Petani merawat bibit tembakau di Desa Penagguan, Pamekasan, Jawa Timur, Kamis (30/4). (ANTARA FOTO/Saiful Bahri/aww.)
Analisadaily.com, Jakarta - Kebijakan Menteri Keuangan, Sri Mulayani pada tahun 2019 yang menaikan cukai rokok sebesar 23 persen dan harga jual eceran rokok sebesar 35 persen telah menurunkan jumlah produksi dan penjualan rokok.
Sehingga berdampak buruk pada kesejahteraan petani tembakau. Semakin turun karena wabah Covid-19 dan resesi ekonomi nasional. Produksi dan penjualan yang turun otomatis menurunkan jumlah pembelian tembakau di kalangan petani.
“Jumlah Penjualan tembakau masyarakat petani sangat tergantung dari banyaknya produksi dan penjualan produk rokok nasional,” kata Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Nusa Tenggara Barat, Sahmihudin di Jakarta, Kamis (28/5).
Kata dia, sejak adanya kenaikan itu, harga rokok naik dan penjualannya turun. Hal ini berakibat pada jumlah pembelian tembakau oleh industri rokok kepada para petani.
“Diperparah lagi oleh virus Coronadan resesi ekonomi saat ini. Ini berakibat pada menurunnya tingkat kesejahteraan petani tembakau,” sambung Sahmihuin.
Ia mengungkapkan, saat ini ada ratusan ribu tenaga kerja yang terlibat di perkebunan tembakau, ditambah ratusan ribu hingga jutaan tenaga kerja yang terlibat di sektor industri rokok dan industri pendukungnya.
Hal ini merupakan bukti, industri rokok telah menggerakan perekonomian masyarakat. Ditambah pemasukan keuangan dari sektor cukai dan pajak yang sangat tinggi bagi pemerintah termasuk saat pendemi ini.
Dia lanjut memaparkan, di NTB ada sekitar 150 ribu hingga 200 ribu tenaga kerja yang terlibat di sektor perkebunan tembakau. Belum lagi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan propinsi lainnya.
“Ratusan ribu hingga jutaan tenaga kerja yang terserap di industri rokok dan industri pendukungnya. Karena itu pemerintah harus serius melindungi industri rokok dan perkebunan tembakau,” harap Samihudin.
Indsutri hasil tembakau selain menyerap tenaga kerja yang banyak, juga menyerap modal yang tinggi.
Biaya yang diperlukan untuk membayar buruh tani tembakau dan pengolahannya dalam setahun mencapai Rp 800 miliar – Rp 1.2 triliun. Dari 110.000 ton hasil tembakau, yang terserap hanya sekitar 50.000 ton. Sisanya, diserap namun dengan harga dibawah pasar.
“Karena itu kami minta pemerintah berlaku adil. Kalau industri lainnya diperhatikan, maka industri hasil tembakau termasuk perkebunan tembakau juga mendapat perhatian pemerintah,” ucapnya.
Pemerintah harus hadir mengatasi permasalahan yang dihadapi petani tembakau juga pelaku industri rokok. Sebab keberlangsungan perkebunan tembakau tergantung dari keberlangsungan industri rokok di tanah air.
Industri tembakau ataupun industri rokok jangan hanya dijadikan mesin ATM atau tempat pengambilan uang pemerintah saja, baik lewat cukai maupun pajak.
“Persoalan yang dihadapi masyarakat petani tembakau dan industri rokok juga dibantu diatasi oleh pemerintah. Pemerintah Pusat dan Pemda harus melindungi petani tenbakau dan hasil panen tembakaunya,” pinta Samihudin.
Bentuk kehadiran pemerintah dalam mengatasi permasalahan industri hasil tembakau antara lain tidak menaikan cukai dan HJE rokok di saat krisis ekonomi dan wabah ini.
Menghentikan import tembakau dari negeri China. Serta memberikan subsidi pupuk bagi perkebunan tembakau. Pupuk yang diperlukan selain urea juga NPK, ZA, juga KN03.
Hasil perkebunan tembakau telah memberikan banyak manfaat bagi pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Jauh lebih besar dibandingkan pertanian pangan. Namun, selama ini petani tembakau tidak pernah mendapat bantuan dari pemerintah baik pusat maupun pemerintah daerah baik berupa subsidi pupuk ataupun yang lainnya.
