Aku Bukan Dilan

aku-bukan-dilan

Oleh: Gigih Suroso

Jangan rindu. Ini berat. Kau tak akan kuat. Biar aku saja.” Bram mengu­capkan kalimat itu berkali-kali di depan cermin. Sesekali dia menyisir rambutnya yang sudah sangat rapi dan berkilau. Ini kali pertamanya Bram memberanikan untuk membeli seikat mawar merah, dia juga meminjam motor lawas milik kakeknya yang sudah disulapnya mirip motor milik tokoh Dilan.

“Kamu pakai motor ayah saja ke sekolahnya. Nanti kalau mati di tengah jalan gimana? Itu 'kan motor jadul,” ayah Bram memperingatkan.

“Tenang saja, Yah,“ Bram tampak begitu optimis. Rambutnya dibelah tengah, dengan baju sekolah warna putih yang dibalutnya dengan jaket jins biru.

Dari jauh, teman-teman sekolah Bram sudah heboh. Pertama, karena setelah upacara selesai tapi Bram tak kunjung hadir. Kedua, mereka melihat dari jauh ada seseorang yang mengendarai motor dan suara motornya sangat bising. Lebih mengejutkan lagi, Bramlah pemilik motor itu.

“Itu Bram, hahaha...” ujar Luki dan semua orang sama, saling menyebut nama Bram. Kecuali Resita, dia tetap santai sambil tersenyum kecil dan kembali fokus pada buku Matematikanya yang sudah seperti novel.

Asap motor Bram mengepul. Satpam yang berjaga di depan gerbang sampai kewalahan menahan tak terhirup asap. “Prit..., stop!” Pak Joni menghalangi motor Bram.

“Kamu telat, silakan tulis nama di buku ini.” 

Bram melihat arlojinya, ternyata benar dia telat 30 menit.

Seisi sekolah geger. Bram benar-benar bertingkah aneh hari ini. Mulai ujung rambut sampai kaki, tapi sayangnya, dia tak menyadari itu. Bunga mawar yang dibelinya kemarin sudah disimpan di dalam tas, quote Dilan dalam selembar kertas tisu juga rapi terlipat dalam kantong. Kali ini Bram benar-benar seperti orang asing.

Resita sebenarnya juga melihat keane­han Bram, cowok yang biasanya berkaca mata dan selalu membawa buku ke mana-mana itu sekarang tak bisa dideskripsikan lagi penampilannya. Bram biasanya selalu tepat waktu, apalagi saat upacara, dia selalu terpilih jadi pembaca Undang-Undang Dasar 1945.

Jantung Bram berdetak sangat kancang, keringat bercucuran dari kening dan kepalanya. Jarak Bram dengan Resita hanya tinggal satu meter. Tapi tetap saja, buku Matematika tidak bisa mengalihkan pandangan Resita.

“Sit...” suara Bram gemetaran. Resita tak membalas.

“Resita Anelia Batirta,” kali ini suara Bram sedikit lebih keras, sampai yang lain ikut mendengar.

Resita menoleh. Bram tersenyum dan bergegas mengeluarkan bunga, tapi sayang Resita sudah pergi. Berlalu seperti angin.

Toni dan yang lain tertawa. Hampir seisi sekolah tahu kejadian pagi ini. Bram malunya bukan main, dia langsung pergi ke kamar mandi, menuju cermin. Dili­hatnya dengan teliti penampilannya. Bukan main sakit hatinya. Untuk pertama kalinya, murid tercupu, terpintar dan terbaik di sekolah ini mendapatkan pukulan terdalam dari Resita, murid yang baru saja menjadi teman dekatnya, teman saat belajar di perpustakaan berjam-jam, teman berbagi rumus Matematika.

“Aku bukan Dilan,” Bram berkata pelan.

“Iya, kamu bukan Dilan, jadilah Bram. Resita pergi bukan karena tidak suka Bram, dia hanya tidak ingin Dilan.” Luki menguatkan sahabatnya itu.

* * *

“Bangun, Bram...” Ayah mengetuk pintu kamar.

Bram langsung bergegas ke kamar mandi. Setelah semuanya rapi, Bram langsung pergi.

Di sana telah banyak orang menunggu Bram, cowok yang dulu terkenal di sekolah dengan kepintaran dan kepolosannya. Pertama kalinya diabaikan oleh gadis bernama Resita. Bram mau datang ke acara reuni ini sebab dia yakin Resita tak mungkin datang. Dokter muda itu pasti sedang sibuk di rumah sakit.

Baru saja Bram menutup pintu mobil, tiba-tiba ada yang menyapanya, “Bram.”

Bram tak membalas, dia sedang sibuk mencari mencari tombol off di kunci mobilnya.

“Bramjaya Adi Putro...”

Bram mematung, itu suara Resita. Setelah semenit, setelah membiarkan keringat dingin kering dari keningnya, Bram memberanikan diri, dia membalas panggilan itu.

“Iya...” Bram tersenyum.

Setelah suasana mencair, Resita langsung meminta maaf tentang kejadian empat tahun lalu, dia tidak bermaksud berlaku frontal dan kasar kepada Bram.

Keduanya tertawa lepas, lalu saling bertukar cerita pengalaman kuliah dan kerja.

“Kenapa waktu itu pergi, Sit?”

Suasana menjadi hening.

“Menyukai seseorang kemudian men­jadi orang lain bukanlah ksatria,” Resita tersenyum kecil.

“Kalau begitu, kenalkan, namaku Bram, bukan Dilan.”

Keduanya tertawa lepas. Sebentar lagi acara reuni dimulai.

* Februari 2018

()

Baca Juga

Rekomendasi