Merawat Mata Air Peradaban Orang Melayu

Oleh: J Anto

KEGELISAHAN se­­­­jum­lah seniman Melayu diaspora di Jakarta atas nasib Ronggeng Deli, men­­dorong mereka me­lahirkan sebuah gerakan 'perlawan­an' budaya lewat revitalisasi Ronggeng Deli. Kenapa Ronggeng Deli?

“Dalam konteks kekinian, sangat banyak kepentingan hadirnya kesenian Ronggeng Deli, yang disebut oleh etnomusikolog Rizaldi Siagian sebagai kesenian cerdas, karena Ronggeng menyaratkan, tidak sekedar citarasa seni, tapi juga kecanggihan intelektual,” ujar Kepala Anjungan Sumut di TMII Jakarta, Tatan Daniel.

Kecerdasan intelektual itu, menurut pria yang lahir di Pematangsiantar pada 1961 itu, tercermin pada penciptaan pantun-pantun sebagai ekspresi sastrawi, yang diucapkan secara spontan dan merupakan bagian dari tradisi sastra lisan. Ronggeng Melayu juga merupakan kesenian yang telah melintasi sejarah panjang, dengan pengaruh Hindu (India), Islam (Arab), sampai kolonial barat seperti Portugis, Irlandia, dan Spanyol.

Sayang, kesenian rakyat Melayu yang cerdas itu seperti telah ditinggalkan masyarakat. Sebagai gantinya masyarakat kini lebih akrab dengan seni kontemporer, dan kibor (keyboard). Prihatin melihat itu, sejak Juni 2015, sejumlah seniman muda Melayu diaspora yang berasal dari berbagai kawasan bergabung di Anjungan Sumut TMII. Mereka membentuk komunitas atas dasar kesama­an misi, untuk memberi daya hidup baru bagi seni Ronggeng Deli.

Setiap bulan komunitas Ronggeng Deli ini tampil di anjugan Sumut itu. Mereka juga menggelar pertunjukan ke sejumlah daerah, seperti Yogyakrta, Jawa Barat dan acara-acara budaya lain. Bahkan atas prakarsa mereka juga, dua tokoh Ronggeng Deli, Anjang Nurdin Paitan dan Napsiah Karim mendapat penghargaan Wira Budaya yang diberikan langsung oleh Kepala Perpusnas kepada ahli waris kedua seniman tersebut.

Sebagai sebuah kesenian tradisi, Ronggeng sesungguhnya menjadi identitas dan akar budaya masyarakat Melayu. Karena itu penting dirawat agar mata air peradaban orang Melayu tidak kering. Sama halnya, etnis Batak, akan kehi­langan kebatakannya, jika bahasa, ulos, atau tortornya tidak lagi dipakai.

“Revitalisasi Ronggeng Deli karenanya adalah perlawanan atas budaya dominan dan budaya represi yang berkembang, dan mengisi kepala banyak orang. Banyak sekali seni tradisi yang digerus oleh situasi yang tidak adil itu, hingga akhirnya musnah,” ujar Tatan Daniel.

Tentu saja, revitalisasi tidak dimaksudkan sebagai kegiatan memotokopi begitu saja kesenian itu, seperti zaman tempo dulu. Atau sekadar memindahkan bunyi-bunyi dari kaset tua, atau sekadar menjadi seni yang mengulang-ulang, tanpa nyawa, tanpa grenek yang kuat.

Revitalisasi Ronggeng Deli menurut lumni APDN itu, adalah upaya untuk mendudukkan kembali Ronggeng sebagai kesenian rakyat, dan jika mungkin, dinikmati tidak saja oleh orang-orang Melayu, tapi juga oleh orang Jawa, Bali, bahkan Papua. Oleh sebab kekuatannya sebagai penutur, lingua franca.  Revitalisasi juga dimaksudkan untuk menghapus stigma Rong­geng sebagai kesenian "mesum", terkontaminasi oleh situasi politik kolonial dan perkembangan sosial yang tidak sehat.

Tatan mengakui, seniman Ronggeng di Jakarta beruntung karena ada fasilitas pentas seperti di Anjungan Sumut TMII, yang memberi ruang dan segala peralatan bagi mereka untuk berekspresi. Ada seorang Rizaldi Siagian, yang terus-menerus memberi masukan dan semangat, dengan kepa­karan yang di miliki. Ada juga gedung-gedung kesenian yang bisa dimasuki, seperti Gedung Kesenian Jakarta atau Taman Ismail Marzuki. Tentu selain dekat dengan media, seperti tv.

Tapi di Medan? “Saya kira di Medan, di kalangan kawan-kawan, juga sudah mulai muncul semangat dan gerakan itu. Tapi memang, diperlu­kan kebijakan dan kemauan yang sung­guh-sungguh dari para tokoh, ada political will dan dukungan penuh dari pemangku kebijakan itu. Dinas kebudayaan, misalnya, atau pengelola taman budaya harus membuka panggung-pang­gung untuk bermain, berdiskusi, untuk mengkaji, memberi tawaran kesejahteraan yang memadai bagi para maestro yang tersisa,” katanya.

()

Baca Juga

Rekomendasi