Ahli: Pengambilalihan Taliban Bisa Picu Perkembangan Terorisme di Indonesia

Ahli: Pengambilalihan Taliban Bisa Picu Perkembangan Terorisme di Indonesia
Pejuang Taliban berpatroli di jalan-jalan Kabul (AFP)

Analisadaily.com, Jakarta - Berita Taliban telah mengambil kendali Afghanistan dapat mendorong kelompok militan dan konservatif yang berjarak 6.000 km di Indonesia. Para ahli dan pejabat memperingatkan, berpotensi menimbulkan ancaman keamanan besar bagi negara Asia Tenggara itu.

Seorang peneliti senior di lembaga penelitian keamanan yang berbasis di Jakarta Pusat Studi Radikalisme dan Deradikalisasi, Muhammad Taufiqurrohman, mencatat beberapa kelompok militan dan konservatif telah merayakan pengambilalihan Taliban di media sosial dan grup obrolan online pribadi.

“Pengambilalihan Taliban telah memberikan dorongan moral kepada para ekstrimis di Indonesia untuk melanjutkan perjuangan mereka mendirikan Negara Islam dan memberlakukan hukum Syariah di Indonesia,” kata dia dalam diskusi, Selasa (26/8).

Dilansir dari Channel News Asia, Jumat (27/8), beberapa dari kelompok ini telah mendorong Indonesia untuk mengadopsi hukum Islam yang ketat, sementara yang lain berusaha untuk memisahkan diri dari negara dan membentuk pemerintahan Islam mereka sendiri.

“Beberapa telah menyatakan niat mereka untuk melakukan perjalanan ke Afghanistan. Mereka ingin belajar dari Taliban, belajar militer (strategi) dari mereka dan ingin menggunakan keterampilan yang mereka peroleh untuk menggulingkan rezim di Indonesia,” katanya.

Taufiqurrohman menambahkan, Pemerintah tidak boleh menganggap enteng pernyataan ini.

“Ketika konflik Suriah meletus, para ekstrimis di Indonesia secara terbuka berjanji setia kepada Negara Islam (IS) dan menyatakan niat mereka untuk bergabung (ISIS) di Suriah. Kami meremehkan mereka dan mengatakan bahwa tidak mungkin mereka benar-benar pergi ke Suriah. Kami menyadari betapa seriusnya mereka ketika sudah terlambat,” katanya.

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memperkirakan, lebih dari 1.200 orang Indonesia telah melakukan perjalanan ke Irak dan Suriah untuk bergabung dengan Negara Islam sejak 2014. Banyak lagi yang mencoba melakukannya tetapi rencana mereka digagalkan pejabat imigrasi Indonesia bahkan sebelum mereka meninggalkan negara itu atau oleh otoritas Turki yang menghentikan mereka dari melintasi perbatasan Turki yang keropos dengan Suriah.

Beberapa simpatisan ISIS, termasuk mereka yang gagal pergi ke Irak dan Suriah, telah melancarkan serangan teroris, terutama serangan 2016 di persimpangan sibuk di pusat kota Jakarta yang menewaskan delapan orang dan serangan 2018 di beberapa lokasi di kota terbesar kedua di Indonesia, Surabaya, yang menewaskan 28 orang.

Sejak itu telah terjadi beberapa serangan skala kecil yang melibatkan simpatisan ISIS di seluruh negeri.

Para ahli memperkirakan, pengambilalihan Taliban dapat membuka jalan bagi munculnya kembali jaringan teror regional Jemaah Islamiyah (JI).

Kelompok itu adalah salah satu organisasi pertama yang mengirim gerilyawan ke kamp pelatihan militer di Afghanistan setelah Taliban pertama kali menguasai negara itu pada 1996. Kamp pelatihan itu dijalankan oleh jaringan teror global Al-Qaeda, sekutu Taliban, dan dipimpin oleh teroris yang terbunuh Osama bin Laden.

Sekembalinya ke tanah air, militan JI melancarkan serangkaian serangan teroris mematikan yang dipersenjatai dengan pengetahuan dan keterampilan yang telah mereka pelajari di Afghanistan. Serangan di Indonesia semakin intensif setelah koalisi pimpinan Amerika Serikat menyerbu Afghanistan dan menggulingkan pemerintah Taliban sebagai tanggapan atas serangan 11 September.

“JI memiliki hubungan historis dan emosional dengan Taliban. Mereka memiliki ideologi yang sama dengan Taliban untuk mendirikan pemerintahan Islam di negara mereka masing-masing. Mereka membalas invasi Amerika ke Afghanistan dan mereka terus berharap bisa meniru Taliban,” kata mantan anggota JI, Nasir Abbas kepada CNA.

“Ketika Taliban mendapatkan kembali kendali atas Afghanistan, banyak anggota JI bergembira dan berharap mereka bisa pergi ke Afghanistan dan belajar dari Taliban. Jika ada yang mengirim militan untuk berlatih di Afghanistan, itu adalah JI," ujar Abbas.

Konsekuensinya mungkin mengerikan jika itu terjadi, kata Noor Huda Ismail, seorang peneliti tamu di S. Rajaratnam School of International Studies.

Ismail mencatat, tingkat kehancuran yang terlihat dalam serangan yang dilakukan oleh JI tidak dapat direplikasi oleh jaringan teror yang terkait dengan ISIS.

