Tatkala Bitcoin Mendekati Rp30 Juta

Oleh: Vinsensius Sitepu.

Momen “tergila” terjadi pada 4 Mei 2017 lalu, ketika ma­ta uang digital bitcoin tembus hingga Rp20,5 juta per BTC atau setara dengan US$1.527 (bitcoin.co.id). Harga itu adalah harga ter­tinggi yang mampu ditem­bus bitcoin sepanjang masa, sejak kelahi­rannya pada 2008 silam. Harga tertinggi sebe­lumnya terjadi pada 25 November 2014 di angka US$979. Wa­­lau­pun beberapa jam berikutnya turun beberapa ratus dolar, tetapi hingga artikel ini ditulis, Minggu (21/5), bitcoin di bitcoin.co.id diperdagangkan hingga Rp28,6 juta per BTC. Apa pasal?

Kenaikan ini tidak diprediksi sebelum­nya, walaupun pasar yakin bahwa kenai­kan­nya di masa depan akan selalu besar dari­pada masa sebelumnya, dan itu pernah saya sampaikan ada artikel saya di Kontan pada Januari 2017 lalu. Di sana saya sampaikan bahwa, “Melihat kecenderu­ngan perdaga­ngan belakangan ini, terma­suk prediksi keti­dakpastian ekonomi du­nia, saya mem­perkirakan bitcoin masih berki­bar. Bukan tidak mungkin kurang dari enam bulan pada tahun ini, bitcoin mampu naik ke Rp20 juta”.

Kalimat itu saya tulis ketika pasar bitcoin terjadi bullish, dimana nilai tukar bitcoin meroket sangat cepat. Pada 30 Desember 2016 misalnya, bitcoin masih diperda­gangkan setara dengan Rp9,8 juta. Pada 5 Januari 2017, pukul 11.30 WIB, bitcoin secara global dipertukarkan setara Rp15 juta (bitstamp.net) hingga Rp16 juta (bitcoin.co.id). Padahal 24 jam sebelumnya, bitcoin masih bertengger di angka Rp14 juta.

Dalam kurun waktu 3 tahun, harga terendah bitcoin tercatat pada 12 Januari 2015 (coindesk.com), ketika bitcoin diper­dagangkan pada harga US$214 dari US$657 per BTC pada 2 Juni 2014. Sejak Januari 2015 bitcoin dengan payah dan lambat mencoba merangkak untuk mencapai kembali angka US$979 dan itu baru tercapai pada 2 Januari 2017. Sejak saat itu harga bitcoin naik terus hingga artikel ini ditulis, walaupun sempat turun drastis pada 9 Januari 2017 dan 20 Maret 2017, masing-masing pada harga US$835 dan US$1.012.

Efek Jepang

Peningkatan cepat pada awal pekan Mei 2017 disebabkan be­berapa hal, utamanya adalah peningkatan permintaan bit­coin di Jepang, setelah pada 1 April 2017 peme­rintah Jepang melegalkan bitcoin di negara itu sebagai alat tukar, layaknya Yen dan mata uang lainnya. Keesokan harinya pasar melonjak, di mana permintaan pasar secara global, 50 persen per­da­gang­an berasal dari Jepang. Di saat bersamaan ada 18 perusa­haan jual-beli bitcoin di Jepang yang sedang menunggu restu pe­me­rintah agar dapat beroperasi. Inilah yang menye­bab­kan investor semakin yakin terhadap perdagangan bitcoin, karena dijamin oleh pemerintah, terlebih-lebih perdagangan bitcoin di Jepang tidak akan dikenakan pajak.

Tak lama lagi India dan Rusia menyusul akan melakukan re­gulasi yang sama seperti Jepang, yang kelak akan meroketkan harga bitcoin lagi. India sendiri sudah melakukan uji coba kelayakan teknologi Blockchain, yang menjadi tulang punggung mata uang digital bitcoin dan lainnya.

Peristiwa menarik lainnya adalah pada awal Februari 2017 Bank Sentral Filipina telah mengeluarkan panduan perda­gang­an mata uang digital setelah melegalkan beberapa perusahaan penukaran mata uang digital di negara itu. Namun demikian, keputusan bank sentral itu bukanlah restu resmi pemerintah untuk melegalkan bitcoin sebagai mata uang yang sah di negara itu, tetapi terbatas sebagai teknologi pengiriman uang secara global yang mudah dan cepat.

Bitcoin ETF

Penyebab lain atas kenaikan harga adalah pada 4 Mei 2017 Se­curity and Exchange Commission (SEC) mengumumkan akan mempertimbangkan kembali proposal bitcoin exchange-traded fund (ETC) Winklevoss bersaudara kepada lembaga pengatur keuangan Amerika Serikat itu.

Pada 10 Maret 2017 SEC sempat meno­lak proposal itu, de­ngan alasan bahwa pasar, di mana bitcoin diperdagangkan belum sepenuhnya diregulasi. Dengan lemahnya regulasi bit­coin di Amerika Serikat, kata SEC, sebagaimana dilansir dari nytimes.com, berpotensi terjadinya praktik kecurangan dan manipulasi di dalam pasar.

