Aktivis 98 Dukung Nadiem Tolak Bahasa Melayu Jadi Bahasa Resmi ASEAN

Aktivis 98 Dukung Nadiem Tolak Bahasa Melayu Jadi Bahasa Resmi ASEAN
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim mengikuti rapat kerja dengan Komisi X DPR di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (12/4/2022). (ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aww.)

Analisadaily.com, Jakarta - Usulan Perdana Menteri (PM) Malaysia, Ismail Yaacob Sabri, menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa perantara kedua kepala negara Indonesia dan Malaysia serta bahasa resmi Association of Southeast Asian Nations (Asean) ditolak Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Indonesia, Nadiem Anwar Makarim.

Selain PM Malaysia, Presiden Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM) Muhammad Faisal Abdul Aziz, juga menyampaikan hal yang sama. Ia menyampaikan pendapat, Malaysia dan Indonesia perlu mencari kesepakatan dalam usaha mengangkat bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar utama ASEAN.

Merespon usulan negara jiran, aktivis 98, Sahat Simatupang, mendukung penolakan yang disampaikan Nadiem. Ia mengatakan, mendukung penolakan yang disampaikan Nadiem karena Bahasa Indonesia telah menjadi bahasa pemersatu Nusantara. Nilai Bahasa Indonesia, kata Sahat, secara historis dan hukum telah mengikat warga Nusantara dalam sebuah kesepakatan menjadi keluarga besar bernama Indonesia.

"Saya sependapat dengan sikap yang disampaikan Nadiem, bahwa Bahasa Indonesia lebih layak untuk dikedepankan dengan mempertimbangkan keunggulan historis, hukum, dan linguistik. Justru saat ini Bahasa Indonesia telah mulai digunakan menjadi bahasa internasional dan menjadi bahasa terbesar di Asia Tengah dan mencakup 47 negara di seluruh dunia hingga Amerika Serikat," kata Sahat, Minggu (17/4).

Sahat mengatakan, Melayu sebagai sebuah peradaban budaya bisa menjadi penguat bangsa serumpun di ASEAN tanpa harus menjadikan Bahasa Melayu sebagai bahasa perantara kedua kepala negara Indonesia dan Malaysia dan bahasa pengantar ASEAN.

"Memang benar adanya pendapat saudara kami Presiden ABIM tentang persuratan Indonesia sebelum merdeka, bahasa yang digunakan ialah Bahasa Melayu yang dalam ejaan pengaruh Belanda. Hal ini sama seperti Bahasa Melayu di Malaysia yang juga terpengaruh Inggris," ujarnya.

Sahat berpendapat, Bahasa Indonesia yang digunakan saat ini tanpa disadari juga digunakan di Malaysia dan Singapura dalam bahasa pengantar sehari - hari termasuk dalam interaksi bisnis. Namun, ujarnya, masing - masing negara mampu menjaga identitas dan budayanya.

"Saya beri contoh warga Pulau Sumatera tidak akan kesulitan berbahasa Indonesia Melayu dengan orang Malaysia dan Singapura. Namun orang Jawa, Papua dan Indonesia bagian timur tentu agak kesulitan berbahasa Indonesia Melayu," terangnya.

Selain itu identitas kekayaan linguistik suku - suku di Indonesia dalam jangka panjang, ujar alumni IVLP Amerika Serikat ini, akan terancam hilang jika Bahasa Indonesia mulai hilang digantikan satu bahasa yakni Bahasa Melayu.

"Kalau kekayaan linguistik hilang, pasti akan diikuti hilangnya budaya dan tradisi adat. Padahal linguistik, budaya dan tradisi adat suku - suku Indonesia lah yang membuat faham komunis, wahabi - salafi tak bisa berkembang di Indonesia," ujarnya.

Usulan PM Ismail Yaacob Sabri menjadikan Bahasa Melayu sebagai bahasa perantara kedua kepala negara Indonesia dan Malaysia serta bahasa resmi negara di Asean, ujar Sahat, bisa merugikan bagi masa depan persatuan Indonesia.

"Ada 652 bahasa daerah di Indonesia belum termasuk dialek dan subdialek. Kekayaan bahasa daerah itu harus dipertahankan. Bahkan Summer Institute of Linguistics menyebut jumlah bahasa di Indonesia sebanyak 719 bahasa daerah, dan 707 di antaranya masih aktif dipakai dalam interaksi sehari - hari," kata Sahat.

Bahkan dalam perjalanannya, sambung Sahat, kedudukan hukum Bahasa Indonesia diperkuat dengan undang - undang dan peraturan-peraturan hukum lainya. Dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 disebutkan Bahasa Negara ialah Bahasa Indonesia.

Adapun status dan fungsi bahasa Indonesia ditegaskan dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 Tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.

Usulan PM Ismail Yaacob Sabri ditolak Nadiem. Nadiem menjelaskan di tingkat internasional, bahasa Indonesia telah menjadi bahasa terbesar di Asia Tenggara. Persebarannya telah mencakup 47 negara di seluruh dunia. Bahkan pembelajaran Bahasa Indonesia untuk Penutur Asing (BIPA) juga telah diselenggarakan oleh 428 lembaga yang difasilitasi oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa.

Bahasa Indonesia juga diajarkan sebagai mata kuliah di sejumlah kampus kelas dunia luar. Termasuk di Eropa, Amerika Serikat, dan Australia, serta di beberapa perguruan tinggi terkemuka di Asia.

Dengan semua keunggulan yang dimiliki bahasa Indonesia dari aspek historis, hukum, dan linguistik, serta bagaimana bahasa Indonesia telah menjadi bahasa yang diakui secara internasional, ujar Nadiem, sudah selayaknya bahasa Indonesia duduk di posisi terdepan, dan memungkinkan menjadi bahasa pengantar untuk pertemuan-pertemuan resmi Asean.

(JW/CSP)

Baca Juga

Rekomendasi