Kemenyan Menghadapi Tantangan Krisis

Kemenyan Menghadapi Tantangan Krisis
Diseminasi Hasil Riset – Penelitian Kontribusi Hasil Hutan Bukan Kayu Terhadap Mata Pencaharian Masyarakat di 4 Desa di Tapanuli Utara yang digelar Green Justice Indonesia (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Tapanuli Utara -Salah satu dari sekian banyak Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK), Kemenyan menjadi komoditas penting bagi masyarakat khususnya di Tapanuli, Sumatera Utara (Sumut). Kemenyan juga memiliki tantangan, diantaranya ditinggalkan hingga diganti pisang.

Temuan tersebut menjadi titik awal untuk mulai lebih serius, mengingat tantangan lebih besar yakni krisis pangan, air, dan energi sudah di depan mata. Hal itu terungkap saat Diseminasi Hasil Riset – Penelitian Kontribusi Hasil Hutan Bukan Kayu Terhadap Mata Pencaharian Masyarakat di 4 Desa di Tapanuli Utara yang digelar Green Justice Indonesia.

Akademisi Universitas Sumatera Utara (USU) yang melakukan penelitian, Hendri Sitorus mengatakan, penelitian ini dilakukan di Desa Simardangiang, Pangurdotan, Pantis, Kecamatan Pahae Julu, dan Dusun Hopong, Desa Dolok Sanggul, Kecamatan Simangumban, Tapanuli Utara.

Dikatakan Hendri, tujuan riset untuk memetakan apa saja HHBK yang sedang diakses oleh masyarakat, yaitu tentang pola pemanfaatannya kemudian nilai ekonominya. Dalam riset itu menemukan kemenyan menjadi prioritas, di mana ada 3 desa yang masyarakatnya cukup bergantung di atas 50 persen ekonominya dari hasil kemenyan, yaitu Simardangiang, Pangordotan dan Pantis.

“Sementara di Dusun Hopong itu sudah meninggalkan kemenyan karena mereka sudah konversi ke pisang,” kata Hendri, Selasa (11/7).

Hendri menerangkan hasil riset HHBK di 4 desa di Tapanuli Utara. Dari aspek produksi, masyarakat sudah memiliki akses terhadap tanah walaupun berstatus hutan. Hal tersebut belum terlalu terjamin karena belum ada perizinan.

“Masyarakat selama ini menganggap bahwa itu wilayah adat mereka. Wilayah kelola mereka sebetulnya ada potensi konflik kepentingan livelyhood masyarakat dengan hutan lindung. Sebetulnya masyarakat boleh untuk mengambil HHBK,” sebutnya.

Aspek produksi lainnya adalah untuk mendapatkan 1 Kilogram (Kg) mereka harus membersihkan, menderes, membuat lubang keluarnya getah kemenyan, bahwa harus dilakukan dengan memanjat sekitar 10 pohon per hari, hasilnya baru bisa dipanen 6 bulan kemudian.

Ada bulan-bulan tertentu yang tidak stabil produksinya, dan ini menjadi tantangan bagi petaninya. Untuk mendapatkan 1 Kg mereka harus 10 kali manjat berapa meter, dan mereka harus tinggal di hutan beberapa hari.

“Itu menjadi tantangan tersendiri. Kemudian tidak adanya harapan petani terhadap harga. Petani merasa itu belum menguntungkan, tapi tidak ada pilihan juga,” sebutnya.

Kemenyan
Dari segi harga, harapan petani itu lebih tinggi karena sulitnya memanen, sehingga semestinya dihargai lebih mahal. Saat ini harga kemenyan untuk kualitas grade 1 sekitar Rp 300.000 per Kg, sementara yang paling rendah Rp 80.000 per Kg.

“Ada persoalan tidak transparansinya harga kemenyan. Petani itu tidak tahu harga di nasional berapa dari survei ini, mereka hanya tahu itu dari pengepul lokal. Transparansi harga merupakan faktor penting, karena selama ini petani hanya bermain di level bahan baku mentah,” ujarnya.

