Catatan LBH Pers: Polisi Pelaku Kekerasan Terbanyak

Catatan LBH Pers: Polisi Pelaku Kekerasan Terbanyak
Direktur Eksekutif LBH Pers Jakarta, Ade Wahyudi (paling kanan atas) saat memaparkan hasil laporan tahunan diacara Annual Report ’20 Tahun UU Pers: Menagih Janji Perlindungan’ di Tjikini Lima, Jalan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (13/1). (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Jakarta – Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Jakarta menyebut, tahun 2019 merupakan tahun kekerasan terhadap jurnalis. Penyebutan itu disampaikan bukan tanpa alasan, karena lembaga itu telah mengumpulkan data sejak Januari hingga Desember 2019.

Data pemantauan terhadap kebebasan pers yang dilakukan LBH Pers menunjukkan, sedikitnya tercatat 79 peristiwa kekerasan. Dengan rincian, 75 kasus kekerasan jurnalis, 2 kasus terhadap jurnamahasiswa dan 2 kasus terhadap narasumber media.

Kasus terakhir di luar jumlah di atas yang terekam pada akhir tahun 2019 adalah kasus kekerasan di Siantar, yaitu terhadap jurnalis lintangnews.com karena sedang melakukan peliputan peredaran sabu. Lalu kasus penganiayaan jurnalis penyandang disabilitas suara.com saat meliput pembebasan Ahmad Dhani dari Rutan Cipinang Jakarta Timur.

LBH Pers mengkategorikan jenis kekerasan terhadap jurnalis menjadi dua jenis, yaitu kekerasan fisik dan non fisik. Kekerasan fisik, seperti penganiayaan dan penganiayaan non fisik seperti teror/ancaman kekerasan, serangan digital, termasuk doxing, kriminalisasi, intimidasi, pelarangan peliputan, perampasan atau perusakan alat peliputan, dan kriminalisasi narasumber.

Dalam satu peristiwa bisa saja terjadi 2 kasus atau lebih, seperti tindakan penganiayaan dibarengi dengan perampasan alat atau penghapusan hasil liputan. Peristiwa tersebut dimasukkan ke kategori sesuai kasusnya.

“Kekerasan fisik terhadap jurnalis menempati tingkat pertama kasus kekerasan terbanyak yang berjumlah 30 kasus,” kata Direktur Eksekutif LBH Pers Jakarta, Ade Wahyudi saat memaparkan hasil laporan tahunan diacara Annual Report ’20 Tahun UU Pers: Menagih Janji Perlindungan’ di Tjikini Lima, Jalan Cikini, Jakarta Pusat, Senin (13/1).

Posisi selanjutnya, kata Ade, kekerasan non fisik, yaitu peristiwa intimidasi dengan jumlah 18 kasus, kemudian pelarangan peliputan berjumlah 14 kasus, kriminalisasi jurnalis berjumlah 11 kasus, dan ancaman teror 4 kasus serta kriminalisasi narasumber berjumlah 2 kasus.

Ade lanjut menjelaskan, sedangkan pelaku kekerasan terbanyak dilakukan polisi (33 kasus), disusul kelompok warga atau massa (17 kasus). Kemudian unsur pejabat publik juga menyumbang kekerasan terhadap jurnalis selama setahun lalu (7 kasus) dan kalangan pengusaha (6 kasus).

Kekerasan yang dilakukan oknum polisi menunjukkan kenaikan tajam pada 2019, dengan angka 33 kasus. Meski pada dua tahun sebelumnya memperlihatkan penurunan, yakni 19 kasus pada 2017 menjadi 18 kasus pada 2018.

“Isu kekerasan ini menjadi perhatian serius terhadap kebebasan pers dan reformasi di sektor keamanan. Beberapa kasus yang sering mencuat ketika seorang jurnalis merekam aktifitas represif aparat kepolisian, seketika itu pula kekerasan seperti perampasan alat kerja, penghapusan hasil liputan hingga penganiayaan fisik terjadi pada jurnalis,” ujar Ade.

Meskipun seorang jurnalis sudah mengatakan kepada oknum polisi itu, bahwa ia adalah jurnalis, namun dibeberapa kasus hal tersebut tidak dihiraukan.

Tidak hanya itu, berdasarkan wilayah, Jakarta menjadi provinsi paling tidak ramah terhadap jurnalis. Bagaimana tidak, masih kata Ade, tercatat 33 kasus kekerasan terhadap jurnalis sepanjang tahun 2019.

“Kebanyakan kekerasan itu terjadi saat peliputan demonstrasi, baik penolakan hasil Pilpres di depan Gedung Bawaslu pada Mei dan aksi mahasiswa/pelajar/buruh menolak sejumlah rancangan UU pada September 2019,” paparanya.

Provinsi selanjutnya dengan catatan buruk terhadap kebebasan pers, di antaranya Sulawesi Tenggara dengan 8 kasus, Sulawesi Selatan 7 kasus, Jawa Timur 5 kasus, serta Banda Aceh , Sumatera Utara , Papua, dan Nusa Tenggara Timur masing-masing 4 kasus.

Akan tetapi, menurut Ade, mandeknya proses hukum dari banyaknya kasus kekerasan terhadap jurnalis, sangat sedikit yang diproses secara hokum.

Itu karena beberapa faktor, di antaranya pihak jurnalis sudah melapor kepada kepolisian, namun penyelesaianya lama, bahkan terkesan tidak ada tindak lanjut. Lalu pihak jurnalis atau perusahaan medianya memilih mendiamkan dan tidak mau berurusan dengan proses hukum.

“Atas hal itu, kami menilai berpotensi menambah deretan panjang kasus impunitas kekerasan terhadap jurnalis, dan potensi keterulangan sangat mungkin terjadi,” tuturnya.

Ade pun mengatakan, dua faktor itu pola klasik yang mengakibatkan kasus kekerasan terhadap jurnalis akan terus berulang. Kesadaran akan pentingnya penyelesaian kasus atas tindakan kekerasan untuk perkembangan kemerdekaan pers adalah prasyarat mutlak bagi negara demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai hak kebebasan berekspresi dan kebebasan pers.

(CSP)

Baca Juga

Rekomendasi