Bitcoin exchange-traded fund ditang­gapi sangat positif oleh pasar bitcoin secara global, karena memungkinkan mata uang digital itu lebih mainstream. Bitcoin pun dapat hadir di tengah-tengah investor retail, yang dapat ditengahi oleh perusahaan manajemen aset seperti Charles Schwab and eTrade. Dengan ada­nya exchange-traded fund ter­hadap bitcoin, maka investor dapat melacak indeks perdagangan aset secara lebih baik, tetapi diperdagangkan layaknya saham.

Sebelumnya, Gemini, perusahaan jual-beli bitcoin yang didirikan mereka, telah mendapatkan restu dari lembaga keuangan New York, di mana mata uang digital dapat diperjualbelikan oleh trader profesional.

Jack Ma minat Blockchain

Perusahaan asal Tiongkok, Hundsun Technology, yang se­ba­gian sahamnya dimiliki oleh Jack Ma,pada 4 Mei 2017 meng­umumkan akan bekerjasama dengan Symbiont, per­usahaan asal Amerika Serikat, sebagai bagian dari ambisi Jack Ma untuk menjelajahi lebih jauh potensi Blockchain dan mata uang digital. Symbiont adalah peranti lunak berbasis Block­chain yang memungkinkan pengguna melakukan perdagangan uang dan saham secara lebih cepat, khususnya memanfaatkan metode smart contract, di mana perjanjian jual beli dilaksana­kan dan direkam secara elektronis pada jaringan Blockchain. Sebagai sebuah data, kontrak itu akan kekal dan tidak dapat dihapus.

Situasi 2016

Situasi 2016 sebenarnya masih meme­ngaruhi harga bitcoin hari ini. Kenaikan drastis pada pekan pertama Januari 2017, misalnya masih didorong oleh faktor-faktor lawas sepanjang 2016, yaitu pelemahan mata uang Yuan dan Rupee, termasuk menjelang akhir tahun, di mana pemerintah Rusia melegalkan eksistensi bitcoin di negara itu, serta situasi politik global yang tidak menentu.

Sebagaimana yang dikutip dari bloomberg.com, pelemahan Yuan selama 1 Januari-29 Desember 2016 mencapai -6.63 per­sen, sedangkan Rupee hingga September 2016 “jongkok” di -3,06 persen. Demonitisasi rupee juga ditengarai sebagai penyebab naik daunnya bitcoin. Sebagai catatan, Tiongkok, India, dan Rusia adalah tiga negara dengan pedagang aktif bitcoin di dunia saat ini, selain Amerika Serikat dan Kanada. Dengan kata lain, pengguna bitcoin merasa lebih aman menyimpan mata uangnya masing-masing ke bitcoin agar nilainya terjaga. Di satu sisi tingkat kepercayaan publik dunia terhadap bitcoin semakin naik.

Saat ini Tiongkok masih mendominasi sebesar 93 persen perdagangan bitcoin se­cara global, termasuk pengelola mining­ farm terbesar saat ini. Mining farm merujuk pada tempat dihasilkannya bitcoin setiap hari, sebagai imbalan atas tugas memveri­fikasi transaksi bitcoin. Pengelola mining farm sangat mengandalkan peranti keras kom­puter khusus yang super high-end dalam pengolahan sistem dan database bitcoin di seluruh dunia.

Keparahan ekonomi di Venezuela juga menyumbang sedikit ba­nyak terhadap kenaikan bitcoin di negeri itu ada pening­katan jumlah transaksi bitcoin. Sebagaimana yang dikutip dari guardian.com, pada 16 Desember 2016, pada Agustus 2014 terda­pat sekitar 450 orang pengguna bitcoin di negara itu. Pada November 2016 meningkat menjadi 85 ribu orang. Bagi sebagian kecil penduduk Venezuela, seperti pekerja TI dan pe­kerja lepas mulai bergantung kepada bitcoin yang dapat ditukarkan ke mata uang bolivars untuk bertahan hidup, seperti membeli kebutuhan pokok, bahkan membeli obat-obatan.

Blockchain di masa depan

Semakin familiarnya blockchain, kian memperteguh citra teknologi itu di kalangan perusahaan penyedia jasa keuangan dan tentu saja perusahaan fintech, selain proyek riset dan pengembangan blockchain yang dijalankan oleh R3, sebuah konsorsium internasional, gabungan dari 70 perusahaan penyedia jasa keuangan ternama. Ditambah lagi penerapan yang serupa yang dilakukan oleh Bank Sentral Singapura pada November tahun lalu.

Hal itu ditegaskan oleh Pricewater Coopers (PwC) dalam ha­sil riset teranyarnya. PwC mengungkapkan, dari 1.300 respon­den (lembaga keuangan mainstream dan fintech startup dari 71 negara), sebanyak 77 persen merasa familiar terhadap block­chain, termasuk keinginan akan menga­dopsi blockchain sebagai bagian dari sis­tem produksi dan sistem proses di perusa­haan mereka dalam 3-5 tahun mendatang. Dari angka itu, ada sekitar 24 persen yang merasa “sangat” atau “benar-benar sa­ngat” menge­nali blockchain, dengan responden dari Amerika Utara berada di posisi teratas.

Walaupun tingkat adopsinya teknologi blockchain ini ber­jalan lambat berban­dingkan dengan teknologi lain, tapi poten­sinya di masa depan akan cerah. ***

Penulis adalah Pendiri Mahapala Multimedia.

()

Baca Juga

Rekomendasi