Meski Sama-sama Dibatalkan, Indonesia dan Peru Beda Nasib

Meski Sama-sama Dibatalkan, Indonesia dan Peru Beda Nasib
FIFA Logo. (Analisadaily/Istimewa)

FIFA dalam rilis terbarunya membatalkan Peru sebagai tuan rumah perhelatan Piala Dunia U-17. Berbeda dari saat mencabut Indonesia dari status tuan rumah Piala Dunia U20, FIFA menyatakan dengan jelas alasan mencabut Peru sebagai tuan rumah Piala Dunia U17, yakni ketidakmampuan memenuhi komitmen membangun infrastruktur untuk menyelenggarakan turnamen FIFA.

Namun, ketika FIFA melakukan hal serupa kepada Indonesia dengan hanya menyebut "due to current circumstances" atau "karena keadaan-keadaan yang saat ini terjadi" ini membuktikan, dalam soal infrastruktur turnamen, Indonesia tak bermasalah.

Namun kepada Indonesia, FIFA mencantumkan kemungkinan menjatuhkan sanksi. Kata seperti ini tak ada dalam keputusan FIFA saat mencabut Peru sebagai tuan rumah Piala Dunia U17 yang baru akan digelar 10 November mendatang.

Dalam kata lain, kesalahan Peru lebih ringan ketimbang Indonesia, hanya ketidaksanggupan menyiapkan fasilitas, padahal turnamen itu baru akan digelar sepuluh bulan ke depan.

Sebaliknya, sembari mencantumkan kalimat "karena keadaan yang saat ini terjadi", FIFA mencantumkan "kemungkinan sanksi" kepada Indonesia. Artinya, pelanggaran komitmen oleh Indonesia mungkin dianggap FIFA lebih berat ketimbang yang dilakukan Peru.

"Curent" atau "saat ini" tentunya bukan peristiwa bulan lalu atau bulan sebelum FIFA mencabut Indonesia dari status tuan rumah Piala Dunia U20, dan apalagi bukan tahun lalu ketika sepak bola Indonesia diguncang Tragedi Kanjuruhan.

Beberapa hari sebelum FIFA membuat keputusan terhadap Indonesia memang terjadi gelombang protes yang menolak timnas Israel mengikuti turnamen Piala Dunia U20 2023 di Indonesia yang berpuncak pada penolakan yang sama yang dilakukan Gubernur Bali dan Jawa Tengah yang keduanya menjadi tempat penyelenggaraan turnamen tersebut.

Sejumlah kalangan menganggap langkah itu sebagai bentuk lain dari intervensi pemerintah, kendati yang melakukan adalah pemerintah daerah.

Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) Erick Thohir sendiri menyinggung intervensi pemerintah sebagai alasan FIFA mencabut status Indonesia sebagai tuan rumah Piala Dunia U20.

Erick dan para petinggi PSSI, juga komunitas sepak bola nasional, khawatir sanksi FIFA kepada Indonesia akan keras, apalagi sudah ada preseden pada 2015 ketika Indonesia dijatuhi sanksi keras berupa larangan mengikuti turnamen-turnamen internasional yang juga karena intervensi pemerintah.

Menurut Erick, jika sanksi seperti itu yang dijatuhkan FIFA, bukan saja sepak bola nasional yang dirugikan, tetapi juga masyarakat yang terlibat dalam industri sepak bola Indonesia.

Erick dan PSSI tahu pasti FIFA dan aturan-aturannya sehingga tak gampang menganggap FIFA bersikap tidak adil. Sebaliknya, sejumlah kalangan menganggap FIFA berlaku tidak adil terhadap Indonesia.

Mereka bahkan menuding FIFA berstandar ganda, seraya menunjuk sikap FIFA terhadap Rusia setelah negara ini menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022.

Orang lupa bahwa sanksi FIFA kepada Rusia didasari alasan yang kuat.

Sejak era 1990-an, badan-badan olahraga dunia seperti FIFA dan Komite Olimpiade Internasional (IOC) sudah berubah dengan kerap melihat diri mereka penguat gerakan moral, termasuk melawan kesewenang-wenangan sebuah negara terhadap negara lainnya.

Sebelum periode 1990-an, badan-badan olahraga itu sangat apolitik. Salah satu contohnya adalah ketika Uni Soviet menginvasi Afghanistan pada 1979. Komite Olimpiade Internasional (IOC) tak membatalkan Olimpiade 1980 yang diadakan di Moskow ini.

Olimpiade itu jalan terus sekalipun diboikot oleh sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Sebelum era 1990-an kerap terjadi perang yang berakhir dengan pendudukan sebuah negara oleh negara lainnya di berbagai belahan dunia, termasuk di Asia Tenggara dan termasuk perang Arab-Israel pada 1949-1967 dan 1967-1973.

Memang ada kasus unik ketika invasi AS dan sekutu-sekutunya ke Irak pada 2003 tidak mendatangkan sikap dari organisasi-organisasi olahraga dunia.

Ini karena invasi Irak 2003 terjadi setelah mendapatkan persetujuan PBB, berkaitan dengan isu proliferasi senjata nuklir dan dukungan Irak terhadap terorisme dua tahun setelah AS diguncang serangan teror 11 September 2001.

Suka atau tidak suka, invasi di Irak itu sudah melalui forum global PBB sehingga aspek legal telah dipenuhi. Ini berbeda dari aksi Rusia di Ukraina yang unilateral atau sepihak tanpa persetujuan internasional dan rekomendasi legal dari PBB.

Karena proses multilateral telah dilewati, aksi AS di Irak secara hukum internasional adalah sah. Dan karena dianggap sah, maka badan-badan dunia, termasuk badan-badan olahraga global pun tak bersikap.

