Kesalahpahaman Risiko Vaping dan Pengobatan Terkini Kanker Paru-Paru

Kesalahpahaman Risiko Vaping dan Pengobatan Terkini Kanker Paru-Paru
Dr Chin (Analisa/istimewa)

Analisadaily.com, Medan- Kanker paru-paru merupakan satu di antara kanker yang umum terjadi di Indonesia. Berdasarkan data Globocan pada 2020, kanker paru-paru menempati urutan ke-3 kasus kanker baru di Indonesia yaitu 34.783 kasus.

Tingginya kasus kanker paru-paru yang terjadi di Indonesia juga sejalan dengan angka kematian yang cukup besar akibat penyakit tersebut. Kanker paru-paru menjadi penyebab kematian nomor satu pada pria akibat kanker, dan nomor dua pada wanita.

Setiap orang berisiko terkena kanker paru-paru, terutama mereka yang rentan terpapar asap polusi, asap pabrik, serta asap rokok, baik perokok aktif maupun perokok pasif.

Dalam rangka memperingati Bulan Kesadaran Kanker Paru-Paru Sedunia yang jatuh setiap tanggal 1 hingga 30 November 2023, Parkway Cancer Centre, Singapura memberikan edukasi seputar kesalahpahaman risiko kesehatan dari vaping, serta pengobatan terkini yang dapat meningkatkan harapan hidup pasien kanker paru-paru.

Seperti diketahui, saat ini, mulai banyak masyarakat yang beralih menggunakan vaping atau rokok elektronik sebagai alternatif pengganti rokok tradisional dengan harapan dapat menurunkan risiko kesehatan termasuk kanker paru-paru.

Padahal, berdasarkan data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), vaping atau vape tetap berbahaya bagi kesehatan dan tidak bisa dianggap sebagai alternatif yang lebih sehat daripada rokok biasa.

Vaping diketahui terkait dengan peningkatan risiko penyakit jantung dan paru-paru seperti infark miokard, asma, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) dalam jangka pendek, iritasi atau cedera pada mulut, tenggorokan dan paru-paru, serta sakit kepala. Sementara itu, untuk efek jangka panjang pada kesehatan masih belum diketahui.

Dr Chin Tan Min, Konsultan Senior, Onkologi Medis di Parkway Cancer Centre (PCC) mengatakan, meski tidak mengandung tembakau tetapi vape tetap mengandung nikotin, bahan kimia yang sangat adiktif yang juga terdapat pada rokok tradisional.

“Saat dihirup, nikotin dengan cepat memasuki aliran darah dan mengaktifkan reaksi kimia di otak yang merangsang perasaan senang sementara yang dapat menyebabkan kecanduan,” tuturnya.

Lantas bisakah vaping meningkatkan risiko seseorang terpapar kanker paru-paru? Menurut Dr. Chin, saat ini memang belum ada bukti bahwa vaping secara langsung menyebabkan kanker paru-paru.

Pasalnya, sebagian besar pengguna vape adalah perokok aktif atau mantan perokok sehingga sulit secara akurat menentukan apakah ada efek pada kesehatan yang disebabkan oleh vaping, rokok, atau keduanya.

Selain itu, karena vaping tergolong relatif baru, mungkin diperlukan waktu bertahun-tahun sebelum mendapatkan data konkret tentang efek jangka panjangnya dan hubungannya dengan kanker paru-paru.

"Seperti rokok tradisional, vape juga mengandung nikotin, beberapa dengan konsentrasi yang sangat tinggi sehingga bisa membuat kecanduan khususnya bila digunakan secara teratur, atau sebagai mekanisme penanganan pada saat tertekan," jelas Dr Chin.

Terlebih vape tidak terbakar seperti rokok tradisional sehingga pengguna mungkin secara tidak sadar menghidap vape lebih dari yang mereka sadari. Efeknya, vaping yang lebih lama dan lebih sering akan menghasilkan paparan yang leboh besar terhadap bahan kimia beracun.

Meski demikian, para perokok atau siapapun yang berisiko terinfeksi kanker paru-paru tidak perlu khawatir. Sebab, seiring dengan perkembangan teknologi dan pengobatan saat ini, Dr Chin Tan Min, memastikan terdapat beragam pengobatan yang bisa dilakukan untuk menyembuhkan kanker paru-paru, mulai dari pembedahan, kemoterapi, dan terapi radiasi.

Dalam beberapa dekade terakhir, pengobatan untuk kanker paru-paru semakin berkembang pesat, salah satunya melalui imunoterapi. Menurutnya, jenis pengobatan ini dapat digunakan sendiri tetapi juga bisa dikombinasikan dengan kemoterapi.

“Immunoterapi melibatkan penggunaan obat-obatan yang disebut penghambat pos pemeriksaan untuk memungkinkan sistem kekebalan mendeteksi sel kanker yang disamarkan dan menyerangnya," jelas Dr Chin.

Imunoterapi ini dapat dijadikan sebagai pilihan pengobatan bagi pasien kanker paru-paru stadium lanjut, baik di awal, maupun ketika pengobatan sebelumnya telah digunakan seperti pembedahan, kemoterapi, dan radiasi.

Sama seperti pengobatakn kanker lainnya, terapi penyembuhan dengan imunoterapi juga memiliki efek samping. Terkadang, imunoterapi dapat menyebabkan respons imun yang terlalu terstimulasi, yaitu ketika sistem kekebalan menargetkan organ lain dari pasien, seperti paru-paru, hati, dan usus besar.

Meski demikian, pasien biasanya dapat menolerir imunoterapi dengan baik sehingga sebagian besar efek samping tersebut dapat dikelola secara efektif oleh tim perawatan klinis terlatih.

Pengobatan imunoterapi ini juga memiliki manfaat yang lebih besar daripada risiko. Sebab tingkat harapan hidup 5 tahun dari pasien kanker paru-paru yang menggunakan immunoterapi bisa mencapai 30 persen dibandingkan pasien tanpa immunoterapi yang hanya berada di angka 5 persen.

"Pada 2004, kami mulai menggunakan terapi terarah dan pada 2015 mulai menggunakan imunoterapi. Kedua terapi ini telah memperbaiki tingkat kelangsungan hidup dengan cukup signifikan, dan pasien kanker paru Stadium 4 rata-rata bertahan hidup selama dua hingga tiga tahun," kata Dr Chin Tan Min.

(NS/BR)

Baca Juga

Rekomendasi