Pendekar Bukit Matahari

Teja Purnama. Dasata berlari menuju kotak mi instan setinggi lututnya. Anak empat tahun itu membayangkan Inanya -ibunya- jongkok di balik kotak dengan tangan terbuka lebar. Dia pasti bisa melompati kotak, lalu mendapat pelukan Ina yang sudah dua malam ini tidak menemaninya tidur. Selangkah lagi sampai ke kotak, mendadak dia berhenti. Pelan-pelan, seperti ada duri yang bisa menusuk pahanya, dia melangkahi kotak itu. Yap! Dia pun bergaya seolah baru melompat dan mendarat dengan sempurna. Sayang, tak ada pelukan Ina...

Dia mendongak ke langit. Masih siang. Berarti Lawaedrona, si Manusia Bulan, tidak melihat “lompatan”nya. Ina pernah mengatakan, Lawaedrona hanya mau bertemu dengan pendekar. Seorang laki-laki baru bisa disebut pendekar kalau jago melompat, apalagi bisa melampaui Batu Pendekar yang berada di tengah kampung. Karena itu dia harus pandai melompat supaya bisa berjumpa Lawaendrona, memintanya menyembuhkan Ina, lalu membawa mereka hidup di bulan. Tidak mati-mati, apalagi sakit. Orang sakti itu pasti mau menolong. Bukankah Lawaendrona hidup sendirian di bulan?

Ina memperkenalkan Lawaendrona padanya tiga malam lalu. Saat itu hujan. Dasata takut pada hujan, apalagi bentakan petir. Dia meminta Ina bercerita dengan suara keras.

Awalnya Lawaendrona tinggal di bumi. Dia takut mati lalu berkelana mencari kampung yang tidak bisa ditembus kematian. Dasata heran, kenapa Lawaedrona takut mati? Apakah takut ditanam di tanah? Barangkali takut tak bisa lagi seperti dia yang selalu punya cerita sebelum tidur? Dia juga geli membayangkan Lawaedrona bertanya kepada setiap orang yang dijumpainya, tentang kampung abadi itu. Tidak ada yang bisa menjawab. Tanah, Laut, Matahari juga tidak memberi jawaban. Untung ada Bulan yang mengaku hidup abadi dan mengizinkan Lawaendrona tinggal bersamanya. Syaratnya, Lawaendrona tidak boleh makan dan minum.

“Bulan tidak mau yang kotor-kotor. Kalau makan dan minum ya harus be'ol dan pipis. Supaya tidak lapar-lapar, Bulan menyuruh Lawaendrona membuang seluruh isi perutnya untuk digantikan dengan mangkuk dan gulungan kain sutra,” kata Ina waktu itu.

Dasata sempat bingung, namun hanya sebentar. Dia larut dalam senang bercampur sedih. Senang karena Lawaendrona berhasil tidak mati-mati. Sedih karena Siwaria, istri Lawaendrona, tidak mau ikut suaminya hidup di bulan. “Jadi Lawaendrona hidup sendirian di bulan, Ina?”

Saat bangun pagi, Dasata melihat Ina masih tergolek di tempat tidur. Dia jadi ingin bermanja. Dipeluknya perempuan yang selalu menyulanginya makan itu. Ina hanya diam. Dasata penasaran. Dia naik ke perut Ina. Kenapa Ina menjerit kesakitan dan spontan menolaknya hingga dia hampir jatuh dari ranjang? Tidak pernah Ina sekasar itu. Bahkan, seperti tidak peduli pada kesedihannya, Ina menyuruhnya memanggil Ina Sakhi Ameria, adik perempuan Inanya, yang sedang memasak air di dapur. Walau dengan mata basah air mata, Dasata menurut. Sebelum keluar dari kamar dia melihat sarung Ina basah darah.

Dia mulai mengerti saat Sibaya Bari, adik lelaki Ina dan beberapa orang kampung membawa Ina pergi. Ina sakit, harus berobat ke rumah sakit di Gunungsitoli. Dia tidak ikut,  tetap di kampung bersama Ina Sakhi Ameria. Padahal dia ingin melihat Gunungsitoli. Apakah ada juga kampung di puncak gunung itu? Waktu pertanyaan ini dilontarkannya, Ina Sakhi Ameria malah tertawa dan mengatakan, Gunungsitoli itu nama sebuah kabupaten di Kepulauan Nias. Apa pula itu kabupaten? Apa ada yang lebih paten dari kampungnya? Kampungnya berada di puncak bukit tertinggi. Harus melewati puluhan anak tangga untuk bisa datang ke kampungnya. Ina pernah bilang, kampungnya bernama Bawomataluo. Itu sama artinya dengan Bukit Matahari.