Sebaliknya, pada kasus invasi Rusia di Ukraina, badan-badan olahraga, mengeluarkan sikap yang sejalan dengan posisi PBB yang menyebut aksi Rusia di Ukraina sebagai pelanggaran yang harus dikecam.

Sikap FIFA terhadap Rusia juga diawali oleh sikap badan sepak bola Eropa (UEFA) yang sekalipun bukan bagian dari Uni Eropa, keduanya berkoordinasi erat.

Sikap FIFA terhadap Rusia juga didasari preseden 1996 ketika FIFA dan UEFA mencabut keikutsertaan Yugoslavia dalam Piala Eropa 1992 di Swedia.

Sikap kedua badan sepak bola didasari oleh resolusi PBB yang menjatuhkan sanksi kepada Yugoslavia setelah pasukan etnis Serbia dukungan Yugoslavia, membombardir Sarajevo, ibu kota Bosnia Herzegovina yang mayoritas muslim.

Sikap PBB itu menjadi dasar pada FIFA dan UEFA untuk mengusir Yugoslavia dari putaran final Euro 2016 walau negara yang kini telah tiada itu sudah memastikan diri lolos ke putaran final turnamen tersebut. Yugoslavia lalu digantikan Denmark yang akhirnya menjadi juara turnamen Eropa edisi itu.

Situasi terhadap Yugoslavia ini mirip dengan situasi ketika UEFA dan FIFA membekukan keikutsertaan timnas Rusia dari turnamen-turnamen internasional.

Tidak kompatibel

Situasi itu pun bermula dari UEFA yang sudah pasti tak bisa melepaskan diri dari Uni Eropa yang langsung menjatuhkan sanksi kepada Rusia setelah negara ini menginvasi Ukraina pada 24 Februari 2022. Sanksi ini mengikat semua anggota Uni Eropa.

Lalu muncul persoalan lain ketika Republik Ceko, Polandia dan Swedia yang semuanya anggota Uni Eropa, menolak bertanding melawan Rusia dalam playoff zona Eropa untuk memperebutkan satu dari empat jatah Eropa tersisa untuk Piala Dunia 2022.

FIFA tadinya menghendaki Rusia tetap tampil dalam playoff dengan syarat pertandingan kandang Rusia diadakan di negara netral tanpa penonton.

Namun setelah mendapatkan rekomendasi IOC yang merupakan badan olahraga paling tinggi di dunia, sikap FIFA dan UEFA berubah. Pada 15 Maret 2022 mereka mengeluarkan larangan resmi kepada Rusia.

Peristiwa-peristiwa itu melukiskan perubahan sikap pada badan-badan olahraga global seperti FIFA semenjak era 1990-an di mana mereka tidak lagi terlalu apolitik.

Sikap itu pun tidak ditentukan sepihak, melainkan atas pandangan mayoritas anggota, rekomendasi IOC dan mengacu kepada sikap PBB.

Jadi, pembandingan sikap FIFA terhadap keikutsertaan timnas Israel pada Piala Dunia U20 dengan Rusia pada Piala Dunia 2022, adalah tidak kompatibel.

Mungkin akan lain persoalannya jika Perang Arab-Israel terjadi pada era setelah 1990-an, FIFA mungkin akan mengambil sikap seperti mereka bersikap terhadap Rusia.

Menyamakan situasi saat ini dengan masa lalu juga tidak terlalu bijak, karena keadaan-keadaan masa kini sudah banyak berubah. Apalagi meminta keluar dari FIFA yang beranggotakan 211 negara (asosiasi sepak bola nasional).

Ada yang juga terlalu emosional membuat forum tandingan. Pada era Perang Dingin akan lebih gampang mendirikan ajang tandingan, tetapi pada era ini sulit sekali dilakukan. Kalaupun ada, ajang itu menjadi lebih menyerupai gerakan solidaritas ketimbang kompetisi olahraga sejati.

Semoga, FIFA tidak menjatuhkan sanksi karena alasan intervensi pemerintah, karena jika jenis sanksi ini yang dijatuhkan, maka bukan saja sepak bola nasional yang terbunuh, tetapi juga menjadi preseden buruk untuk upaya Indonesia menjadi tuan rumah Piala Dunia FIFA dan Olimpiade.

Bagi sebagian orang menjadi tuan rumah dua ajang global itu tidak penting, tetapi bagi mereka yang menganggap ajang-ajang akbar olahraga global bertautan dengan posisi nasional manakala skala pengaruh dan postur ekonomi sebuah negara semakin meraksasa, maka menjadi tuan rumah ajang olahraga akbar adalah bagian sangat penting dalam menjadi negara besar.

Indonesia sendiri memiliki visi menjadi negara maju pada 2045. Bloomberg pada 2019 bahkan memprediksi Indonesia menjadi negara dengan ekonomi terbesar keempat di dunia pada 2030.

Dan tak ada negara besar yang tak ingin memproyeksikan pengaruh dan pencapaiannya di panggung-panggung global, termasuk dengan menjadi tuan rumah Piala Dunia dan Olimpiade.

Namun, sampai Indonesia membuka hubungan diplomatik dengan Israel yang mustahil terjadi kecuali Israel membiarkan Palestina menjadi negara berdaulat dan menyerahkan wilayah-wilayah Palestina yang didudukinya, masyarakat negeri ini tampaknya mesti menyimpan dalam-dalam mimpi menjadi tuan rumah turnamen FIFA dan Olimpiade.

Berita kiriman dari: Jafar M Sidik

Baca Juga

Rekomendasi