Konflik Dengan Manusia, Harimau Sumatera Terancam Punah

Konflik Dengan Manusia, Harimau Sumatera Terancam Punah
Kepala BKSDA Aceh, Agus Arianto (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Banda Aceh - Keberadaan Harimau Sumatera (panther tigris sumatrae) sebagai satwa liar yang dilindungi terancam mengalami kepunahan di Aceh.

Kekhawatiran itu muncul akibat meningkatnya eskalasi konflik antara manusia dengan Harimau Sumatera setiap tahun.

Hal itu terungkap dalam diskusi virtual Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh bersama Lembaga Galang Suar Keadilan (LGSK), Flora Fauna Internasional (FFI) dan Flora Fauna Aceh.

Diskusi diisi pembicara Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Aceh Agus Arianto, Direktur Flora Fauna Aceh Dewa Gumay, peneliti Pusat Kajian Satwa Liar Universitas Syiah Kuala drh. Wahdi Azmi, dan Kasubdit IV Tipiter Ditkrimsus Polda Aceh AKBP Muliadi.

Dalam diskusi daring yang dimoderatori anggota FLJ Zulkarnain Masri itu, Agus Arianto mengungkapkan perlu kerja keras dan sinergitas semua pihak untuk melindungi harimau Sumatera dari ancaman kepunahan.

"Sepanjang semester pertama 2020 terjadi 18 kasus konflik harimau dengan manusia, sama dengan jumlah kasus pada tahun 2019," kata Agus, Senin (13/7).

Diprediksi konflik harimau masih akan terjadi karena dalam beberapa hari ini di kawasan Tenggulun, Kabupaten Aceh Tamiang, harimau berkeliaran di kawasan perkebunan warga.

Menurutnya populasi harimau sumatera di Aceh saat ini diperkirakan sekitar 200 ekor yang berada di Kawasan Ekosistem Leuser dan Ulu Masen. Namun data itu telah lama tidak diperbarui. Pada 2016 hingga 2020 jumlah konflik harimau di Aceh sebanyak 55 kali.

Daerah paling banyak terjadi konflik harimau adalah Kabupaten Aceh Selatan. Dampak konflik di Aceh Selatan satu ekor harimau betina mati diduga diracun.

Agus Arianto menambahkan, ada beberapa faktor pemicu konflik satwa liar dengan manusia seperti pembukaan kawasan hutan, perubahan fungsi lahan, perburuan, dan pola perkebunan tradisional yang tidak mempertimbangkan satwa lindung.

Sementara Direktur Flora Fauna Aceh, Dewa Gumay, menuturkan penanggulangan konflik satwa harus dilakukan secara menyeluruh mulai dari penataan kawasan hingga penindakan hukum. Penindakan hukum yang lemah tidak akan memberikan efek jera bagi pelaku.

Dewa menilai belum semua aparat kepolisian memiliki semangat sama dalam mengungkap kasus kejahatan satwa liar dan konservasi.

Dewa menyebutkan masih ada kasus yang tuntas diungkap seperti kasus kematian lima ekor gajah di Aceh Jaya, kematian satu ekor Harimau di Aceh Selatan, dan kematian gajah di Pidie Jaya.

"Ini menjadi preseden buruk dalam kasus penindakan hukum kejahatan perburuan dan perdagangan gelap satwa liar," terang Dewa.

Kasubdit IV Tipiter Ditkrimsus Polda Aceh, AKBP Muliadi menegaskan, jajaran kepolisian memiliki semangat kuat menindak pelaku kejahatan satwa liar dan konservasi. Bulan lalu empat tersangka perdagangan kulit harimau ditangkap di Aceh Timur.

"Kasus kematian lima ekor gajah di Aceh Jaya masih ditangani oleh Polres Aceh Jaya. Sedangkan kematian satu ekor harimau di Aceh Selatan ditangani Polres Aceh Jaya. Kami masih memantau perkembangan, jika perlu kasus itu ditarik ke Polda Aceh," terangnya.

Muliadi mengajak semua pihak terlibat mengawasi proses hukum dalam kasus kejahatan satwa liar. Pengawasan yang dilakukan publik akan mempengaruhi tingkat vonis terhadap terdakwa.

Sementara peneliti Pusat Kajian Satwa Liar Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), drh. Wahdi Azmi menuturkan perlu pelibatan aparatur desa dalam upaya mitigasi konflik satwa.

"Pemerintah desa sebagai perpanjangan tangan pemerintah kabupaten dan provinsi harusnya memiliki semangat sama untuk melindungi kawasan dan satwa," imbaunya.

(MHD/EAL)

Baca Juga

Rekomendasi