Masuk Nominasi FFI, 'parHEREK' Trigger Kebangkitan Perfilman Sumatera Utara

Masuk Nominasi FFI, 'parHEREK' Trigger Kebangkitan Perfilman Sumatera Utara
Aktris Prili Latuconsina saat membacakan para nomintor Festival Film Indonesia 2021 kategori Film Dokumenter Panjang Terbaik, Minggu (10/10). (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Medan - Film yang disutradarai Onny Kresnawan, 'parHEREK', berhasil masuk nominasi Festival Film Indonesia (FFI) 2021, setelah penyelenggara mengumumkan para nominator, Minggu (10/10) malam.

Onny mengaku awalnya ia tidak percaya film yang ia motori bersama timnya bisa masuk nominasi. Karena, kata dia, karya-karya yang ikut serta merupakan film yang sudah pernah menang dikancah internasional.

"Saya awalnya tidak yakin lolos. Saya pun memprediksi hanya ada sembilan yang bersaing dan karya kita tidak masuk," kata Onny saat ditemui usai nonton bareng Malam Nominasi Piala Citra Festival Film Indonesia 2021 di Literacy Coffee, Medan.

Dia menjelaskan, pada tahun 1960-an Sumatera Utara berjaya secara nasional dalam dunia perfilman, terutama film 'Turang' yang disutradarai Bachtiar Siagian meraih Piala FFI. Ia dinobatkan sebagai Sutradara Terbaik. Tidak itu saja, daerah ini juga pernah menjadi tuan rumah perhelatan bergengsi bagi insan perfilman pada 1970-an.

"Tapi setelah itukan habis, perfilman di Sumatera Utara seperti mati suri. Nah, dengan 'parHEREK' sebenarnya kita ingin memberikan semacam efek kejut. Karena, selama ini kita punya masa lalu yang begitu hebat, namun sempat redup. Sehingga, semoga ini menjadi pemicu (trigger) untuk kebangkitan perfilman Sumatera Utara," harapnya.

Film 'parHEREK' akan bersaing dikategori Film Dokumenter Panjang Terbaik. Karya yang diproduseri Ria Novida Telaumbanua ini bersama empat film terkenal lainnya, seperti 'Bara' (The Flame) sutradaranya Arfan Sabran, 'Catharina Leimena: Show Must Go On' disutradarai Patar Simatupang, kemudian 'Invisible Hopes' sutradaranya Lamtiar Simorangkir dan 'Kemarin' diarahkan Upie Guava.

Parherek diambil dari bahasa Batak Toba yang dalam film ini diartikan Penjaga Monyet. Proses pembuatan dokementer ini dilakukan di Hutan Sibaganding, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, atau tepat di tepi Danau Toba. Di sana terdapat ratusan, bahkan ribuan hewan primata hidup liar, namun dijaga dan diberikan makan seorang warga bernama Abdul Rahman Manik atau Detim Manik.

Onny lanjut menceritakan, memilih objek primata sebagai bahan dokumenter berawal pada tahun 2016 ketika mendapat projek membuat video biding Kaldera Toba. Salah satu Geosite yang diandalkan itu adalah Sibaganding. Di area itu ada keunikan, yaitu orang bisa hidup dengan keluarga primata.

"Menurut saya itu unik, karena ada sesuatu yang tidak biasa. Kita pun kemudian menentukan, bahwa ini bisa dijadikan film dokumenter khusus. Selain itu, ini juga kan salah satu destinasi wisata baru, apalagi sekarang Danau Toba sudah masuk kawasan Super Prioritas," paparnya.

Ia pun menambahkan, keunikan lain yang menarik perhatian adalah hewan primata Siamang, yang menurut dia hanya terdapat di Sumatera Utara. Karena satwa ini, wisatawan mancanegara, seperti Eropa datang khusus hanya untuk melihat dan memberi makan 'Imbo' tersebut. Bukan itu saja, Sibaganding juga punya keeksotisan karena keberadaan budaya Krenceng Hanoman.

"Itukan unik. Budaya itu kita tahu hanya di Bali, tapi di Simalungun ada. Jadi, kenapa tidak kita kembangkan. Di samping soal primatanya, budayanya juga masuk," tambah Onny.

Sebelumnya Onny juga sudah pernah menerima beberapa penghargaan berskala nasional dan internasional. Antara lain, film Berharap Air Di Atas Air mendapat penghargaan di Kompetisi Manusia dan Air FORKAMI, Jakarta (2008), Pantang di Jaring Halus sebagai film terbaik di JEFIVAL, Jatim (2008).

Film Perempuan Nias Meretas Jalan Kesetaraan mendapat penghargaan tayang di CST Confrence ECPAT di Bali (2009), Smong menerima penghargaan Film Terbaik di Festival Film Kearifan Budaya Lokal, Kemendikbud (2011).

Kemudian, Omasido Sekola sebagai Special Mention di Erasmus Huis International Documentary Film Festival, Konsulat Belanda (2013) dan Raonraon Medan sebagai Video Pariwisata Nusantara Terbaik di Toraja Film Festival, Toraja (2018).

Pengumuman pemenang Piala Citra Festival Film Indonesia pada 10 November 2021.

Sinopsis

Film Dokumenter parHEREK (Penjaga Monyet) merupakan kisah Abdulrahman alias Detim Manik, yang meneruskan cara hidup unik sepeninggalan ayahnya Umar Manik, sebagai Pawang Monyet di hutan Sibaganding, Simalungun.

Dari "meminjam" kisah hidup dan pergaulan Detim dengan kawanan Monyet dan Siamang itu, ditelisik banyak cerita menarik lainnya dari sisi human interest, lingkungan hidup dan dunia kepariwisataan hingga kisah-kisah menyentuh yang terjadi di kawasan wisata Danau Toba.

Salah satu upayanya sebagai pawang monyet, Detim punya cara unik memanggil kawanan primata dengan terompet tanduk kerbau ke dalam hutan kembali agar tak berkeliaran dan terlindas kendaraan karena menjadi pengemis dijalanan.

Meski konsekwensinya, ia sendiripun tak punya stock pakan yang cukup buat kehadiran primata yang dipanggilnya itu. Upaya lain untuk menggugah kepedulian banyak orang, Detim melakukan penyadaran melalui live di media sosial dan menjadi Youtuber.

Judul Film : parHEREK (Penjaga Monyet)

Kategori : Dokumenter Panjang

Produser : Ria Novida Telaumbanua

Sutradara : Onny Kresnawan

Durasi : 1 jam 15 menit non kompetisi dan 1 jam 25 menit film kompetisi

Tahun Produksi : 2021

Produksi : Rumah Inspirasi with Esefde Films


(CSP)

Baca Juga

Rekomendasi