Thailand Prihatin Atas Kekerasan di Myanmar

Thailand Prihatin Atas Kekerasan di Myanmar
Kolom asap hitam tebal terlihat dari Hkamti, Sagaing, Myanmar pada 22 Mei 2021 dalam gambar ini diperoleh dari media sosial. (Reuters/News Anassador)

Analisadaily.com, Bangkok - Thailand prihatin dengan kekerasan di banyak bagian Myanmar dan ingin melihat implementasi langkah-langkah yang disepakati oleh para pemimpin Asia Tenggara dengan junta militer untuk membantu mengakhiri kekacauan sejak kudeta 1 Februari lalu.

Junta Myanmar telah menunjukkan sedikit tanda untuk mengindahkan lima poin "konsensus" yang disepakati di antara Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) pada April, yang menyerukan diakhirinya kekerasan, pembicaraan politik dan penunjukan utusan khusus regional.

"Kami telah mengikuti perkembangan di Myanmar dengan penuh perhatian, terutama insiden kekerasan di banyak bagian negara itu," kata juru bicara kementerian luar negeri, Tanee Sangrat dalam sebuah pernyataan dilansir dari Channel News Asia, Minggu (6/6).

Dia mengulangi seruan untuk mengakhiri kekerasan, pembebasan semua tahanan dan "implementasi konkret dari Konsensus Lima Poin" sesegera mungkin.

Junta telah gagal untuk memaksakan kontrol sejak merebut kekuasaan dari pemimpin terpilih Aug San Suu Kyi, yang termasuk di antara lebih dari 4.500 orang yang ditahan sejak kudeta. Sedikitnya 847 orang tewas, kata sebuah kelompok hak asasi manusia. Tentara membantah angka itu.

Sementara itu, protes harian terhadap militer telah berkembang di beberapa bagian Myanmar menjadi pemberontakan bersenjata sementara konflik etnis yang telah berlangsung selama satu dekade telah berkobar lagi.

Para penentang junta telah menyuarakan rasa frustrasi atas kurangnya tindakan keras oleh ASEAN dan mengatakan pertemuan dua perwakilan kelompok itu dengan pemimpin junta Min Aung Hlaing pada hari Jumat memberinya legitimasi yang lebih besar tetapi tidak membawa manfaat.

Thailand memiliki perbatasan yang lebih panjang dengan Myanmar daripada negara lain dan khawatir konflik tersebut dapat membawa banjir pengungsi. Pemerintahannya sendiri dipimpin oleh seorang mantan panglima militer yang merebut kekuasaan dalam sebuah kudeta sebelum mengadakan pemilihan.

"Banyak dari apa yang telah dilakukan Thailand mungkin tidak dipublikasikan karena kami percaya bahwa diplomasi yang tenang dan rahasia antara tetangga akan lebih efektif dan sejalan dengan diplomasi tradisional Thailand," kata Tanee.

(CSP)

Baca Juga

Rekomendasi