Lestarikan Warisan Leluhur

Pertamina Dorong Petani Aren Lokal Desain Kemasan Premium

Pertamina Dorong Petani Aren Lokal Desain Kemasan Premium
Perwakilan PT Pertamina EP Aset 1 Rantau Field dan petani memamerkan kemasan baru dan gula aren cair. (Analisadaily/Dede Harison)

Analisadaily.com, Aceh - TUK..., tuk,..., tuk..., tuk. Bunyi pukulan itu seolah memecah kabut pagi sebelum hari cerah di ladang pohon aren, sekitar pukul 07.00 WIB. Tampak seorang perajin gula aren sedang mencari bahan baku. Di usianya yang tak muda lagi, dia tanpa ragu memanjat satu persatu pohon enau/aren dengan tangga dari bambu.

Saat dijumpai, dia seperti tengah menjalankan tradisi khusus sebelum “menyadap” aren. Dia memukul batang pohon dan tangan tandan bunga jantan aren sebelum mekar. Kemudian mayang aren diayun beberapa saat layaknya anak bayi. Pukulan pelan dan ayunan selama 10-12 menit itu supaya pori-pori mayang aren terbuka. Bahkan, konon, petani harus mengenakan pakaian jelek, bernyanyi, dan tidak boleh mengganti senjata yang biasa dipakai untuk menyadap.

“Menurut kebiasaanya begitu. Baju yang biasa kita pakai dari awal. Kalau nyanyian itu supaya tidak terlena saat di atas pohon aren. Untuk hilangkan jenuh juga. Yang perlu diingat, parang atau pisaunya memang (harus) itu-itu saja. Kalau berganti, airnya akan berkurang,” tutur Suwali (56) perajin gula aren di Dusun Batu 8, Kampung (desa) Rantau Pauh, Kecamatan Rantau, Aceh Tamiang, itu kepada Analisadailay.com, Sabtu (17/10).

Setelah tandan aren keluar, lanjutnya, mesti dibenahi. Pelepah dibuang, diikat dengan tali dan setelah tiga minggu baru bisa disadap. Ketuk dan ayun dilakukan tiga hari sekali supaya mayang aren tidak terkejut dan runduk ke bawah.

“Untuk awalnya ketuk sekadarnya saja, sekitar 12 kali. Besoknya pukulan ditambah, minimal dilakukan tujuh kali dalam tiga minggu,” jelasnya.

Di Dusun Batu 8, Desa Rantau Pauh, sedikitnya ada 17 kepala keluarga (KK) berprofesi sebagai pembuat gula merah. Mereka aktif tergabung dalam kelompok tani “Mekhgek Betuah”. Artinya: “Aren Beruntung”. Kata itu berasal dari bahasa etnis Tamiang. Masing-masing perajin punya kebun aren sendiri baik di Dusun Batu 8, bahkan luar kampung. Sebagian lainnya ada yang mengurusi aren orang lain dengan sistem bagi hasil.

Produk gula aren cair dan kemasan premiun sudah mulai merambah pasar warkop dan kafe (Analisadaily.com/Dede Harison)
Mereka menyadap aren setiap hari. Pagi hari menampung hasil sadapan. Sorenya mengutip hasil sembari mengganti wadah. Jumlah nira yang dihasilkan untuk setiap pohon variatif. Tergantung ukuran pohon. Umumnya, antara 5-10 liter. Untuk menghasilkan satu kilogram gula merah, sedikitnya dibutuhkan 6 liter nira.

Sebelum nira disadap, diberi obat buah tampo dan kulit manggis untuk mencegah menjadi asam (terfermentasi). Nira dari ladang bisa langsung dimasak. Sampai mengental, dibutuhkan waktu 4-6 jam. Pemasakan itu secara tradisional, menggunakan belanga dan bahan bakar kayu. Untuk satu belanga besar milik Suwali ukuran 28 inci kapasitas 60-70 liter nira, bisa dihasilkan 10 kg gula merah.

“Gula yang sudah masak dikemas menggunakan cetakan bambu di dapur produksi. Pelanggan biasanya datang ke rumah,” ujarnya dan mengakui persediaan gula merah habis setiap hari.

Menurutnya, pembuatan gula merah di Dusun Batu 8 merupakan warisan leluhur. Dia sendiri sudah sekitar 25 tahun menekuni gula aren. Dia dibantu istrinya, Poniah (54). Diakuinya, selama ini kualitas gula merah asal daerahnya bervariasi. Ada yang murni dan campuran. Mereka menjual sesuai permintaan pasar, baik kepada pengepul maupun pembeli eceran. Untuk gula merah campuran, dijual Rp16 ribu/kg dan untuk yang murni Rp20 ribu/kg.

“Sekarang banyak permintaan gula merah campur karena lebih murah. Campurannya menggunakan gula pasir sehingga aroma arennya masih terasa,” ujar bapak dua anak ini.