Sebenarnya bukan karena tidak ikut ke Gunungsitoli yang membuat Dasata gelisah. Dia tidak mau jauh-jauh dari Ina. Tidak mau lagi tidur tanpa Ina yang punya banyak cerita. Lagi pula suapan Ina Sakhi Ameria tidak sesabar Ina. Kalau haus seperti sekarang ini, kepada siapa meminta minum? Ina Sakhi Ameria telah ke ladang.

Dasata ingin menangis, tetapi malu. Ama marah kalau tahu dia menangis. Anak laki-laki harus jago, tidak boleh menangis, tahan haus, tahan lapar, kata Ama. Kenapa harus malu? Sudah lama Ama tidak pulang.

Dasata lupa, sejak kapan Ama pergi. Dia ingat, malam itu saat di kamar menunggu Ina bercerita dia mendengar suara piring pecah di dapur. Tidak lama kemudian menggema pula suara besar Ama yang dibalas dengan tangisan Ina. Waktu masuk ke kamar, Ina sudah tidak menangis lagi, namun sudut mulutnya tampak berdarah. Sejak itu Dasata tidak pernah melihat Ama lagi. Waktu dia bertanya, Ina hanya bilang, “Amamu lagi cari duit di Medan.” Apa pula itu Medan?

Tentu saja Ina tidak memberitahu, Ama pergi bersama seorang perempuan Jepang yang sempat berminggu-minggu tinggal di Bawomataluo. Awalnya perempuan itu ingin tahu banyak tentang rumah adat di kampung mereka. Sebagai keturunan pengetua adat, Ama Dasata banyak tahusoal rumah yang disangga puluhan tiang kayu dan tidak menggunakan paku itu. Perempuan itu terus mendekati Ama untuk mengorek berbagai informasi. Kedekatan itu berhulu perselingkuhan yang dengan lantang diakui Ama Dasata pada istrinya.

Terbayang Ama membuat Dasata lupa haus. Dia berlari menuju menuju ke sebuah susunan batu yang tingginya hampir dua kali badannya. Batu Pendekar, sebut Amanya dulu. Siapa yang bisa melompatinya baru boleh disebut pendekar yang siap menjaga kampung dari serbuan orang-orang jahat. Batu Pendekar itu sudah sejak Kampung Bawomataluo dibuka. Bentuknya seperti trapesium. Di dekat susunan batu yang tinggi itu terdapat pula onggokan batu pendek. Ama bisa terbang melewati batu yang tinggi setelah memijak batu pendek itu. Dasata geram. Ama belum mengajarkan dia cara melompati Batu Pendekar. Kalau tidak pandai mana mungkin Lawaendrona mau berjumpa dengannya! Bagaimana pula dia bisa meminta Lawaedrona menyembuhkan Ina?

Pecah juga tangisnya. Dia marah. Dipungutnya sebuah batu kerikil, dipukulkannya pada Batu Pendekar berkali-kali. Dia ingin Batu Pendekar itu hancur menjadi pendek hingga bisa dilompatinya. Dia memukul sambil berteriak- eriak. Terus memukul-mukul walau batu kerikil jatuh dari tangannya dan dia telah berada dalam gendongan Ina Sakhi Ameria.

Demam melanda Dasata saat malam tiba. Kepalanya panas, bibir memucat, begitu juga bibir dan jari-jari tangan dan kaki. Sejak sore, Ina Sakhi Ameria telah mengompresnya, namun demam bajingan itu belum juga pergi. Malah kini telapak kaki Dasata dingin. Kecemasan membayang di mata Ina Sakhi Ameria. Kejang bisa menyerang. Segera digendongnya Dasata ke kamar mandi. Dia memandikan anak itu dengan air dingin. Dasata meraung dalam gigil. Meronta-ronta sekuat tenaga. Ina Sakhi Ameria berusaha tega. Dia percaya, cara itu bisa menghalau serangan kejang. Setelah merasa cukup, Ina Sakhi Ameria memeluk Dasata. Dia mengeringkan tubuh Dasata di kamar, tetap membiarkan tubuh anak itu telanjang.