Hendri menyebut, dalam riset ini pihaknya menemukan di Dusun Hopong petani sudah mengganti kemenyan menjadi pisang. Pilihan tersebut diambil karena faktor ekonomi, rasionalitas, dan analisa risiko, yaitu bisa jatuh saat bekerja.

“Pisang lebih jelas harganya. Tapi sama aja, masih di wilayah hutan juga, cuma itu bukan HHBK, karena sudah dikultivasi, sudah ditanam, artinya monokultur juga,” ucapnya.

Salah satu solusi dari masalah ini adalah membuka market dan koperasi. Kemudian masyarakat diberdayakan menjadi pengumpul, membangun jaringan. Misalnya bersama pendamping dengan melacak berapa kebutuhan kemenyan untuk Gereja Katolik.

“Petani juga butuh capacity building terkait dengan standar transaksi nasional SNI kemenyan, ssehingga tidak bergantung kepada pengumpul. Ada posisi tawar dengan pengetahuan,” ucapnya.

Wakil Bupati Tapanuli Utara, Sarlandi Hutabarat mengatakan, kemenyan merupakan komoditas yang penting bagi peningkatan ekonomi masyarakat. Persoalan saat ini bagaimana menumbuhkembangkan petani kemenyan.

“Mudah-mudahan pertemuan ini menjadi strategi untuk membantu petani kemenyan. Secara regulasi, ini harusnya nasional, tidak bisa lokal,” ujarnya.

Pemerhati Masyarakat Adat, Abdon Nababan mengatakan, yang harus dipersiapkan adalah menghadapi tantangan, karena sebagai daerah yang kaya sumber daya alam, secara iklim cocok menjadi pertanian. Tapi secara tanah, karena tipis, maka program yang harus dibangun adalah mengembangkan gerakan kompos, karena bahannya ada.

Menurut Abdon, riset ini tidak boleh hanya berhenti di 4 desa, tetapi ditingkatkan ke lingkup yang lebih luas. Jika sumber air akan semakin langka dan akan menjadi sumber perang di masa depan, dan daerah ini bisa menjadi target, apalagi ada Danau Toba.

“Daerah ini kaya dengan energi terbarukan, ini akan menjadi tempat yang diperebutkan. Dengan situasi seperti itu, maka kepastian hak rakyat menjadi sangat penting. Karena hanya hukum yang bisa melindungi,” bebernya.

Kemenyan
Abdon juga berpandangan, hasil riset ini masih sempit, namun bisa menjadi sumber inspirasi untuk melihat lebih besar. Dari 4 desa, dinaikkan levelnya menjadi 4 pembelajaran, sebagai knowledge untuk memikirkan bagaimana mengelola ekosistem Batang Toru.

“Secara metodologi sudah oke, tapi itu hanya HHBK yang eksisting, memberikan kontribusi kepada ekonomi. Belum yang potensial,” ucapnya.

Direktur Green Justice Indonesia, Dana Prima Tarigan mengatakan, pihaknya sudah mendampingi masyarakat Simardangiang, Pantis, Pangurdotan, dan Hopong selama 3 tahun untuk memperkuat perekonomian masyarakat dan sekaligus melindungi hutan.

“Ini acara kita yang kedua dengan Pemkab Tapanuli Utara. Pertama dulu launching buku dilanjut dengan pesta Parung-Parung, dan kali ini kita maju selangkah untuk melakukan survei atau riset tentang HHBK,” katanya.

Dana menuturkan, riset ini untuk memetakan HHBK apa saja yang dikelola dan belum dikelola secara maksimal. Hasil riset ini menjadi pengetahuan yang ditindaklanjuti dengan Pemkab Tapanuli Utara nantinya.

“Kami juga mempersiapkan bersama Kepala Desa Simarjangiang dan 3 desa lain mendorong sentra pembibitan kemenyan dan HHBK lainnya,” pungkas Dana.

(REL/RZD)

Baca Juga

Rekomendasi