Langkah Antisipatif Dilakukan Cegah Orang Utan Sumatra Tertular Covid-19

Langkah Antisipatif Dilakukan Cegah Orang Utan Sumatra Tertular Covid-19
Bayi orang utan sumatra (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Medan - Merawat puluhan ekor Orang Utan Sumatra di masa pandemi Covid-19 memberi tantangan tersendiri bagi staf Sumatran Orang Utan Conservation Programme (SOCP). Kesamaan DNA orang utan dengan manusia sebanyak 97 persen memunculkan asumsi bahwa orangutan berpotensi tertular.

Hal itu menjadi alasan utama SOCP melakukan pencegahan sedini mungkin dengan mengambil langkah antisipasi di semua stasiun kerja SOCP, dengan melakukan penutupan sementara dan pengurangan aktivitas manusia, termasuk di Pusat Karantina dan Rehabilitasi Orang Utan SOCP di Sibolangit.

Kepala Division Konservasi Ex-Situ SOCP, Citrakasih Nente mengatakan, sebelum merebaknya Covid-19, sanitasi dan pola higienis memang merupakan hal yang sudah rutin dilakukan di Pusat Karantina dan Rehabilitasi untuk menjaga kesehatan semua orangutan dan staf.

Tetapi sejak adanya Covid-19, protokol ini semakin diperketat dan arah cakupannya diperluas dengan penyemprotan disinfektan untuk benda-benda yang yang sering disentuh. Termasuk mengingatkan perilaku higenis kepada semua staf yang ada di areal karantina dan rehabilitasi lainnya.

"Protokol ini akan ditinjau ulang secara berkala untuk melakukan penyesuaian-penyesuian dengan perkembangan pandemi Covid 19," kata Citra, Selasa (21/7).

Dikatakan Citra, hal paling berbeda yang mereka lakukan adalah mengurangi kontak langsung antara orang utan dengan perawat satwa termasuk mengurangi kegiatan Forest School bagi orang utan.

Forest school merupakan aktivitas yang dilakukan hampir setiap hari selama 2-3 jam dimana para perawat orang utan membawa beberapa orang utan secara bergantian ke area sekolah hutan untuk melatih mereka belajar menguasai pengetahuan yang dibutuhkan untuk hidup mandiri di hutan.

Pengetahuan dan keahlian tersebut seperti memanjat, berkompetisi, mengenali pakan hutan, mengenali predator, berpindah pohon, membuat sarang di atas pohon, dan sebagainya. Hal ini merupakan proses penting bagi orangutan di Pusat Karantina dan Rehabilitasi SOCP agar orang utan tersebut bisa memiliki kemampuan untuk bertahan hidup di hutan saat nanti akan dilepasliarkan.

Beberapa orang utan tersebut termasuk orangutan yang masih bayi dan masih perlu perawat satwa sampai mereka memiliki kepercayaan diri untuk menjelajah Forest School secara mandiri.

"Proses ini sedikit banyak membuat adanya kontak antara orangutan dan para perawat mereka, sehingga dengan berbagai pertimbangan maka selama pandemi Covid-19 aktivitas ini terpaksa dikurangi. Sebagai alternatif dari berkurangnye kegiatan Forest School maka orang utan diberikan pengayaan (enrichment) di dalam kandang, sehingga mereka masih bisa belajar meskipun di dalam kandang sekaligus mengurangi kebosanan," terang Citra.

Langkah lainnya adalah dengan mempersiapkan area blok kandang khusus untuk semua orang utan yang baru yang masuk ke Pusat Karantina dan Rehabilitasi Orang Utan SOCP dalam masa Covid-19.

Semua orang utan yang baru masuk ke Pusat Karantina dan Rehabilitasi Orang Utan SOCP Sibolangit akan menjalani proses karantina selama 14 hari, yang disebut dengan karantina Covid-19 dan kondisinya akan dipantau oleh tim dokter hewan.

Setelah dinyatakan aman dan tidak ada gejala yang mengarah ke Covid-19 maka orang utan tersebut akan menjalani karantina lanjutan selama 3 bulan, sebagaimana yang sudah menjadi prosedur SOCP sebelumnya untuk memastikan orangutan tersebut sehat sebelum bisa bergabung dengan orang utan lainnya.

Dokter Hewan Senior YEL-SOCP, Yenny Saraswati menyatakan, selama adanya Covid-19, tim dokter dan perawat lebih waspada dalam beraktifitas harian, dan tentunya kelengkapan APD merupakan satu perangkat utama yang harus digunakan agar tidak menyebarkan virus ke orang utan yang ditangani mengingat manusia merupakan sumber penularan saat ini.

"Dengan jumlah orang utan yang jauh lebih banyak dari biasanya dan juga bayi orang utan yang memerlukan perawatan 24 jam, membuat kebutuhan APD semakin meningkat," ungkapnya.

Yenny menuturkan, merawat orang utan di masa pandemi dengan kewajiban mengenakan APD memberi tantangan tersendiri, apalagi bagi mereka yang bekerja di alam tropis.

"Ini menjadi tantangan kami, karena selain kami menghadapi orang utan, kami juga harus menghadapi diri kami sendiri, karena bekerja dengan APD lengkap itu cukup berat," sebut Yenny yang sudah lebih 10 tahun menangani orang utan sumatra bersama SOCP.

(RZD)

Baca Juga

Rekomendasi