KPU dan Bawaslu Diminta Tindak Tegas Pelaku Politisasi Agama

kpu-dan-bawaslu-diminta-tindak-tegas-pelaku-politisasi-agama

Analisadaily (Jakarta) - Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) diminta tegas menindak pelaku politisasi agama. Termasuk para politisi yang menjadikan tempat ibadah sebagai tempat kampanye politik mereka.

Hal itu dikatakan anggota Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, Romo Benny Susetyo, saat berdiskusi bertema ‘Pilpres dan Politisasi Simbol Agama’, di kawasan Cikini, Jakarta Pusat.

Hadir pula dalam diskusi itu Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Pemuda Muhamadiyah, Dzul Fikar Ahmad; Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia (Lakpesdam) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Rumadi Ahmad; serta Pengamat Politik dan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin.

"Ketegasan penting, karena selama KPU dan Bawaslu tidak tegas, maka kita akan menghancurkan masa depan kita, yaitu apa yang disebut dalam sila ketiga Pancasila, Persatuan Indonesia," sebut Romo Benny, Kamis (4/4).

Romo Benny menjelaskan, Politisasi simbol agama tidak hanya terjadi di Indonesia. Namun Indonesia kini sedang berada dalam posisi tokoh agama yang lebih kuat dari tokoh politik. Sehingga simbol-simbol agama digunakan secara praktis untuk meningkatkan popularitas dan tentunya elektabilitas.

"Sekarang, terjadi politik pembelahan, sehingga secara ideologis terjadi pemecehan. Sekarang antar pertemanan jadi konflik gara-gara agama digunakan sebagai alat politik. Ini berbahaya," terangnya.

Yang penting sekarang, kata Romo Benny, bagaimana media mencoba mengajak masyarakat untuk memiliki budaya kririts. Bagaimana media mendidik masyarakat tidak lagi menggunakan politisasi agama, serta tidak memberi ruang bagi politisasi simbol agama.

"Berani tidak media massa tidak ekspos isu agama. Kemudian harus ada literasi media, terutama medsos. Sekarang orang tanpa data bisa menuduh orang lain. Agama itu urusan personal, urusannya dengan tuhan, tidak ada urusan dengan politik," tukasnya.

Lebih lanjut Romo Benny menyebut, beragama yang otentik adalah beragama yang jadi inspirasi dalam tata kelola kehidupan. Semakin orang beragama, harusnya semakin tawadu dan memilki kerendahan hati. Bukan justru mengksploitasi agama.

"Agama bukan jadi alat untuk menyerang lawan politik dan menghancurkan karakter. Karena kalau begitu yang rugi publik. Hati-hati, ketika agama jadi aspirasi untuk kepentingan kekuasaan, maka dia jadi alat untuk menghancurkan peradaban," tegasnya.

Bagaimana kita keluar dari situasi yang tidak nyaman ini, menurut Romo Benny, hanya mungkin kalau media massa melakukan pertaubatan. Media massa harus jadi tempat pertarungan ide gagasan, bukan untuk merusak karakter personal.

"Kita saat ini memasuki propaganda. Propaganda apa itu? Agama. Propaganda terjadi ketika kompetisi tidak seimbang, calon merasa dirinya tidak mampu, tidak punya program, atau rencana kerja. Yang paling mudah mengaduk emosi adalah agama. Jadi kita harus hati-hati," pungkasnya.

Sekretaris Jenderal Pengurus Pusat Pemuda Muhamadiyah, Dzul Fikar Ahmad menyebutkan, politisasi agama memang menjadi hangat saat ini. Tentu elemen masyarakat menjadi hati-hati terhadap kondisi ini.

Sebenarnya, ucapnya, politik harus jadi ekspresi pemikiran, tidak boleh dibawa jadi ekspresi perasaan. Karena dibawa ke ekspresi pemikiran yang lahir adalah narasi dan gagasan. Kalau dibawa ke ruang emosi justru akan melahirkan emosi.

"Ruang politik harus jadi ruang ekspresi pemikrian, bukan perasaan. Kalau jadi ruang perasaan, politik tidak beda dengan yang digambarkan dalam film Dilan," jelasnya.

Paska reformasi harusnya politik tumbuh jadi peradaban, lahir dari pemikiran. Namun yang membuat kenapa simbolisasi agama jadi sedemikian marak, karena ruang politik kita digiring ke ekspresi perasaan.