Syukur! Dasata kencing. Kencing itu sedikit membantu mengeluarkan panas dari tubuh. Memang tubuh Dasata masih panas, tetapi sepanas sebelum dimandikan tadi. Kelegaan terbit di wajah Ina Sakhi Ameria. Dia jadi ingin tidur. Sebentar saja. Dia memulihkan tenaga agar setelah bangun nanti bias menjaga Dasata sampai pagi. Baru saja terlayang, Ina Sakhi Ameria tersentak. Kaki Dasata menyenggol pinggulnya. Tempuling sedih menancap hati melihat wajah kuyu keponakannya. Apalagi dari bibir kecil dan kering itu keluar igauan, “Lawaendrona...”

Ina Shaki Ameria tidak ingin membangunkan Dasata. Dia kembali berbaring sambil mengelus-elus lengan kemanakanannya. Perempuan itu tidak tahu, dalam sebuah alam yang tidak akan pernah bisa dilihatnya, Dasata bertemu dengan seorang lelaki tua, namun kekar.

Lelaki berperawakan besar dengan rambut berwarna emas yang panjang tergerai itu, tersenyum pada Dasata. Dia mengedipkan mata, lalu menggendong Dasata dan dalam tempo singkat mereka telah berada di lokasi Batu Pendekar.

“Lawaendrona?”

Lawaedrona tersenyum lagi. Pelan naik ke udara, bergoyang-goyang di atas Batu Pendekar, kemudian melesat ke langit. Hilang.

“Lawaendrona!” seru Dasata tidak ingin kehilangan Lawaendrona.

“Aku di sini.” Seketika Lawaendrona sudah berada di belakang Dasata.

Dasata senang bukan kepalang. Dia percaya, lelaki berambut emas itu Lawaedrona. Tanpa malu lagi dia meminta ikut terbang ke langit.

Malam cerah. Bulan hampir purnama. Bagai kilat mereka melesat-lesat di angkasa. Melompat dari satu bintang ke bintang lain. Bergulingan di gumpalan awan, lalu kembali melayang-layang di udara. Saat melihat kampungnya dari ketinggian langit, Dasata ingat Ina.

“Aku mau melihat Ina,” pintanya.

Lawaedrona hanya tersenyum, namun dalam beberapa detik mereka telah berada di salah satu kamar sebuah rumah sakit. Dasata melihat Ina seperti sedang tidur nyenyak. Di sekelilingnya tampak Sibaya Bari dan beberapa orang Bawomataluo. Mereka diam melihat Sibaya Bari berbicara dengan seorang lelaki botak berpakaian putih.

Baru saja Dasata mau berlari menemui Ina, Lawaedrona  memegang tangannya. Dia ingin melawan, namun Lawaedrona hanya menggeleng-geleng, lalu menunjuk ke arah pintu kamar. Dasata menoleh ke pintu kamar. Masuk seseorang yang tidak akan pernah dilupakannya. Seseorang yang menghilang sebelum mengajarkannya melompati Batu Pendekar. Dasata tidak pernah lupa wajah itu.

“Ama!”  

Ina Sakhi Ameria tersentak. Spontan dia meraba leher Dasata. Terasa basah. Leher Dasata telah berkeringat. Demam telah pergi. Dia tambah gembira melihat Dasata tersenyum dalam tidurnya. Muncul rasa gemas. Diciumnya pipi anak itu.

Dasata tersentak. Dilihatnya Ina Sakhi Ameria tersenyum. Ke mana Ina yang tadi tidur nyenyak di rumah sakit? Ke mana Ama? Dasata menoleh ke arah lain. Tak ada juga Lawaedrona.

Kebingungan Dasata membuat Ina Sakhi Ameria makin gemas. Timbul lagi keinginan  mencium kemanakannya. Dasata membalikkan badannya. Saat ini dia hanya mau dicium Ina. Dia belum tahu, sesaat setelah Lawaendrona lenyap, Sibaya Bari memukul Ama di depan jasad Inanya.*

()

Baca Juga

Rekomendasi