Kisah Becak Hongkong di Medan - Bagian 1

Kisah Becak Hongkong di Medan - Bagian 1
Andong dan Rikshaw di sebuah jalan Medan tahun 1900 (KITLV)

Analisadaily.com, Medan - Keberadaan rikshaw atau Becak Hongkong di Medan awal abad 20, bukan sekadar moda transportasi zamannya, tapi juga menggambarkan soal harga diri bangsa Tionghoa, isu humanisme hingga murni kepentingan bisnis.

Agustus 1937, koresponden khusus Sumatra Post menurunkan laporan tentang Kota Sanghai. Salah satu kota di Tiongkok yang saat itu telah terbagi-bagi ke dalam zonasi penjajahan sejumlah negara Barat seperti Inggris, Perancis, Jerman dan Jepang. Meski Shanghai telah berkembang menjadi kota industri modern di Tiongkok, dan mendapat julukan "kota jutaan dollar", namun sebagian besar penduduk Tiongkok di Shanghai hidup miskin. Bahkan mereka juga mengalami diskriminas dari bangsa kulit putih atau yang mereka sebut "setan berambut merah".

Di Taman milik orang Inggris, sebelum dicabut, pernah terpasang papan tulisan berbunyi: "Dilarang masuk ke dalam taman: orang Cina dan anjing."

Salah satu laporan dari koresponden De Sumatra Post, berkisah tentang kehidupan para koeli rikshaw atau becak Hongkong. Menurut surat kabar ini, para koeli becak Ini adalah wajah Sanghai sebenarnya. Shanghai bukan hanya asap hitam yang terus-menerus mengepul dari cerobong-cerobong asap pabrik, galangan kapal yang penuh dengan tangki-tangki besar berisi minyak atau kapal penjelajah lapis baja Inggris, Prancis dan Amerika yang bersandar di dermaga.

"Saya butuh waktu penyesuaian agar bisa duduk di atas rikshaw. Keragu-raguan yang luar biasa menguasai saya. Koeli rikshaw juga manusia. Dia tidak memiliki apa-apa selain becaknya. Dia tidur di dalam becaknya, dia harus hidup di atasnya.

Maafkan dia karena sikapnya yang keterlaluan. Jangan memandangnya dengan penuh cemooh, ketika Anda tahu ia menaikkan ongkosnya 20 kali lipat. Atau ketika dia hampir sepakat dengan Anda, empat atau lima rekan kerjanya, sesama koeli rikshaw, tiba-tiba bertengkar tentang siapa yang akan mengantarkan Anda.

jika Anda akhirnya memilih berjalan kaki, dia pasti akan kelaparan. Dia akan menatap Anda dengan bola mata memohon. Rasa syukur seperti seorang kanak-kanak akan bersinar di wajahnya saat Anda masuk ke dalam becak. Lalu becak berlari seperti bulu terbang, berayun-ayun..... Saya pernah memiliki pengalaman menyeramkan, di tengah becak berlari, koeli becak ambruk tertimpa gerobak. Apa akibat koeli kelaparan? Kelelahan? Apakah dia berlari mungkin enam atau delapan jam berturut-turut? Jika dia pingsan, atau mati, di Asia Timur, tidak ada yang peduli tentang itu."

Nukilan tulisan itu dimuat De Sumatra Post edisi 17 Agustus 1937. Surat kabar ini didirikan tahun 1898 oleh Jozeph Hallermann, orang Jerman, pemilik Toko Buku Varekamp en Borkhandel Co di Jalan Kesawan. Sumatra Post menjadi surat kabar ketiga setelah Deli Courant, terbit tahun 1885 dan De Ooskust (1895) ysng terbit di Medan Jika Deli Courant lebih dikenal membawa haluan membela kepentingan para pengusaha perkebunan, berkebalikan dengan De Sumatra Post. Pemimpin redaksi pertama koran ini adalah pengacara terkenal Johannes van den Brand. Dalam editorialnya tahun 1898 ia menulis: “Adalah tujuan De Sumatra Post untuk menggunakan keyakinan yang jujur ??untuk mendiskusikan isu-isu yang menjadi minat publik.”

Van de Brand dikenal sebagai pengacara dan penulis pamflet "De Milionen uit Deli" yang menentang Ordonansi "Poenale Sanctie". Ia juga ,enyoal tentang praktek "petbudakan" koeli di perkebunsn-petkebunan di Deli. Ia juga pernah menjadi anggota Dewan Kota Medan.

Tahun 1914 Sudah Ada 500 Rikshaw di Medan

Salah satu isu penting yang cukup intens diberitakan De Sumatra Post adalah tentang rikshaw, atau di Medan disebut becak Hongkong itu. Sebuah kereta beroda yang ditarik tenaga manusia. Tak diletahui sejak kapan becak Hongkong masuk ke Medan. Tapi hal itu tak terpisah dari keberadaan masyarakat Tionghoa Medan, yang pada awal abad ke-19, merupakan para migran Tiongkok yang didatangkan dari Kawasan Semenanjung Malaya, Singapura dan Penang sebagai kuli perkebunan.

Tahun 1894, Deli Courant memberitakan seorang tuan kebon besar di TM Estate, menabrak jinrikshaw di depan pastoran RC dengan kecepatan sangat tinggi. Koeli becak Cina itu melihat rikshawnya ambruk dan penumpangnya, seorang babu dan seorang anak, jatuh paling akhir (Deli Courant, 24/10/1894).

Tahun 1914, Sumatra Post menyebut di Medan sudah ada sebanyak 500 rikshaw dengan 800 koeli penarik yang berganti membawa penumpang demi menghidupi keluarga mereka. (Sumatra Post, 31/20/1914). Keberadaan rikshaw sebagai moda transportasi kota, selain delman, mengundang banyak perdebatan. Umumnya orang-orang Eropa, awalnya saat datang ke Medan terkejut melihat ada gerbong kereta ditarik manusia, bukan hewan seperti sado atau delman yang ditarik kuda. Tapi akhirnya mereka menjadi terbiasa dan merasa senang karena koeli rikshaw bisa berlari cepat dan lincah membawa mereka masuk ke gang-gang sempit.

Namun bagi J. Van de Brand, pengacara yang banyak membela kepentingan buruh kebon Deli, angkutan rikshaw adalah bentuk eksploitasi terhadap manusia. Itu sebabnya surat kabar yang dipimpinnya banyak mendukung kampanye penghapusan rikshaw dengan menulis berbagai berita tentang sisi negatif rikshaw. Namun J. Van de Brand hanya hanya menjabat sebagai pemimpin redaksi sampai tahun 1903, lalu digantikan A.J.C.M. Tetvoorren (Mohammad Said: 1976). Bersambung

(JA)

Baca Juga

Rekomendasi