Evaluasi Program Food Estate

KontraS Sumut: Bukan Hasilkan Ketahanan Pangan, Tapi Konflik Berkepanjangan

KontraS Sumut: Bukan Hasilkan Ketahanan Pangan, Tapi Konflik Berkepanjangan
Ilustrasi. Areal food estate di Kabupaten Humbang Hasundutan (Analisadaily/Istimewa)

Analisadaily.com, Pollung - Sejak diresmikan oleh Presiden Joko Widodo pada 27 Oktober 2020, tercatat sudah empat bulan proyek lumbung pangan atau food estate berjalan di Sumatera Utara.

Desa Riaria, Kecamatan Pollung, Kabupaten Humbang Hasundutan, dipilih menjadi areal percontohan dengan komoditas tanam meliputi bawang merah, bawang putih dan kentang. Per Januari 2021 sebagian areal food estate bahkan sudah memasuki masa panen.

Berdasarkan monitoring KontraS Sumatera Utara, proyek pembangunan food estate difokuskan pada areal super prioritas seluas 1.000 hektare yang terbagi dalam dua skema anggaran yaitu APBN seluas 215 hektare dan investor seluas 785 hektare.

Skema APBN dikelola oleh Ditjen Holtikultura (200 Hektare) dan Badan Litbang Pertanian (15 Hektare). Sedangkan dari skema investor dikelola oleh PT. Indofood (310 Hektare), PT. Champ (250 Hektare), PT. Calbee Wings (200 Hektar) dan gabungan empat perusahaan lain (25 Hektare) .

Staf Informasi dan Dokumentasi KontraS, Adinda Zahra Noviyanti mengatakan bahwa hingga akhir Februari 2021, proyek food estate masih dilakukan di areal seluas 215 hektare. Lokasinya di Dusun IV Desa Riaria. Secara status, lahan tersebut merupakan hak milik 174 masyarakat yang terdiri dari tujuh kelompok tani.

"Lokasi ini sudah dikeluarkan dari kawasan hutan sejak tahun 1979, sehingga sudah bersertifikat hak milik. Pembagian sertifikat dilakukan saat kedatangan Presiden bulan Oktober 2020 lalu," kata Adinda, Senin (1/3).

Meskipun secara administrasi masyarakat merupakan pemilik lahan, namun segala hal yang menyangkut lahan, pengambilan keputusan dan proses pengelolaan tanaman harus menyesuaikan dengan skema food estate. Mulai dari jenis tanaman, sumber bibit, pupuk, hingga peyaluran hasil panen telah ditentukan dari Kementerian Pertanian ataupun Pemerintah Kabupaten.

"Masyarakat tidak bisa mengambil kebijakan sendiri, bahkan koperasi yang nantinya dibentuk untuk distribusi hasil panen pun adalah orang yang ditunjuk oleh Pemkab," ujar Adinda.

Kementerian Pertanian mengucurkan dana 30 miliar untuk tahun anggaran 2020. Dana pengembangan untuk setiap hektarnya mencapai 9 sampai 10 juta. Alokasinya untuk membuat bedengan, perawatan hingga distribusi panen yang disetor melalui kelompok tani. Jumlah tersebut tidak termasuk bibit, pupuk, dan fasilitas lain seperti bentor pengangkut dan selang air yang telah disediakan.

Timbulkan Polemik

Sementara itu Koordinator KontraS Sumatera Utara, Amin Multazam menuturkan, dalam kacamata KontraS, proyek food estate di Sumatera Utara masih menuai banyak persoalan.

"Jika tidak disikapi secara bijak, agenda Proyek Strategis Nasional ini justru potensial menghadirkan konflik berkepanjangan," tuturnya.

Menurut Amin, persoalan mendasar adalah terkait penerimaan masyarakat dalam memandang pembangunan food estate di Desa Riaria misalnya, sekalipun masyarakat dengan senang hati menyambut kebijakan tersebut, namun tetap saja potensi lahirnya persoalan baru sangat besar.

Sebut saja soal penentuan tapal batas lahan yang disertifikatkan, aturan pengelolaan yang sepenuhnya bergantung pada instruksi pemerintah, hingga berubahnya pola pertanian masyarakat dari kemenyan dan andaliman menjadi kentang, bawang merah dan bawang putih.

"Selama ini masyarakat hidup dari tanaman kemenyan dan andaliman dengan metode pengambilan hasil dua minggu sekali. Berubahnya jenis tanaman memaksa masyarakat harus setiap hari turun ke lahan. Perbedaan pola bertani secara mendadak tentu berpengaruh pada kinerja dan hasil yang diharapkan," ucapnya.

Belum lagi terkait Masyarakat Hukum Adat Pandumaan-Sipituhuta, rencana pembangunan food estate dalam skala besar justru ditenggarai sebagai salah satu penyebab berkurangnya luasan hutan adat mereka.

Terbitnya SK.8172/MENLHK-PSKL/PKTHA/PSL.1/12/2020 Tentang Penetapan Hutan Adat Tombak Hamijon Seluas 2.393,83 menimbulkan tanda tanya besar. Luas hutan adat yang mereka terima jauh menyusut dari usulan awal yang mencapai 6.000 hektare.

"Munculnya berbagai polemik itu disebabkan pemerintah tidak sepenuhnya melibatkan masyarakat dalam mengambil kebijakan pembangunan food estate. Proses penentuan lahan, sosialisasi dan persipan penanaman pun dilakukan tidak lebih dari 5 bulan," tegas Amin.

