Bertahan di Tengah Pandemi Galeri Ulos Sianipar Pilih Jasa Logistik yang Tepat

Sentuh Inovasi, Bukan Menghianati Adat

Sentuh Inovasi, Bukan Menghianati Adat
Galeri Ulos Sianipar di Kota Medan (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Medan - “Masa ulos dibuat dompet? Hahaha,”

Tawa orang-orang pun bersahutan terdengar. Celetukan itu kembali Robert Maruli Tua ceritakan saat mengenang awal mula dia mendirikan Galeri Ulos Sianipar di Kota Medan. Padahal dia hanya ingin ulos menyentuh inovasi, bukan menghianati adat.

“Saya ingin ulos dikenal banyak orang, dan bukan hanya dinikmati oleh orang Batak saja, tapi semua orang. Masalahnya kalau dibilang ulos, pasti identik dibilang orang Batak, makanya saya berpikir bagaimana membuat produk turunannya," kisahnya.

Berawal dari usaha keluarga, barulah pada tahun 1992, Robert mulai membangun usahanya sendiri. Sejak awal Robert serius mendalami ulos dan pembuatan kain-kain tradisional, bahkan secara khusus dia belajar pewarnaan tekstil di Bandung. Menurut pria kelahiran Medan, 28 Juli 1973 ini, ulos asli tidak boleh diubah apalagi dimodifikasi. “Tapi kain bermotif ulos boleh saja. Perbedaannya terletak pada warna dan bahan benang yang digunakan (mungkin untuk dicuci sesering mungkin),” terangnya.

Mulanya kapasitas pembuatan produk ulos di Galeri Ulos Sianipar hanya mampu menghasilkan sekitar 17 lembar ulos perharinya. Seiring waktu berjalan, permintaan ulos kian bertambah, dan setahun kemudian Robert bahkan telah memperkerjakan 100 orang di tempatnya. “Jika hanya membuat ulos, saya yakin pasti tidak akan laku. Makanya saya menciptakan warna dan desain sendiri sehingga produk tenun bisa dibuat menjadi apa saja, bukan hanya sekadar untuk kebutuhan adat, tapi juga untuk kebutuhan fashion,” jelasnya.

“Seperti yang saya pakai ini, saya desain tenun ulos dalam bentuk jas. Ini motif ulos, tapi bahan yang saya pakai bukan bahan yang digunakan untuk ulos, namun bahan yang digunakan memang untuk fashion seperti jenis bahan katun dan sutra,” sambungnya menunjukkan jas biru bermotif ulos yang melekat di tubuhnya.

Galeri Ulos Sianipar berada di Jalan A.R Hakim Gang Pendidikan Nomor 130, Pasar Merah, Medan. Pada tahun 2015, Galeri Ulos Sianipar berganti nama menjadi Galeri Ulos Sianipar dan UKM Bersama, setidaknya tercatat lebih dari 40 UKM di Sumatera Utara yang menjalin kerja sama dengan Galeri Ulos Sianipar.

Memasuki galeri ini, di bagian depannya terdapat sebuah rumah tenun yang berbentuk seperti rumah adat Batak (Rumah Bolon). Pada bagian bawah rumah tenun, jelas terlihat berbagai jenis patung khas suku batak, juga beberapa ulos yang terpajang. Memiliki tiga lantai, lantai pertama dan kedua galeri terdapat aneka pajangan dan kerajinan, sedangkan lantai ketiga galeri ini merupakan tempat alat produksi milik Galeri Ulos Sianipar dan UKM Bersama.

Produk kerajinan yang ditawarkan cukup menarik, tak hanya kain ulos, songket, namun ada juga baju, tas, dompet, sepatu, pernak-pernik, dan semuanya bermotif ulos. Selain itu ada juga produk makanan yang melengkapi koleksi galeri ini. Menawarkan harga yang beragam mulai dari Rp5000, dan semua itu disesuaikan dengan jenis dan kualitas produk yang pengunjung pilih.

Khusus untuk rumah tenun, galeri ini juga memberdayakan kaum ibu untuk menenun ulos setiap harinya, mulai pukul 08.00 – 21.00 Wib. Rata-rata mereka bekerja sebagai ibu rumah tangga yang berdomisili di Kota Medan. Umumnya setiap penenun bisa menyelesaikan lima ulos dalam sepekan. Memang ulos-ulos yang telah ditenun itu tidak langsung dipasarkan, karena harus melewati proses layak pasar terlebih dahulu.

