fisik tercatat ada 12 kasus, tahun 2017 sebanyak 30 kasus.

AJI menilai, berulangnya kasus kekerasan ini, termasuk kekerasan fisik, karena minimnya penegakan hukum dalam penyelesaiannya. Berdasarkan monitoring, kata Manan, sebagian besar kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis sangat jarang berakhir di pengadilan dan pelakunya dihukum secara layak.

“Meski ada faktor keengganan dari jurnalis, karena kurangnya dukungan perusahaan, faktor terbesar adalah praktik impunitas yang terus berlangsung bagi pelakunya,” kata Manan.

Fakta yang lebih merisaukan pada tahun 2019 ini, lanjutnya menjelaskan, adalah saat melihat statistik pelaku kekerasan terhadap jurnalis dan apa yang menjadi penyebabnya.

“Dari 53 kasus kekerasan itu, pelaku kekerasan terbanyak adalah polisi, dengan 30 kasus. Pelaku kekerasan terbanyak kedua adalah warga (7 kasus), organisasi massa atau organisasi kemasyarakatan (6 kasus), orang tak dikenal (5 kasus),” papar Manan.

Dari total jumlah kasus itu, penyumbang terbanyak adalah kasus kekerasan terhadap jurnalis yang terjadi dalam dua peristiwa, yaitu demonstrasi di depan kantor Badan Pengawas Pemilu 20-21 Mei 2019 dan demonstrasi mahasiswa 23-30 September 2019 lalu.

Menurut identifikasi yang mereka lakukan, serta yang diverifikasi Komite Keselamatan Jurnalis, pola dari kasus kekerasan itu sama. Pelakunya polisi, penyebabnya adalah karena jurnalis mendokumentasikan kekerasan yang dilakukan mereka.

Selain soal kasus kekerasan terhadap jurnalis dan ada juga regulasi yang kurang bersahabat terhadap kebebasan pers, tahun ini juga mencatat adanya kebijakan yang tak sejalan dengan semangat kebebasan, yaitu pemblokiran internet.

Menurut Manan, ini seperti melengkapi apa yang menjadi kekhawatiran komunitas pers tentang makin represifnya negara melalui legislasi dan tindakan, serta disrupsi digital yang membuat sejumlah media melakukan efisiensi dan pemutusan hubungan kerja.

Regulasi yang Tidak Bersahabat

Pemerintah sudah lama ingin merevisi Kitab Undang Hukum Pidana warisan penjajahan Belanda yang masih menjadi rujukan utama hukum pidana. Ide itu tentu saja layak didukung karena situasi sudah banyak berubah dibandingkan dengan saat undang-undang itu dibuat pada masa Indonesia sebelum merdeka.

Ekspektasinya adalah, revisi itu hendaknya mencerminkan semangat zaman yang berubah dengan cepat dan sistem politik yang sudah demokratis.

“Namun kita kurang melihat semangat itu dalam revisi KUHP yang dibahas secara intensif oleh Pemerintah dan DPR. Dalam revisi itu kedua lembaga menambahkan sejumlah pasal baru, yang dianggap tak mencerminkan semangat reformasi,” ujar Manan.

“Termasuk dalam pasal-pasal yang berhubungan dengan kebebasan pers. Dalam Draf RUU KUHP tertanggal 28 Agustus 2019, AJI mencatat setidaknya ada 10 pasal yang berpotensi mengancam kebebasan pers,” sambungnya.

Adapun 10 pasal itu masing-masing: Pasal 219 tentang penghinaan terhadap presiden atau wakil presiden; Pasal 241 tentang penghinaan terhadap pemerintah; Pasal 247 tentang hasutan melawan penguasa; Pasal 262 tentang penyiaran berita bohong dan Pasal 263 tentang berita tidak pasti.

Kemudian Pasal 281 tentang penghinaan terhadap pengadilan; Pasal 305 tentang penghinaan terhadap agama; Pasal 354 tentang penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara dan Pasal 440 tentang pencemaran nama baik serta Pasal 444 tentang pencemaran orang mati.

“Kritik keras terhadap pasal-pasal itu memang sempat membuat pemerintah dan DPR melakukan sedikit revisi. Berdasarkan draft September 2019, pasal 281 tentang penghinaan terhadap pengadilan dipangkas pasalnya dan menghilangkan ketentuan yang bisa mempidanakan jurnalis,” ucapnya.

Di luar pasal itu, Pemerintah dan DPR tak mendengarkan lagi aspirasi publik. Keduanya juga berencana tetap mengesahkan revisi itu dalam sidang paripurna DPR 24 September 2019.

“Setelah ada demontrasi meluas dan besar oleh masyarakat sipil dan mahasiswa sejak pertengahan September 2019 lalu, barulah DPR dan Pemerintah berubah pikiran. Namun demonstrasi itu tak menghentikan pembahasannya, melainkan hanya menunda pengesahannya,” tambahnya.

(CSP)

Baca Juga

Rekomendasi