Anggaran Kesehatan Covid-19 Rendah, Pemerintah Aceh Dinilai Tak Responsif

Anggaran Kesehatan Covid-19 Rendah, Pemerintah Aceh Dinilai Tak Responsif
Koordinator Bidang Advokasi Kebijakan Publik Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Hafidh. (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Banda Aceh - Angka positif Covid-19 di Aceh saat ini terus meningkat tiap hari. Tingkat keterbukaan informasi program dan alokasi anggaran penanganan dampak Covid-19 di provinsi ini justru semakin rendah.

Meski telah didesak berbagai pihak, bahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) untuk transparan, namun Pemerintah Aceh hingga kini justru belum mempublikasikan alokasi anggaran dan bentuk program penanganan dampak Covid-19 secara terperinci ke publik.

"Tentu, hal ini tidak hanya berdampak pada relasi eksekutif dan legislatif, lebih jauh kondisi ini berdampak pada kepercayaan publik kepada Pemerintah Aceh dalam penanganan dampak Covid-19," kata Koordinator Bidang Advokasi Kebijakan Publik Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Hafidh, di Banda Aceh, Rabu (23/9).

Ia mengungkapkan, dari informasi yang diperoleh pihaknya per Juli 2020, alokasi anggaran untuk penanganan dampak Covid-19 seluruh Aceh (Pemerintah Aceh dan pemerintah kabupaten/kota) sebesar Rp 3,2 triliun.

Pemerintah Aceh sendiri mengalokasikan anggaran sebesar Rp 2,5 triliun, sementara alokasi seluruh pemerintah kabupaten/kota di Aceh jika dijumlahkan sebesar Rp 730,6 miliar.

Kabupaten/kota di Aceh dengan alokasi anggaran tertinggi yakni Pidie Jaya dengan alokasi sebesar Rp 97,2 miliar. Selanjutnya Aceh Barat Daya (Abdya) sebesar Rp 54,2 miliar dan Kota Lhokseumawe Rp 51,4 miliar.

Daerah terendah mengalokasikan anggaran penanganan dampak Covid-19 yaitu Kabupaten Aceh Jaya hanya Rp 5,6 miliar. Jika melihat realisasi per Juli 2020, tidak sampai setengah dari seluruh kabupaten/kota di Aceh yang serapan anggarannya di atas 50 persen.

"Bahkan ada daerah yang baru terserap anggaran penanganan dampak Covid-19 sebesar 2,7 persen, yaitu Kabupaten Aceh Timur," sebutnya.

Untuk Pemerintah Aceh sendiri, dari alokasi Rp 2,5 triliun baru terserap sebesar Rp 174,7 miliar, atau hanya sebesar 6,99 persen dari total alokasi. Sebagaimana ketentuan, alokasi anggaran penanganan dampak Covid-19 difokuskan pada tiga kelompok isu, yaitu pemulihan dampak ekonomi, penanganan bidang kesehatan, dan penyediaan Jaring Pengaman Sosial (JPS).

Dari informasi tersebut diketahui, alokasi anggaran penanganan dampak Covid-19 di Pemerintah Aceh terbesar diperuntukan bagi penyediaan JPS, yaitu sebesar Rp 2,3 triliun. Disusul isu kesehatan sebesar Rp 134, 4 miliar ,dan pemulihan ekonomi sebesar Rp 19,6 miliar.

Menurut Hafidh, jika melihat lebih rinci dokumen yang diperolehnya, pada isu pemulihan dampak ekonomi, Pemerintah Aceh memfokuskan pada tiga kegiatan utama. Pertama, kegiatan pengadaan masker untuk 23 kabupaten/kota (penguatan modal usaha pada pelaku UMKM) sebesar Rp 1,5 miliar.

Kedua, kegiatan pengembangan pemanfaatan pekarangan dan pengenalan konsumsi pangan Beragam, Bergizi, Seimbang dan Aman (B2SA) sebesar Rp 8,1 miliar. Ketiga, kegiatan pengadaan ayam petelur dengan alokasi sebesar Rp 10 miliar. Dari ketiga alokasi tersebut baru direalisasikan untuk kegiatan pengadaan masker. Sementara dua kegiatan lainnya per Juli 2020 belum terealisasi sama sekali.

"Melihat fakta ini, kami menilai pemerintah tidak punya strategi dalam penanganan pemulihan dampak ekonomi serta tidak teridentifikasi secara jelas kelompok sasaran yang akan disasar untuk pemulihan dampak ekonomi di Aceh," ungkap Hafidh.

Pada sektor kesehatan, rincian alokasi anggaran difokuskan pada 6 kategori. Dari 6 kategori itu, baru terealisasi pada 3 kategori dengan angka total serapan anggarannya per Juli 2020 hanya sebesar 0,95 persen.

Kondisi ini dinilai sangat mengecewakan, ditambah fakta-fakta banyaknya tenaga medis yang terpapar Covid-19 di Aceh, bahkan telah melumpuhkan layanan kesehatan dari tingkat Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) kabupaten/kota hingga level Puskesmas.

"Banyaknya tenaga medis yang terpapar Covid-19 di Aceh dan lumpuhnya layanan kesehatan ini dapat disimpulkan akibat tidak maksimalnya penanganan sektor kesehatan ini oleh Pemerintah Aceh," sebutnya.

Dengan realisasi tersebut, terang Hafidh, tentu saja Aceh menjadi provinsi terendah realisasi anggaran kesehatan se-Indonesia. Untuk sektor JPS, rincian alokasi anggaran difokuskan kepada 9 program/ kegiatan dengan alokasi anggaran sebesar Rp 2,3 triliun.

Dari total anggaran tersebut, per Juli 2020 baru terealisasi sebesar Rp 171,9 atau sebesar 7,33 persen dari total alokasi. Dari rincian tersebut diketahui pemerintah mengalokasikan anggaran JPS untuk kebutuhan sembako, penyediaan aplikasi bahkan alokasi anggaran untuk instansi vertikal.

"Dari rincian kegiatan tersebut pula, dapat disimpulkan Pemerintah Aceh tidak responsif menjawab permasalahan di lapangan," jelasnya.

Dilatarbelakangi berbagai masalah, bahkan bantuan sembako Pemerintah Aceh sempat ditolak di beberapa wilayah. Fakta ini menunjukkan ketidakmampuan Pemerintah Aceh merencakanan penanganan dampak Covid-19 dengan baik.

Kondisi ini diperparah sikap Pemeritah Aceh yang tidak transparan dalam merencanakan dan mengalokasikan anggaran kebutuhan penanganan dampak Covid-19 di Aceh.

Berdasarkan fakta tersebut Masyarakat Transparansi Aceh mendesak Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota di Aceh untuk segera mempublikasikan rincian program dan anggaran penanganan dampak Covid-19 di Aceh.

Selain untuk menghindari tumpang-tindih dalam penanganan, membuka informasi ini juga untuk memberi ruang kepada masyarakat untuk menyampaikan saran/pendapat dalam penyusunan program, anggaran hingga kelompok sasar dalam penanganan pandemi ini.

"Jika hal ini tak dilakukan, jangan terus menyalahkan masyarakat yang tidak patuh/percaya pada langkah-langkah yang dilakukan pemerintah karena pada kenyataannya pemerintah sendiri yang tidak mau terbuka kepada masyarakat," ujarnya.

(MHD/RZD)

Baca Juga

Rekomendasi