KEP Anak Balita dan KEK Wanita Usia Subur

Oleh: Syafriana Sitorus. Indonesia yang terben­tang dari Sabang sampai Ma­rauke merupakan negara dengan kekayaan sumber da­ya alam luar biasa. Kualitas hasil laut dan pertaniannya merupakan yang terbaik di du­nia. Oleh sebab itu, Indonesia bisa mengekspor hasil alam ter­sebut sampai tak ter­sisa untuk rakyat Indo­nesia sendiri. Tidak mengheran­kan jika banyak rakyat Indonesia me­miliki status gizi yang bu­ruk, sehingga Indonesia ma­sih te­tap dengan Kurang Ener­gi Pro­tein (KEP) pada anak ba­lita dan Kurang Ener­gi Kronik (KEK) pada wani­ta usia subur.

KEP (Kurang Energi Protein) ada­lah suatu masalah gizi kurang akibat kon­sumsi makanan yang tidak cukup mengandung energi dan protein se­hing­ga menimbulkan gangguan kese­hat­an. KEP se­ring terjadi pada anak ba­­­­lita dan orang dewasa khususnya wa­­­­nita serta di negara miskin seperti Gha­­na, Afrika yang sering disebut Ener­­gy Protein Mal­nutrition (EPM) dan negara ber­kembang seperti Indonesia.

Menurut Profil Data Ke­se­hatan Indonesia Tahun 2011, 5 provinsi dengan ka­sus gizi buruk terbesar yaitu Jawa Timur (9.859 kasus), NTT (8.235 kasus), Banten (5.117 kasus), Jawa Barat (4.358 kasus), dan Jawa Te­ngah (1.597 kasus). Di sam­ping itu, dari 33 pro­vinsi di Indonesia, 19 provinsi me­mi­liki prevalensi nasional gizi buruk-kurang di atas rata-ra­ta yaitu berkisar 21,2 - 33,1 per­sen.

Urutan ke 19 pro­vin­si ter­sebut dari yang tertinggi sam­pai terendah adalah (1) Nusa Tenggara Timur, (2) Papua Barat, (3) Sulawesi Barat, (4) Maluku, (5) Kalimantan Se­latan, (6) Kali­man­tan Barat, (7) Aceh, (8) Gorontalo, (9) Nusa Tenggara Barat, (10) Sulawesi Se­latan, (11) Malu­ku Utara, (12) Su­la­wesi Te­ngah, (13) Sulawesi Teng­ga­­ra, (14) Kalimantan Tengah, (15) Riau, (16) Sumatera Uta­ra, (17) Papua, (18) Su­ma­­tera Barat dan (19) Jambi (Riskesda, 2013).

WHO (World Health Organization) mengemukakan, masalah kesehatan masyara­kat dianggap serius bila pre­valensi gizi buruk-kurang antara 20,0 – 29,0 persen dan dianggap prevalensi sangat tinggi bila 30 persen.

Data diatas menunjukkan bahwa Pada tahun 2013, se­cara nasional pre­va­lensi gizi buruk-kurang pada anak ba­lita sebesar 19,6 persen, yang berarti masalah gizi berat-kurang di In­do­nesia masih me­rupakan masalah ke­sehat­an masyarakat mendekati pre­valensi tinggi. Di antara 33 provinsi, terdapat tiga pro­vin­si termasuk kategori pre­valensi sangat tinggi, yaitu Sulawesi Barat, Papua Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Balita yang mengalami KEP dapat di­ukur berdasar­kan 3 pengukuran, yaitu Ting­gi Badan (TB)/Umur dise­but juga balita pendek (stunting), BB/TB disebut ju­ga balita kurus (wasting) dan BB/Umur disebut juga kurang berat badan (under weight).

Penyebab KEP pada balita yaitu ku­rangnya peng­­konsumsian maka­nan yang me­ngandung energi dan pro­tein, penyakit infeksi yang sedang di­derita balita, fak­tor ekonomi ke­luar­ga dalam pe­me­nu­han gizi balita, faktor bu­daya ma­ka­­nan tempat ting­gal, serta peman­fa­atan sumber daya alam yang mi­nim.

Di Indonesia, gambaran keadaan gizi balita diawali de­ngan cukup ba­nyak­nya Ba­­yi dengan Berat Lahir Ren­­dah (BBLR). Setiap ta­hun, di­per­ki­ra­kan ada 350. 000 ba­yi dengan berat la­­hir ren­dah di bawah 2.500 gram, se­bagai salah satu penyebab utama ting­ginya kurang gizi pada dan kematian balita.

Sangat disayangkan, pada­hal masa balita adalah masa kritis untuk menda­pat­kan sum­ber daya manusia yang ber­kualitas, khususnya pada periode 2 ta­hun pertama yang bia­sa disebut masa emas un­tuk pertumbuhan dan per­kem­ba­ngan otak yang optimal. Seharusnya pembentuk­an generasi yang cerdas dan berkualitas difokuskan pada masa emas tersebut, namun pengetahuan untuk pengen­da­lian masalah gizi kurang belum banyak diketahui oleh masyarakat Indonesia.