Meskipun serangan terakhir yang disahkan langsung oleh JI terjadi pada tahun 2007, kelompok teroris itu diyakini terus merekrut anggota, mengumpulkan dana, dan menimbun senjata.

“Hanya masalah waktu sebelum JI menjadi aktif dan melakukan kekerasan lagi,” kata Taufiqurrahman.

Menurut perkiraan BNPT, JI telah mampu merekrut sekitar 6.500 anggota sebelum Taliban berhasil merebut kembali kendali atas Afghanistan.

Pengambilalihan tersebut dapat menginspirasi lebih banyak orang untuk bergabung dengan JI, kata Abbas, mantan anggota JI.

“Mereka telah menggunakan masalah ini sebagai bagian dari strategi perekrutan mereka. Mereka ingin menarik kaum konservatif yang tidak tahu apa-apa tentang Taliban dan apa yang mereka perjuangkan,” katanya.

Abbas memperkirakan, akan memakan waktu dua hingga tiga tahun sebelum JI mulai mengirim simpatisan ke negara Timur Tengah itu.

“Saat ini, kami tidak tahu apakah Taliban bersedia menerima pejuang asing di tanah mereka. Pandemi telah membuat perjalanan (internasional) sulit. Bagi JI, keinginan untuk pergi ke Afghanistan ada dan selalu ada, tetapi kesempatan itu belum muncul dengan sendirinya,” ujarnya.

Kecepatan terjadinya ini tampaknya terkait erat dengan dinamika politik yang terjadi di dalam negeri di Afghanistan, para ahli lain mencatat.

Pada Februari tahun lalu, Presiden Donald Trump menandatangani kesepakatan damai dengan Taliban di Doha, Qatar. AS berjanji untuk menarik diri dari Afghanistan dan Taliban pada gilirannya berjanji untuk mencegah kelompok terorisme menggunakan tanah Afghanistan untuk memfasilitasi serangan terhadap AS atau negara lain.

“Tetapi ada banyak faksi di dalam Taliban dan tidak semua saling berhadapan. Jika ada pertikaian antar faksi, kemungkinan faksi yang lebih lemah akan mencari bantuan dari pejuang asing,” kata Ismail.

Perjanjian Doha tidak secara eksplisit menghentikan penggunaan pejuang asing jika terjadi perang saudara di Afghanistan.

Adhe Bhakti, direktur eksekutif dari lembaga think-tank Center for Radicalism and Deradicalisation Studies, mengatakan meskipun Afghanistan sebagian besar telah bebas dari pejuang asing hari ini, hal itu mungkin tidak akan terjadi di masa depan.

“Tidak ada konflik yang berarti di Afghanistan. Taliban mampu merebut kota-kota besar Afghanistan dengan sedikit perlawanan. Jika situasinya seperti Suriah, orang akan pergi ke sana berbondong-bondong,” katanya kepada CNA, seraya menambahkan bahwa kelompok teroris JI sedang memantau situasi di Afghanistan dengan cermat.

Ismail mengatakan, dia prihatin dengan banyak organisasi dan individu yang telah menyatakan dukungan mereka untuk Taliban, bahkan mereka yang hanya menggunakan masalah ini untuk mempromosikan diri mereka sendiri, memajukan agenda politik mereka dan mendapatkan dukungan dan pujian dari Muslim konservatif.

“JI telah secara aktif memetakan siapa yang menyuarakan dukungan mereka untuk Taliban di tanah air dengan harapan merekrut mereka,” katanya.

Ismail juga memperkirakan bahwa beberapa individu yang sebelumnya tertarik pada IS, yang dipandang sebagai saingan Taliban, ingin beralih pihak dan bergabung dengan JI karena pengambilalihan tersebut.

Brigadir Jenderal Eddy Hartono, direktur penegakan BNPT, mengatakan mereka juga memantau secara ketat siapa yang telah menyuarakan dukungan mereka untuk Taliban.

“Kita harus waspada. Jaringan teror menggunakan (pengambilalihan Taliban) sebagai momentum dan inspirasi,” katanya kepada CNA.

“BNPT bersama dengan lembaga dan organisasi lain sedang membangun kontra-narasi untuk memerangi pesan-pesan intoleran, radikal dan kekerasan yang telah disebarluaskan oleh kelompok-kelompok radikal," ujarnya.

Direktur BNPT mencatat bahwa yang hilang dari pujian dan pesan yang disiarkan oleh kelompok konservatif dan militan adalah fakta bahwa pengambilalihan Taliban terjadi sebagai akibat dari penarikan pasukan AS.

“Sebaliknya, itu digambarkan sebagai kemenangan yang datang dari konfrontasi militer. Ini digambarkan sebagai kemenangan agama tertentu melawan agama lain. Masyarakat harus bijak melihat apa yang terjadi di Afghanistan,” ujarnya.

Brigjen Hartono mengatakan para pejabat akan terus menindak jaringan terorisme yang beroperasi di Indonesia untuk melemahkan cengkeraman mereka di negara ini.

“Kami menangani masalah ini dari hilir dan hulu. Hilir melalui penangkapan, penuntutan dan rehabilitasi. Hulu melalui membangun kontra-narasi. Yang terakhir ini sulit. Karena kita tidak bisa mengubah ideologi seseorang dalam satu atau dua hari,” katanya.

(CSP)

Baca Juga

Rekomendasi