Trubus Soedarsono, Seniman Tanpa Batu Nisan

Oleh: Dr. Priyatno, M.Sn

PELUKIS Trubus Soedarsono, tidak sama dengan penyair Wiji Tukul, namun akhir dari riwayat hidup mereka sama. Mereka sama-sama menjadi korban prahara politik. Semuanya akibat pertentangan ideologi, mereka pergi dan tak pernah kembali lagi ke rumah. Diperkirakan pelukis Trubus telah tewas pada tahun 1966 setelah badai politik menerjang dan memporakporandakan negeri ribuan pulau ini.

Penyair Wiji Tukul diperkirakan, tewas menjelang runtuhnya Orde Baru 1998. Keduanya pergi tanpa pesan dan tanpa batu nisan. Hari ini, mereka tidak diketahui dimana dikuburkan. 

Pelukis Trubus tidak menciptakan lukisan-lukisan bermuatan politik dan protes sosial. Berbeda dengan  penyair Wiji Tukul, syair-syairnya kuat dengan protes sosial. Pelukis Trubus, pelukis dan pematung. Karya-karyanya kebanyakan berupa lukisan penari Bali dan gadis berkebaya. Bahkan patung-patung buatannya berupa patung pahlawan yang dipajang di sejumlah kota. Salah satu karya patungnya dalah patung Jenderal Oerip Soemohardjo di Magelang.

Lukisan-lukisannya sangat disukai oleh sang Proklamator. Banyak karyanya yang menghiasi dinding istana. Dalam dokumentasi istana kepresidenan, banyak terdapat lukisan-lukisan karya Trubus.

Adapun Wiji Tukul terkenal dengan syair-syair protes sosialnya yang mampu menggerakan masa. Di antara syair-syairnya, untaian kata-kata yang terkenal; “Apa artinya membaca ribuan buku, jika mulutmu bungkam.”

Untaian kata ini menjadi sindiran untuk kalangan akademisi yang hanya belajar, tapi tidak peduli dengan permasalahan bangsa dan negaranya. Kalimat terkenal lainnya; “Hanya satu kata, lawan!”

Para demonstran sering menuliskannya di spanduk-spanduk saat demonstrasi. Bait-bait kalimat dalam syair Wiji Tukul sangat bertenaga, mampu menggerakkan masa. 

Pelukis Trubus lahir di Yogyakarta, 23 April 1926. Dia seorang seniman berjiwa patriot, orang yang sangat mencintai bangsa dan negaranya. Seperti pelukis Sudjojono, Trubus terpanggil untuk aktif dalam dunia politik. Sudjojono dan Trubus aktif dalam partai politik terbesar pada masa itu, yaitu Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai ini kemudian menjadi partai yang dilarang pemerintah pada masa Orde Baru. Trubus pernah menjabat sebagai anggota DPRD di Daerah Istimewa Yogyakarta. 

Trubus seorang otodidak, sekolah formalnya tidak sampai tamat Sekolah Dasar. Dia orang yang sangat cemerlang. Dia cerdas dengan banyak kemahiran seni, dia seorang seniman multitalenta. Lahir dari keluarga petani sederhana, Trubus menimba ilmu dan mencari pengalaman di Yogyakarta dan kota-kota besar lainnya secara mandiri. 

Seniman yang dikenal pandai mendalang, membuat topeng dan ukiran ini, belajar melalui pergaulan dengan para seniman hebat negeri ini. Dia berkunjung dan belajar seni pada pelukis Affandi dan Sudjojono.

Trubus seniman dengan banyak pengalaman, terlibat dalam sejumlah pembuatan patung monumental seperti Patung Selamat Datang di Jakarta yang dirancang Edi Soenarso dan Henk Ngantung. Setelah petualangannya di berbagai kota, termasuk kota-kota di manca negara. Trubus pernah dikirim untuk misi kebudayaan oleh Ir. Sokarno. Dia mengunjungi sejumlah negara Eropa.

Trubus mendirikan sanggar dan pusat aktivitas seni di Sleman Yogyakarta. Di tempat inilah dia banyak menciptakan karya seni dan memberi ilmu kepada seniman-seniman muda yang berguru kapadanya.

Aktivitas keseniannya terhenti begitu saja pada September 1966. Trubus yang dikenal aktif dalam kegiatan Pelukis Rakyat dan Lembaga Kebudajaan Rakyat (Lekra) di bawah Partai Komunis Indonesia, hilang dan tak pernah diketahui keberadaannya. Hari ini keluarganya tidak pernah tahu dimana dia berada, diperkirakan dia telah tiada. Dia seorang seniman yang kematiannya tanpa ditandai batu nisan.

Penulis; dosen pendidikan seni rupa FBS Unimed dan Pengelola Pusat Dokumentasi Seni Rupa Sumatera Utara

()

Baca Juga

Rekomendasi