Ada ulos ragi hotang, juga ulos ragi hidup yang berasal dari Angkola. Ada juga ulos Mandailing dan Sipirok, termasuk songket. Robert memodifikasi ulos-ulos itu mengikuti tren dan perkembangan zaman, dibuat jadi kemeja sampai sarung bantal. Khusus pasar di Indonesia, hampir semua kalangan berminat dengan ulos dan songket. Selain harganya terjangkau, kualitasnya tidak mengecewakan. Seperti ulos sadum yang dibandrol mulai Rp15 ribu - Rp10 juta, dan songket, harganya mulai Rp400 ribuan - Rp3 jutaan.

Koleksi ulos di Galeri Ulos Sianipar sudah menembus hampir seluruh tanah Eropa. Termasuk di Malaysia, Singapura, dan Australia. Begitupun Robert bilang usahanya juga sempat mengalami jatuh bangun. “Krisis moneter pada tahun 1998 lalu itu sangat berdampak terhadap usaha saya, namun saya tetap bertahan,” akunya.

Kala itu Robert sampai mengurangi jumlah karyawannya sebagai upaya tetap bertahan. Dua tahun setelah itu usaha ini mampu kembali bangkit. Meskipun tertatih, namun dia tak mau menyerah. Tak sia-sia, usahanya pun berhasil stabil.

“Selama pandemi ini, kami mengalami penurunan penjualan hingga 90 persen, bahkan untuk membayar gaji karyawan tak bisa lagi bersumber dari hasil usaha, namun membayar menggunakan uang pribadi, dan itu berlangsung hingga 8 bulan,” bebernya.

Diakuinya tantangan pelaku usaha sepertinya adalah persaingan dengan jenis usaha yang sama yakni di bidang tenun, dan menurut Robert di Sumut itu tak hanya satu dua, namun banyak sekali. Maka strategi Robert selama pandemi ini adalah menciptakan desain baru dan membandrol harga produk semurah mungkin, namun tanpa menjatuhkan harga pasar. “Sasarannya bagaimana UMKM yang serupa bisa mengambil barang dari galeri ini dengan harga yang terjangkau,” ungkapnya.

Oleh sebab itu pelaku usaha harus cerdas mengelola usahanya. Termasuk memilih jasa logistik yang tepat. Sampai saat ini Robert mempercayai JNE untuk urusan pengiriman barang dalam melayani permintaan konsumennya. “JNE membuat saya nyaman, bukan hanya soal pelayanan, pun juga soal tarif yang menurut saya sangat manusiawi,” pujinya.

JNE untuk UMKM

Salah satu Ulos di Galeri Ulos Sianipar (Analisadaily.com/Istimewa)
Branch Manager JNE Medan Fikri Alhaq Fachryana tersenyum mendengar ucapan Robert, tak dipungkirinya pandemi menciptakan pembatasan skala mikro yang memancing digitalisasi ekonomi. Sederhananya itu berarti ekonomi bergantung pada digital. Secara bisnis, tentu saja bisnis-bisnis offline berubah menjadi bisnis online. Sementara sektor yang paling mendukung bisnis online adalah bisnis logistik. “Sebelumnya JNE hanya berperan sebagai distributor logistik, sekarang perannya juga sebagai pembayaran (COD),” bilangnya.

Boleh dibilang JNE kini menjadi sektor yang esensial untuk mendukung ekonomi digital di negeri sendiri.

Fikri mengakui bahwa kendala yang dialami UMKM adalah tingginya ongkos logistik untuk bisnis online, khususnya ongkos logistik ke luar Sumatera. “Rekomendasi kami bagi pelaku usaha bisnis online adalah menggeser segmen pasar. Jika misalnya sebelumnya mengambil pasar dari luar Sumatera; Jawa dan Kalimantan, bagaimana jika mencoba untuk mengambil pasar di Sumatera dulu?” saran Fikri.

Dalam hematnya, ada 14 juta penduduk di Sumut, jika pelaku usaha bisnis online bisa menguasai pasar regional Sumatera saja tentu itu cukup membantu UMKM, sehingga ongkos kirimnya menjadi kecil. “Saat ini JNE memiliki pelayanan JNE Trucking, dan dalam jumlah pengiriman yang besar, biaya logistik menjadi lebih murah,” sahutnya.

