Sejarah Becak Hongkong di Medan (Bagian Kedua)

Mayor Tjong A Fie Usulkan Penghapusan Rikshaw

Mayor Tjong A Fie Usulkan Penghapusan Rikshaw
Koeli Rikshaw di sebuah jalan di Medan 1920 (KITLV - digitalcollections.universiteitleiden.nl)

Analisadaily.com, Medan - Tahun 1914, diberitakan bahwa Asisten Residen Vorstman dalam rapat bersama dewan kota Medan, mendukung usulan Mayor Tionghoa Tjong A Fie, untuk menghapuskan bisnis rikshaw. Tjong A Fie menganggap pekerjaan menarik gerobak dengan tempat orang duduk, merupakan pekerjaan yang tidak layak dilakukan manusia. Selain sangat berbahaya bagi kesehatan fisik penarik rikshaw.

Tjong A Fie juga memandang pekerjaan penarik gerobak merupakan bentuk penghinaan terhadap marwah kampung halaman asal koeli rikshaw. Sebuah kehormatan yang semestinya harus dijaga di Medan. Ia juga menyayangkan orang yang baru pertama kali melakukan perjalanan ke Pantai Timur Sumatra, yang awalnya melihat ada kereta ditarik manusia, bukan binatang, sebagai hal tidak menyenangkan. Namun setelah beberapa hari, merasa bahwa alat transportasi itu sangat nyaman, praktis dan murah. (Sumatra Post, 31/10/1914).

Tjong A Fie juga memprediksi bahwa koeli rikshaw paling lama hanya akan bertahan selama 5 tahun karena mereka selama ini bisa tahan menarik becak karena juga mengandung opium. Ia juga mengusulkan pemeriksaan medis bagi para penarik rikshaw. Namun usulan Mayor Tjong A Fie ditolak Dewan Kota Medan. (Sumatra Post 24/4/1925).

Sado Pengganti Rikshaw

Sebuah surat pembaca atas nama m.d.R, mendukung gagasan penghapusan riksha atas alasan prinsip kemanusiaan. "Pasti semua orang masih ingat dengan sensasi tidak enak yang dialaminya saat pertama kali naik becak dalam hidupnya." Penulis surat pembaca juga menyebut bahwa orang-orang di Jawa tidak lagi dilihat sebagai hewan penarik di jalan umum. Di sisi lain, jenis kuda di Medan juga sangat baik, dan profesi sebagai sopir sado juga beroperasi bebas. (Sumatra Post ,9/5/1916).

Namun Dewan Kota Medan bergeming dengan keputusan mereka. Padahal gerakan politik etis, sebuah pengakuan Kerajaan Belanda akan adanya sesuatu yang salah dalam praktek kolonialisme di Hindia Belanda, tengah banyak menginspirasi perjuangan pergerakan kaum "pribumi".

Mengutip sejarawan dan ahli sejarah Tionghoa Medan Dirk A. Buiskool Ph.D dalam tesisnya Prominent Chineese During the Rise of a Colonial City: Medan 1892 - 1942, penolakan dewan ditanggapi dengan rasa kecewa oleh anggota dewan dari golongan Cina. Bagi mereka pekerjaan sebagai koeli rikshaw dipandang memalukan bagi ras Cina secara keseluruhan, dan karenanya untuk harga diri nasional Cina.

Semua penarik becak hongkong adalah orang Tionghoa. Apalagi Medan adalah satu-satunya kota di Hindia Belanda di mana becak Hongkong muncul di jalan-jalan. Meskipun rikshaw banyak digunakan di Singapura, pada saat yang sama penggunaan rikshaw juga dikritik habis-habisan di sana, bahkan disebut "panggilan pembunuh" karena banyak penarik rikshaw hanya hidup setengah rentang rata-rata umur hidup orang.

Menurut Dirk Buiskool, selain Mayor Tjong A Fie, anggota dewan lain yang pernah mengajukan usul menghapus becak Hongkong adalah Tan Boen An pada tahun 1918. Namun sampai 8 tahun usul itu tak pernah dibahas dewan. Baru tahun 1926 saat anggota dewan Gan Hoat Soei mengajukan lagi usulan tersebut, dewan menerima. Gan Hoat Sori mengusulkan penghapusan secara bertahap. Menurut Gan Hoat Soei, adalah tidak adil dan tidak bijaksana bagi orang barat untuk melawan keinginan orang timur ini. Namun J.W. Duys, anggota dewan lain, menganggap Gan Hoat Soei tidak mewakili suara warga Cina Medan. Kedua anggota Cina di dewan hanya mewakili sebagian kecil dari pemilih Cina.

Anggota dewan lain W. Jaski juga menentang penghapusan rikshaw dengan membandingkan profesi penarik hongkong dengan pendayung gondola di Venesia. Alderman de Waard menganggap pendapat tersebut tidak masuk akal. Ia berpendapat profesi hongkong tidak bermartabat dan harus dihapuskan.

Anggota dewan lain, Mohamad Thahar juga tidak setuju dengan pernyataan Duys bahwa anggota dewan Cina tidak mewakili penduduk Cina di Medan. Menurutnya, mereka memang telah dipilih oleh sekelompok kecil pemilih, tapi bahwa kelompok ini tidak lebih besar bukanlah kesalahan orang Cina, tetapi kesalahan sistem pemungutan suara. Anggota lain, Abdullah Loebis mengatakan semua surat kabar pribumi telah menulis dukungan mereka untuk menghapus becak hongkong.

Akhirnya, usulan penghapusan hongkong secara bertahap disetujui dewan dengan sembilan suara setuju banding lima suara menolak. Meski demikian, penghapusan total tidak terwujud sebelum Perang Dunia Kedua. Namun demikian, pada tahun 1930-an semakin sedikit becak hongkong terlihat di Medan.

Kampanye Penghapusan Ala Sumatra Post

Untuk mendukung kampanye penghapusan rikshaw, selain memberitakan perdebatan di ruang dewan, Sumatra Post juga menurunkan berita pengapusan rikshaw di negara lain, semisal di Burma (Sumatra Post 16/7/1927). Juga kematian koeli penarik rikshaw saat membawa penumpang seperti terjadi di Jalan Peking (Sumatra Post,10/7/1927), rikshaw ditabrak mobil dan mengakibatkan 2 penumpang luka-luka. Peristiwa terjadi di Jalan Hakka (Sumatra Post, 27/1935).

Namun koran ini juga menurunkan berita tentang harapan agar Medan punya moda transportasi mobil taksi untuk pengganti rikshaw (Sumatra Post 23/4/1919), juga berita kesiapan sebuah pabrik di Jerman memproduksi becak roda tiga (Sumatra Post, 24/4/1925).

Begitulah masalah becak hongkong sebagai salah satu moda transportasi di Medan pada tahun 1900-an, sebenarnya telah menjadi sangat politis. Pertanyaannya kenapa di wilayah Hindia Belanda, hanya di Medan rikshaw diijinkan beroperasi? Kenapa di Batavia, dan Semarang dilarang? Apakah semata karena kedekatan sosiologis dan kultural Tionghoa Medan dengan Tionghoa di Semenanjung Malaya? Atau apakah ia hanya soal rasa kemanusiaan, politik etis, atau ketersinggungan sebuah ras? Tidak adakah faktor lain yang berkelindan dengan kepentingan untuk memertahankan keberadaan dan sejarah rikshaw sebagai moda transportasi yang tengah berevolusi? Bersambung.

(JA)

Baca Juga

Rekomendasi