"Kenapa politik penting dibawa ke ruang ekspresi pemikiran, supaya politik betul-betul tujuan akhirnya pada kemanusiaan, sehingga kita bisa menekan pragmatisme dalam politik. Bahwa di dunia manapun, peradaban yang maju akan selalu menjajah perdaban yang lemah. Kita beraharap politik kita ke arah perdaban maju," pungkasnya.

Ketua Lakpesdam PBNU, Rumadi Ahmad mengatakan, ada dua istilah yang kini kerap digunakan terkait politik dan agama. Yakni politisasi agama dan agamanisasi politik.

Politisasi agama kurang lebih sering dipakai sebagai penggunaan agama sebagai instrument untuk dapat kekuasaan politik. Bukan hanya itu, tapi di dalamnya ada unsur pemutalakan agama sebagai alat untuk mendapat kekuasaan polkitik.

Ini akan beramplikasi pada agamanisasi politik. Yang akan dimunculkan dari proses itu adalah menjadikan pilihan politik seperti pilihan keagamaan. Politik seperti surga dan neraka, pahala dan dosa, jalan terang dan gelap.

"Politisasi agama dan agamanisasi politik dua hal yang sama buruknya," sebut Rumadi.

Rumadi menegaskan, sejak awal Islam tidak bisa dilepaskan dari politik. Bahkan persoalan Islam dan politik sudah ada sejak era Nabi Muhammad.

"Suatu saat Nabi (Muhammad) duduk di Masjidil Haram lalu Ada orang menunjuk kepada Nabi, ini loh ada yang memproklamirkan diri sebagai orang yang akan menggulingkan kekuasaan romawi. Padahal saat itu, kekuasaan Romawi nyaris tidak terbayangkan akan digulingkan. Ini menunjukkan persoalan politik dan Islam sudah muncul," ungkapnya.

Lalu apa yang sebenarnya menjadi masalah dari politisasi agama? Pertama, masalah terkait dengan pelucutan agama dari aspek substansi, agama hanya dilihat simbol-simbolnya. Ketika agama hanya jadi persoalan simbolik dan emosi, inilah yang kemudian membawa orang pada pertikaian. Dia lupa pada substansi agama. Kalau orang ingat dengan ajaran moral agama, tidak akan sulit memberikan pemahaman.

"Itu yang sekarang terjadi di Indonesia. Politisasi agama akan jadi bahaya kalau agama dilucuti dari aspek substansinya, ajaran moral dilucuti, yang tersisa aspek simbolik dan emosi," tukasnya.

Kedua adalah pemutlakan agama di dalam perjuangan politik. Tidak mungkin orang Indonesia atau orang Islam melepaskan agama dari politik atau sebaliknya. Karena perkembangan Islam di nusantara tidak pernah lepas dari politik.

"Politisasi agama sudah bisa kita lihat, bahkan sekarang sudah cenderung agamanisasi politik. Kalau orang terjatuh pada agamanisasi politik, maka pilihan orang pada capres A atau B bukan lagi urusan politik duniawi, tapi sudah jadi urusan surga dan neraka, jalan sesat atau terang," tambahnya.

Pengamat Politik dan Direktur Eksekutif Indonesia Political Review (IPR), Ujang Komarudin menuturkan, menjadikan agama sebagai ideologi politik adalah hal yang lumrah. Sah dan Boleh.

Akan tetapi ketika agama dijadikan alat legitimasi politik, tentunya akan menjadi masalah. Seperti yang terjadi sekarang ini. Untuk itu agama harus didudukan secara benar.

"Problemnya pemahaman masyarakat tentang agama, hanya sedikit umat yang bisa membaca kitab suci, ini jadi masalah. Kedua, kalau membaca saja hanya sedikit, apalagi memahaminya. Wajar kalau pola pikir kita yang keliru digunakan pihak tertentu untuk melegitimasi politik. Ketika agama dijadikan simbol, itu akan berbahaya," tuturnya.

Ujang menyatakan kesedihannya, kenapa agama dibenturkan dengan politik. Apalagi agama jadi alat untuk legitimasi politik.

"Agama apapun tidak salah, agama jadi kekuatan, bahwa bekerja itu ibadah, politik juga ibadah, tapi manusianya mengalami penyempitan dalam cara berpikir, ini jadi persoalan" tambahnya.

Solusinya, kata Ujang, adalah media harus memberikan kesadaran kepada masyarakat yang belum melek secara politik. Jika agama digunakan sebagai alat legitimasi politik, sesungguhnya masyarakat yang harus memilah.

"Media harus giat melakukan itu. Media ikut bertanggungjawab atas kondisi yang terjadi saat ini," tandasnya.

(REL)

Baca Juga

Rekomendasi