Untuk mendukung UMKM di regional Sumut disebutkan Fikri, JNE bahkan telah berinovasi dalam sisi pricing (tarif), yakni menurunkan tarif biaya untuk pengiriman ke seluruh kabupaten di Sumut, terutama ke kecamatan-kecamatan. “Kalau kota ke kecamatan tarifnya hanya 10 ribu, sedangkan tarif untuk yang dari luar kecamatan kotanya, jika biasanya 25 ribu, sekarang tarifnya sudah dikurangi menjadi 20 ribu. Bahkan kalau berdekatan kabupatennya itu sudah 15.000,” terangnya.

Bahkan ada juga tarif yang Fikri sebut dalam istilah ‘semakin besar, semakin kecil’. “Jadi berat barang antara 1-3 kilogram, itu JNE bulatkan saja menjadi 1 kilogram, begitupun seterusnya, berat barang antara 4-6 kilogram, itu kami bulatkan hanya 2 kilogram saja,” bilangnya.

Tentu inovasi pricing ini sangat membantu UMKM dalam pengembangan pasarnya, utamanya bagi mereka yang mulai berbisnis online. Pun pengiriman intra kota, JNE juga sudah menurunkam tarif yakni hanya 5 ribu per kilogram, dan barang pun sudah sampai pada hari itu, atau selambatnya tiba besok pagi.

Sementara itu dari sisi produk, kelemahan UMKM adalah masalah packaging, karena itu JNE memberikan solusi lewat pelayanan JNE fullpilment, yakni pelayanan yang dimulai dari werehousing, packaging, stock off name, dan menggunakan sistem managemen yang terintegrasi. sehingga seller mudah untuk mengontrol, mulai dari picking (pengambilan), hingga shiping, dan semua diurus oleh JNE.

Tak hanya itu khusus di Medan, JNE memiliki JNE Medan Consulty sehingga JNE bisa membantu MUI, pemerintah kota dan kabupaten untuk menyosialisasikan segala hal yang berkaitan dengan kepengurusan izin terkait UMKM kuliner. “Khusus untuk pemula bisnis online bahkan kami memberikan solusi dalam memasarkan produknya, mulai dari teknik fotografi, content produk hingga traffic yang bagus di media sosial. JNE memiliki tim khusus yang bernama JNE Marketing digital consulting, dan ini gratis bagi UMKM,” paparnya.

Selain itu JNE juga menyoroti sisi place (tempat berjualan). Maka saat ini JNE sedang menggagas untuk berkolaborasi dengan organisasi UMKM membuat marketplace lokal yang berisi produk-produk unggulan lokal sumut. “Bahkan sejak 2009, JNE sudah memiliki marketplace untuk UMKM yang bernama pesona nusantara, dan masih berlangsung hingga saat ini,” ucap Fikri.

Tak ketinggalan sebagai upaya JNE mendukung UMKM di Sumut, JNE juga menyoroti masalah branding bagi para pemula pelaku bisnis online yang membutuhkan personal garanty branding, dan untuk itu Fikri bilang JNE siap menjadi bagian sebagai personal garanty branding para UMKM. “Terpenting usahanya ada, dan tidak abal-abal, agar pembeli tidak protes,” ungkapnya.

Terakhir, menyinggung soal manajemen, JNE juga memberikan solusi bagi para UMKM di Sumut untuk siap menjadi trainer management consulting bagi UMKM. Dengan begitu para pelaku usaha bisnis online bisa mengelola usahanya, juga uangnya, sehingga bisnis online menjadi holistik.
JNE tersebar di 120 titik di Kota Medan, memiliki delapan kantor perwakilan di Kota Medan, dan Fikri bilang, JNE telah hadir di 80 persen kecamatan di Sumut. “Meskipun ada keterbatasan namun JNE tetap beroperasional. Ini merupakan dampak dari situasi, kita harus berubah, harus beradaptasi, menyahuti era digital, setidaknya kita menjadi kreatif,” pungkas Fikri.

#JNE31tahun, #JNEMajuindonesia, #jnecontentcompetion2021

Berita kiriman dari: Adelina Savitri Lubis

Baca Juga

Rekomendasi