KEK Pada Wanita Usia Subur

Berbeda dengan KEP, KEK adalah suatu keadaan remaja putri/wanita usia su­bur (WUS) mengalami KEP namun ke­kurangan energi lebih besar dari pro­tein yang berlangsung lama atau me­na­hun. 

Definisi ini diperkenalkan World Health Organization (WHO). Kurang ener­gi kro­nik merupakan jenis KEP aki­­bat kurang energi yang lebih me­nonjol dari kurang pro­tein­nya. WHO juga meng­gunakan istilah kurus untuk KEK ini. Kurus berdasarkan tingkat ke­parahannya terbagi menjadi tiga, yaitu kurus ting­kat ringan (mild), se­dang (moderate), dan berat (seve­re) atau orang yang kurus se­kali.

Risiko Kurang Energi Kro­­nik (KEK) adalah keada­an di mana remaja putri/wa­nita mempunyai kecende­rung­an menderita KEK. Se­se­orang dikatakan menderita risiko KEK bila­mana LILA < 23,5 cm dengan tanda- tan­da yaitu kurang cekatan da­lam be­kerja, sering terlihat lemah, letih, lesu, lunglai (4L), dan jika dalam keadaan hamil, anak akan lahir secara prematur atau berat badan la­hir rendah yaitu kurang dari 2.500 gram.

Kajian susenas menun­juk­kan pro­porsi Wanita Usia Su­bur (WUS) umur 15-49 ta­hun dengan Lingkar Lengan Atas (LLA < 23,5) pada ta­hun 2000 be­risiko Kurang Energi Kronik (KEK) men­ca­pai 21,5% ( Depkes, 2001).

Sedangkan menurut data Riskesda tahun 2013, preva­lensi nasional risiko KEK WUS sebanyak 20,8 persen. Pre­valensi terendah di Bali (14%) dan pre­valensi ter­ting­gi di Nusa Tenggara Ti­mur (46,5%).

Sebanyak 16 provinsi de­ngan pre­va­lensi risiko KEK di atas nasional, yaitu Kali­mantan Tengah, Jawa Timur, Banten, Kalimantan Selatan, Aceh, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Su­lawesi Se­latan, Sulawesi Tengah, Ma­­lu­ku Utara, Sulawesi Teng­ga­ra, Su­la­wesi Barat, Papua Barat, Maluku, Pa­pua dan Nusa Tenggara Timur.

Secara keseluruhan data riskesda tahun 2007 – 2013, prevalensi nasional risiko kurang energi kronis naik pada semua kelompok umur dan kondisi wanita (hamil dan tidak hamil).

Pada wani­ta tidak hamil kelompok umur 15-19 tahun prevalen­sinya naik 15,7 persen. De­mikian juga pada wanita ha­mil kelompok umur 45-49 tahun naik 15,1 persen.

Data di atas menunjuk­kan, KEK juga termasuk ma­salah gizi terbe­sar di In­­do­ne­sia yang belum tuntas pe­na­nganannya, walau­pun su­dah dibarengi de­ngan program-program untuk me­ngurangi angka penderita.

Pe­nyebab dari KEK yaitu (1) Faktor eko­nomi, sehingga tidak mampu me­me­nuhi ke­bu­tuhan gizi sehari-hari. (2) Keinginan atau obsesi untuk kurus yang melada para wa­nita demi men­da­patkan ben­tuk tubuh ideal dan status pekerjaaannya. (3) Faktor po­la kon­sumsi, yaitu pemi­lihan makanan pada wanita khususnya remaja putri yang dapat mengakibatkan gang­gu­an kese­hatan seperti pe­nya­kit infeksi yang da­pat mengakibatkan terhambatnya sis­tem saluran pencernaan dan pe­nyera­pan zat-zat gizi.

Kemudian (4) faktor peri­laku, se­perti kebiasaan mero­kok dan meng­kon­sumsi ka­fein. Kafein bukan meru­pa­­kan salah satu zat gizi yang dibutuh­kan oleh tubuh, ka­re­na efek yang di­tim­­bulkan kafein lebih banyak yang ne­­gative daripada positifnya, salah sa­tunya adalah gang­gu­an pencernaan. De­ngan ada­nya gangguan pencernaan ma­kanan maka akan meng­ham­bat pe­nyerapan zat-zat gizi yang dibutuhkan oleh tubuh dan janin.

Bagaimanapun juga, data-data di atas adalah cerminan dari status gizi ma­syarakat Indonesia di tahun terak­hir. Indonesia bisa bebas dari KEP dan KEK dan masalah gizi lainnya asalkan ada niat untuk memperbaiki keadaan ter­sebut.

Setidaknya angka pen­derita dan resikonya bisa turun seiring per­bai­k­an pola gizi terutama pe­ngon­sum­sian energi dan protein khususnya un­tuk gizi balita, wanita usia subur, dan ibu hamil yang beresiko terkena KEP dan KEK.

Penulis adalah alumni Fakultas Kesehatan Masya­ra­kat USU)

()

Baca Juga

Rekomendasi