“Kami sangat berharap pemerintah hadir membantu mengatasi permasalahan petani tembakau. Baik dalam membantu produksi tembakau, pemberian subsidi pupuknya, atau menghentikan import tembakau dari China,” harapnya.
Ia juga meminta, agar dana bagi hasiil cukai hasil tembakau (DBHCHT) yang diperoleh dari perpajakan perkebunan tembakau, dan industri rokok di setiap daerah dikembalikan ke pemerintah daerah untuk digunakan bagi peningkatan kualitas produksi tembakau oleh masyarakat petani tembakau.
Selama ini DBHCHT pemafaatannya salah kaprah baik oleh Pemda maupun Pemerintah Pusat. Masyarakat petani tembakau tidak menikmati DBHCHT. DBHCHT dinikmati kelompok masyarakat lain.
Sahmihudin juga menegaskan menolak anggapan yang menyebutkan rokok dapat memperparah penularan dan penyakit yang disebabkan Corona. Yang terjadi justru sebaliknya, asap rokok dapat mematikan Covid-19 yang ada di dalam tenggorokan.
Menurutnya, sudah ada penelitian di Perancis, asap rokok justru menghambat penyebaran Covid-19 di tubuh manusia.
Kalau mau dilarang, harusnya penjualan dan produksi junk food dan fast food di Indonesia. Karena jelas jelas, berdasarkan penelitian pakar kesehatan, jenis makanan ini menyebabkan penyakit jantung, diabetes dan penyakit yang disebabkan oleh kelebihan berat badan lainnya.
Ini membahayakan kesehatan. Kalau rokok jelas jelas orang yang merokok banyak yang Panjang umurnya. Sementara yang tidak merokok juga banyak yang pendek umurnya. Jadi belum dapat dibuktikan secara ilmiah merokok itu memperpendek umur.
Menurut Sahmihudin, isu yang menyebutkan rokok memperparah Covid-19 dihembuskan kelompok tertentu yang berafiliasi dengan organisasi internasional yang ingin menghancurkan industri hasil tembakau nasional.
Selain itu organisasi internasional ini juga mempengaruhi pemerintah pusat untuk menaikan cukai dan HJE rokok setiap tahunnya. Mereka meminta pemerintah Indonesia menaikan cukai setinggi tingginya bukan untuk menyehatkan rakyat Indonesia.
Harusnya, masih kata dia, pemerintah khususnya Sri Mulyani lebih memperhatikan dan memprioritas agenda nasional. Dalam hal ini melindungi produk dan keberlangsungan industri hasil tembakau dan produk rokok nasional.
Bukan mengutamakan agenda organisasi internasional yang ingin membatasi produk sekaligus dapat mematikan industri hasil tembakau nasional yang telah menyerap jutaan tenaga kerja dan memberikan pemasukan keuangan yang besar bagi pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Kenaikan cukai dan HJE rokok yang dilakukan oleh pemerintah di satu sisi memang menambah pemasukan pendapatan kas negara dalam jangka pendek. Namun disisi lain, banyak merugikan rakyat khsusunya petani dan buruh tembakau termasuk merugikan negara sendiri.
Apakah hal ini sudah diperhatikan oleh pemerintah? Apakah pemerintah sudah dapat memberikan substitusi pekerjaan atau penghasilan petani dan buruh perkebunan tembakau beserta sektor terkaitnya?
Jangan sampai pemerintah mengejar pendapatan negara lewat kenaikan cukai jangka pendek namun mengorbankan jutaan masyarakat petani, buruh tembakau dan buruh industri hasil tembakau.
Ia menambahkan, jika produksi dan penjualan rokok nasional turun drastis akibat adanya kenaikan cukai rokok, maka bukan hanya karyawan industri rokok dan petani tembakau kehilangan lapangan pekerjaan dan penghasilan.
Negara pun akan kehilangan pendapatan sekian ratus triliun dari industri hasil tembakau nasional.
Pada kesempatan tersebut, ia menolak adanya permintaan pembatasan iklan rokok baik di media luar ruang maupun di media media massa elektronik dan cetak.
Adanya iklan rokok juga menggerakan perekonomian masyarakat dan menghidupkan industri periklanan dan media massa di daerah sekaligus menggerakan ekonomi kreatif.
“Selama ini kan, iklan untuk rokok sudah dibatasi. Jangan dibatasi lagi. Iklan rokok juga kan menghidupkan perekonomian masyarakat. Juga menghidupkan ekonomi kreatif,” tambahnya.
(CSP)