Suwali mengungkapkan, pandemi Covid-19 juga berdampak terhadap usaha mereka ini. Tapi, mereka memilih bertahan karena pesanan cenderung stabil. Sebelum Covid-19 melanda, pesanan gula merah selalu datang dari orang yang menggelar hajatan. Bahkan, kadang kala, mereka kewalahan memenuhi pesanan yang diterima.

Saat pandemi seperti sekarang, mereka melakukan transaksi melalui telepon. “Karena Covid-19 tidak ada orang menggelar pesta. Paling-paling, dari pelanggan yang membeli untuk oleh-oleh. Gula aren ini ‘kan sekarang sudah menjadi oleh-oleh khas Aceh Tamiang,” tuturnya.

Proses pemasakan gula aren di dapur produksi masih secara tradisional (Analisadaily.com/Dede Harison)
Makin Semangat

Suwali menyatakan, tahun ini, kelompok tani “Mekhgek Betuah” mendapat bantuan peralatan dari program tanggung jawab sosial perusahaan (coporate social responsibility/CSR) PT Pertamina EP Rantau Field. Bantuan itu berupa bibit aren, tungku masak dan bangunan dapur produksi. Belum lama dibina perusahaan migas itu, mereka merasa terbantu, terutama dalam pemasaran, peralatan hingga mendapat bibit aren bantuan cikal bakal stok bahan baku.

“Kami sangat terbantu dan anggota kelompok semakin giat dan semangat. Yang biasanya kebun arennya dibiarkan semak, kini rajin dibersihkan,” jelasnya.

Sekretaris Poktan “Mekhgek Betuah” ini berharap, terbentuknya poktan di bawah binaan Pertamina Ep Field Rantau ini bisa membuat warga dusun lain kian semangat untuk menjadi pembuat gula merah. Saat ini, mereka sudah punya uang kas kelompok dari iuran setiap bulan.

“Saat ini masih 17 orang, kemungkinan akan bertambah lagi. Tapi yang jelas produksi gula merah di sini sudah lumayan tinggi karena rutin dikelola,” tuturnya.

Hal senada diutarakan Ketua Poktan Mekhgek Betuah, Didi Rahmad (41). Sejak mendapat sumbangan CSR Pertamina EP Field Rantau, mereka makin optimis untuk mengembangkan gula aren.

Sebelumnya, poktan sempat vakum. Anggotanya berjalan sendiri-sendiri. Setelah dibentuknya poktan yang baru ini, para anggotanya terlihat kian bersemangat dan rajin ke kebun. Didi pun mengungkapkan salut kepada jajaran Pertamina EP Field Rantau yang menunjukkan keseriusannya dengan selalu mengirimkan utusan setiap ada pertemuan poktan di kampung.

“Masalah kemasan pun sudah dipikirkan Pertamina. Selama ini, kami hanya tahu mencetaknya dengan bambu. Tapi, seiring dibentuknya poktan, muncul kreativitas dan inovasi dengan membuat produk gula merah dikombinasikan menjadi permen,” terangnya.

Gula aren yang sudah dicetak siap untuk dipasarkan (Analisadaily.com/Dede Harison)
Sentra Gula Merah

Didi memaparkan, Poktan “Mekhgek Betuah” terbentuk Juni 2020 atas saran dan dukungan inisiator, Sugiono, yang juga mengarahkan mereka untuk menjalin kontak dengan Pertamina EP Field Rantau.

“Resminya, Juni lalu, melibatkan Pertamina, PPL Dinas Pertanian dan Dinas Koperindag Aceh Tamiang,” ujarnya.

Diterangkannya, produksi gula merah di Batu 8 rata-rata 200 kg/hari dengan dua varian, yakni murni (asli) dan campuran. Terkait pemasaran, sejauh ini para anggota sudah memilki jaringannya masing-masing. Kebetulan, bendahara Poktan “Mekhgek Betuah” merupakan pengepul gula merah. Selain memenuhi kebutuhan lokal, gula merah dari dusun ini juga dipasarkan hingga Aceh Utara dan Kota Lhokseumawe.

Disampaikannya, poktan yang dipimpinnya akan fokus memproduksi gula merah murni dan gula semut yang tengah tren sekarang. Ini sesuai bimbingan Pertamina EP Rantau Field yang juga sudah menyiapkan kemasan sesuai selera pasar. Walau demikian, bila konsumen tetap meminati gula merah campuran, pihaknya akan tetap memproduksinya.

Ke depan, lanjut Didi, Poktan “Mekhgek Betuah” mendambakan balai pertemuan untuk kelompok, baik bantuan dari Pertamina maupun pemda. Ini untuk mewujudkan impian mereka: Dusun Batu 8 menjadi sentra gula merah di Aceh Tamiang.

Insyaalah. Itu mimpi kami. Kami optimis bisa tercapai,” ujarnya.