Amin mengungkapkan, potensi konflik semakin besar jika melihat pengembangan proyek food estate menggunakan pendekatan pertahanan dan keamanan. Hal ini dibuktikan dari leading sector proyek food estate dipegang oleh Kementerian Pertahanan, bukan Kementerian Pertanian.

"Terjemahannya dilapangan bisa kita saksikan melalui wacana Pelibatan Komponen Cadangan (KOMCAD) yang baru-baru ini telah memiliki payung hukum melalui PP 3/2021. Ada juga surat Telegram Kapolri Nomor ST/41/I/Ops.2./2021 ihwal mendukung kebijakan pemerintah membangun ketahanan pangan nasional. Potensi konflik dan pelanggaran HAM terhadap masyarakat sangat mungkin terjadi kapan saja," ungkap Amin.

Polemik lain yang banyak mendapat sorotan adalah soal potensi deforestasi hutan di Sumatera Utara. Sekalipun hingga saat ini pembangunan food estate di Sumatera Utara masih berada diluar kawasan hutan (215 Hektare), namun lahirnya Permen LHK 24/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan Untuk Pembangunan Food Estate bisa menjadi pintu gerbang deforestasi.

Staf Kajian Dan Penelitian KontraS, Rahmad Muhammad, menilai Permen LHK 24/2020 menyediakan mekanisme perubahan hutan Lindung menjadi Kawasan Hutan Untuk Ketahanan Pangan (KHKP) guna mendukung proyek food estate. Permen tersebut memang menyatakan bahwa hanya hutan lindung yang tidak lagi berfungsi lindung yang boleh digunakan.

"Idealnya Pemerintah mengambil kebijakan memperbaiki hutan lindung yang sudah rusak, bukan sebaliknya," ujarnya.

Ia menambahkan, penggunaan kawasan hutan untuk proyek food estate potensial bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, misalnya dalam UU 41/1999 Tentang kehutanan. Fungsi hutan hanya dapat digunakan sebagai fungsi kawasan, jasa lingkungan dan pemanfaat hutan bukan kayu.

"Dalam pasal 30 Permen LHK 24/2020, Kawasan Hutan Untuk Ketahanan Pangan dapat berlaku sebagai izin pemanfaatan kayu. Hal ini berarti bahwa kawasan hutan lindung dapat ditebang kayunya dengan dasar KHKP," terang Rahmad

Selanjutnya Permen tersebut juga memberikan persyaratan membuka lahan dengan mekanisme KLHS (Kajian Lingkungn Hidup Strategis) cepat. Penggunaan KLHS cepat terkesan hanya memudahkan, sedangkan pada penyelenggaran tidak matang.

Dari data yang KontraS himpun, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara telah mengusulkan 61.042,09 hektare kawasan hutan untuk dijadikan wilayah pengembangan food estate yang tersebar di Humbang Hasundutan, Tapanuli Tengah, Tapanuli Utara dan Pakpak Bharat.

Dari usulan tersebut, Kementerian Lingkungan Hutan dan Kehutanan (KLHK) menyetujui seluas 33.942 Hektar. Kawasan itu terdiri dari dua jenis. Pertama, Hutan Produksi Konversi (HPK) seluas 12.790 Hektar. Kedua, pencadangan kawasan hutan produksi (HP) dan hutan produksi tetap (HPT) seluas 21.152 Ha.

Rekomendasi KontraS

Pada prinsipnya, KontraS sangat sepakat jika ancaman krisis pangan di tengah pandemi Covid-19 segera diatasi. Namun mengatasinya bukan dengan mempercepat laju pembangunan food estate. Dalam banyak aspek, ketergesa-gesaan membangun proyek ini mengakibatkan berbagai persoalan baru. Mulai dari potensi konflik hingga mendorong massifnya kerusakan lingkungan.

Kemasan proyek food estate sebagai solusi ketahanan pangan tidak seindah kenyataan. Untuk itu, Pemerintah harusnya mengkaji ulang rencana pembangunan food estate berskala besar di Sumatera Utara.

Dalam perspektif KontraS, mengatasi persoalan pangan adalah dengan melaksanakan Reforma Agraria, yakni melakukan penataan ulang struktur penguasaan tanah, lalu kemudian mendistribusikannya pada petani dan masyarakat kecil.

"Pemerintah wajib mengatasi persoalan pangan dengan kembali meletakan petani sebagai tulang punggung utama. Salah satunya dengan mendistribusikan tanah kepada petani kecil, terutama kepada petani pangan," tegas Amin Multazam.

Amin menambahkan, dalam konteks Sumatera Utara, ada begitu banyak lahan pertanian pangan yang kini berubah menjadi areal perkebunan dan dikuasai korporasi besar. Belum lagi proses beroperasinya korporasi itu sering kali diawali dengan menggusur para petani kecil.

"Jika pemerintah serius mengatasi ancaman pangan, maka sudah semestinya negara hadir dalam memberikan perlindungan kepada petani. Itu baru langkah konkret untuk menciptakan keadilan dan perlindungan terhadap petani sebagai produsen pangan," tambahnya.

Selain itu, KontraS juga mendesak pemerintah untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Bukan sekedar ketahanan pangan. Kedaulatan pangan merupakan pemenuhan pangan melalui produksi lokal. Memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya di wilayahnya. Bukan mendikte masyarakat seperti pada proyek food estate ini.

"Jika dimaknai, ketahanan pangan berkenaan dengan tujuan, sedangkan kedaulatan pangan adalah jalan mencapainya. Jadi, persoalan krisis pangan ditengah situasi pandemi bisa diatasi tanpa harus mengorbankan petani, masyarakat adat dan merusak lingkungan," tandas Amin.

(JW/EAL)

Baca Juga

Rekomendasi