Pengarang Sastra Peranakan Terkemuka 1920-an

OLEH sinolog Leo Suryadinata, Soe Lie Piet alias Salam Sutrawan dikategorikan sebagai salah satu pengarang sastra peranakan Tionghoa terkemuka yang menulis pasca-Perang Dunia I, terutama pada 1920-an dan 1930-an.

Periode ini disebut sebagai masa keemasan bagi kesusastraan peranakan yang ditandai dengan terbitnya beberapa majalah sastra, di antaranya yang terpenting Penghidoepan dan Tjerita Roman (Leo Suryadinata: 1992; 2016).

Para penulis sastra peranakan Tionghoa ternama yang menerbit­kan karyanya pada masa itu, menurut Leo Suryadinata (2016) antara lain Tjoe Bou San (nama samaran Houw San Liang, 1891-1925), Kwee Tek Hoay (1886-1951), Soe Lie Piet (1904-1988), Liem Khing Hoo (nama samaran Romano, 1900-1942), Pouw Kioe An (1906-1981), Ong Ping Lok (1903-1978), Njoo Cheong Seng (1902-1962), dan Tan Tek Ho (1894-1948).

Roman Bidadari Dari Telaga Toba diterbitkan majalah Tjerita Roman edisi Mei 1934. Majalah ini pertama kali terbit di Malang pada Desember 1929 (John Maxwell: 2001). Soe Lie Piet yang menikah dengan Nio Hoe An adalah orangtua dari tokoh demonstran 66 Soe Hok Djin (Arief Budiman) dan adiknya Soe Hok Gie.

Arief Budiman dikenal sebagai tokoh oposisi kritis selama masa orde baru. Ia salah satu arsitek gerakan golput, tokoh anti-Taman Mini, juga penggagas sastra kontekstual bersama Ariel Heryan­to. Sementara Hok Gie dikenal sebagai aktivis pemikir yang tulisannya, dalam istilah Stanley dan Aris Santoso, editor buku Zamn Peralihan, tajam, menggigit dan sering kali sinis membuat rasa kemanusiaan setiap pembacanya seperti dirobek-robek.

Hok Gie salah satu tokoh kunci dalam sejarah munculnya Angkatan 1966 yang ikut memberi andil lahirnya orba, tapi Hok Gie juga pengritik paling keras saat orba yang ikut didirikannya, dianggap mulai menyeleweng seperti orde sebelumnya.

Soe Lie Piet lahir di Batavia (Jakarta) 1904, pada 1920 setelah sistem pas perjalanan ke luar kota untuk orang Tionghoa dihapuskan Pemerintah Kolonial Belanda, ia meninggalkan Jakarta menuju ke Sumatera, bekerja di koran Tjin Po, Medan.

Tjin Po adalah surat kabar Melayu-Tionghoa yang terbit pada 1925, dipimpin Tjia Eng Hoa, bekas pemimpin redaksi koran Pelita Andalas. Pada 1927 Tjin Po dipimpin Tan Tek Bie asal Padang (Mohammad Said:1976). Nama Soe Lie Piet tak pernah muncul dalam daftar redaksi, menurut Leo Suryadinata (John Maxwrll: 2001), hal itu dapat dipastikan karena ia diterima di Tjin Po sebagai staf junior yang merupakan pekerjaan pertamanya di surat kabar.

Menjelang akhir 1926, Soe Lie Piet pindah ke Palembang dan ditunjuk sebagai wakil editor di koran peranakan yang terbit dua mingguan, Han Po. Tetapi April 1927 ia kembali ke Batavia. Pada 1928 -1929, Soe Lie Piet menjadi editor majalah sastra bulanan peranakan Penghidoepan di Surabaya, lalu Tjerita Roman.

Pada 1920-an, majalah kesastra­an peranakan memang tumbuh subur di mana-mana. Majalah kesastraan ini di antaranya adalah Boelan Poernama (Semarang, Juni 1929-Desember 1929), Doenia Tjerita (Bandung, 1934), Cie Hiap (Tasimalaya, 1937), Goedang Tjerita (Bandung, 1930-1936?), Kiam Hiap Mouthly Magazine (Tasikmalaya, 1931), Moestika Panorama (Batavia, 1930), Pelita Penghidoepan (Ban­dung, 1930), Padang Boelan (Pare, Kediri, 1924), Penghidoepan ( Surabaya, 1925-1942), Semangat (Pare, Kediri, 1930), Semangat Silat (1938, Jombang), Senang (1924, Suraba­ya), Siauw Swat (1933, Pare Kediri), Sunrise (1931, Batavia), Taman Tjerita (1936, Yogyakarta), Tjerita Baroe (1924, Pare Kediri), Tjerita Roman (1929-1933, Suraba­ya), dan lainnya.

Majalah-majalah tersebut merupakan majalah kesastraan baik untuk terjemahan, cerita silat, atau karya asli dari para pengarang peranakan Tionghoa yang didasar­kan atas realitas di sekitar mereka sebagai sumber penulisannya. (Dwi Susanto: 2016).

Majalah sastra ini menjadi lahan berkarya penulis-penulis Tionghoa peranakan. Soe Lie Piet sepanjang hidupnya, ia meninggal 1988, telah menulis puluhan novel dan artikel. Di antaranya: Takdir (Penghi­doepan, Maret 1929), Oelar Jang Tjantik (Penghidoepan, Mei-Juni 1929), Kisikannja Allah (Tjerita Novel, Agustus 1930), Bandoeng di Waktoe Malem (Goedang Tjerita, Januari 1931), Tjinta Atawa Kewadjiban (Sunrise, Desember 1931), Pembalesannja Seorang Miskin (Terita Toman Juli 1934), Dalem Tejengkraman Iblis, Silat Roman (1934), Bidadari Dari Telaga Toba (Tjerita Roman, Mei 1934), Lejak (Tjerita Roman, April 1935), dsb.

Menurut Nio Joe Lan: 2013), masa keemasan sastra Melayu-Tionghoa berakhir pada 1942, tepatnya setelah penjajahan Jepang. Namun Soe Lie Piet ternyata masih menerbitkan beberapa karyanya setelah tahun tersebut. Di antara Njanjian dari Sorga (1948), Nona dengan Kembang Sedep Malem (1948), Pengadilan Tinggi di Acherat (1948), Ichlas Berkorban (1948), Bidadari Kembang (1948), Dewi Kintamani (1954), Pengantar ke Bali (1954). (Fatya Permata Anbiya: 2008).

Pada 1951 Soe Lie Piet menjadi redaksi harian Sedar di Jakarta yang hanya terbit setahun. Soe Lie Piet lalu bekerja di sebuah bank. Pada 1960 ia menghabiskan waktunya menerbitkan berbagai buku tentang astrologi, teologi, dan mistik (Benny G Setiono: 2003). (J Anto)

()

Baca Juga

Rekomendasi