Petani memukul batang dan janjang bunga jantan aren sebelum masa disadap (Analisadaily.com/Dede Harison)
Pendamping Poktan “Mekhgek Betuah” dari Pertamina EP Rantau Field, Fahmi Al Faruk, Jumat (23/10), mengatakan, pihaknya termotivasi mendampingi pata petani ini karena potensi produk gula merah di Dusun Batu 8 cukup bagus. Lokasinya juga dekat dengan Kantor Pusat Pertamina EP Rantau, sehingga bisa optimal dalam memberikan pendampingan.

Disampaikan, komunitas perajin gula aren di dusun ini merupakan warisan yang harus dilestarikan. Pada tahap awal, Pertamina membantu 200 bibit pohon aren dan manggis, tungku baja sebanyak 17 unit dan bangunan dapur produksi.

Bantuan itu berasal dari program CSR 2020. Staf CSR Pertamina menggandeng tenaga penyuluh pertanian setempat untuk mendampingi petani aren. Ke depan, Pertamina akan membantu membuat kemasan gula merah lebih menarik yang disesuaikan dengan era kekinian.

“Jadi hal pertama yang akan menjadi fokus kami adalah kemasan. Desainernya juga dari lokal,” ucapnya.

Pasar Lebih Luas

Fahmi menyatakan, sekarang banyak warung kopi menggunakan gula merah untuk campuran minuman. Mereka menangkap peluang itu. Poktan kemudian memproduksi gula merah cair dalam kemasan botol.

Di sisi lain, diakuinya, selama ini ada produk gula merah campuran. Pihaknya tidak bisa mencegah karena itu permintaan pasar. Meski demikian, pihaknya juga mendorong produk gula merah murni. Target pasar produk ini adalah kalangan menengah atas yang biasanya tidak mempermasalahkan harga jual selama kualitasnya terjamin.

“Kami memang menuju produksi gula merah murni. Produk itu dalam kemasan premium. Petani juga setuju. Segmen pasar ini tadinya belum digarap karena perajin hanya memenuhi segmen pasar dengan harga lebih murah. Kalaupun menjual gula merah murni, tidak ada permintaan pasar. Sekarang, kita akan menggarap segmen pasar lebih luas dengan produk gula aren murni,” ungkapnya.

Disampaikannya, gula merah murni itu ditargetkan bisa dipasarkan lewat supermarket. Di samping itu, juga berusaha melirik pangsa pasar gula semut yang selama ini dipenuhi dari hasil impor.

“Bila kami bisa memproduksi gula semut, mungkin juga salah satu pasar yang bisa kami garap, ya pasar dari impor itu. Tapi, fokus tahun ini adalah pemasaran lewat warkop dan kafe dulu,” jelasnya.

Fahmi menambahkan, gula aren asal Dusun Batu 8 sudah pernah dipamerkan di galeri “Ajang Ambe” Pertamina bersama produk-produk khas Aceh Tamiang lain. Selain itu, juga dijual di toko serba ada Golden Mart di Kompleks Perumahan Pertamina Rantau yang didirikan selama masa PSBB Covid-19.

Petani mengerek wadah ke atas untuk menampung air nira (Analisadaily.com/Dede Harison)
Terpisah, Field Manager (FM) Aset I Pertamina EP Rantau Field, Totok Parafianto melalui Staf CSR, Arsy Rakhmanissazly mengatakan, program gula aren baru dilaksanakan tahun ini karena selama pandemi Covid-19 petani sempat mengalami kesulitan mendistribusikan hasil produksinya karena adanya pembatasan sosial.

“Kami juga membantu pengemasan leih premium agar menaikkan pangsa pasar. Jadi, produknya bukan hanya gula aren mentah, tapi juga yang setengah jadi yang bisa langsung dikonsumsi. Kita juga membantu memasarkannya, dan saat ini ada beberapa warkop di Aceh Tamiang sudah pernah pesan,” terangnya.

Menurutnya, gula aren setengah jadi saat ini tengah tren di kalangan milenial dan pengunjung warkop yang gemar minum kopi dicampur gula merah. Tahun ini, program CSR Pertamina EP Field Rantau Field bertambah dua program, yakni pemberdayaan Posyandu Kenari di Kebun Rantau dan gula aren di Dusun Batu 8, Rantau Pauh.

Selain itu, ada pelatihan teknik kelompok disabilitas dan penyulingan serai wangi di Tampur Paloh, Aceh Timur. Produk serai wangi asal Tampur Paloh ini telah dieksperimen dijadikan pencuci tangan (hand sanitizer) oleh kader Posyandu Kenari.

“Untuk tahun ini karena keterbatasan anggaran akibat Covid-19 kita fokus di dua program dulu, yaitu mendampingi Posyandu Kenari dan kelompok tani aren Mekhgek Betuah,” pungkas Arsy Rakhmanissazly.

Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba AJP 2020

Penulis:  Dede Harison
Editor:  Reza Perdana

Baca Juga

Rekomendasi