Forensik Satwa Membongkar Kejahatan

Ole: Bambang Riyanto

Kejahatan terhadap satwa liar kian hari kian mengkhawatirkan. Non go­vernment organization (NGO) atau di In­donesia dikenal dengan lembaga swad­aya masyarakat (LSM) yang konsern terhadap isu penyelematan satwa liar di lapangan kerap mendapati kesulitan dalam proses identifikasi satwa liar yang meninggal, untuk kemudian membongkar dugaan prak­tik kejahatan.

Mengetahui sebab meninggalnya ga­jah, misalnya, akan menentukan pro­ses kebijakan lebih lanjut. Terma­suk kebijakan melaporkan ke pihak ber­­wajib, sebab bisa jadi, gajah se­nga­ja dibunuh oleh sindikat kejahatan ter­­hadap satwa liar. Proses identifikasi juga akan membuka jalan siapa pelaku ke­jahatan dan bagaimana pola ke­ja­hat­­an dilakukan.

Persoalan mengautopsi satwa liar, untuk mengetahui secara pasti apakah ada tindak kejahatan atau tidak ter­nyata bukan perkara mudah. gajah, mi­salnya, harus diuji di laboratorium fo­rensik. Melibatkan banyak pihak, pe­nguji DNA, dokter hewan, aparat ke­polisian, NGO dan Kementerian Ling­kungan Hidup. Minimnya penge­ta­huan dan tenaga sumber daya manu­sia (SDM) yang profesional menjadi ken­dala lain, bagaimana forensik sat­wa liar tidak maksimal dilakukan.

Ketua Umum Asosiasi Patologi Veteriner Indonesia (APVI) Prof Dr drh Bambang Pontjo MS menjelaskan, di Indonesia saat ini belum ada dokter he­wan yang tersertifikasi, padahal dok­ter hewan merupakan ujung tom­bak dalam proses identifikasi awal pe­­nyebab kematian satwa liar. Ke­tia­daan tenaga profesional itu, me­mung­kinkan adanya kesalahan diagnosis sehingga bisa mengaburkan penyebab kematian satwa liar.

Forensik veteriner termasuk pato­lo­gi forensik, menurut Prof Bambang meru­pakan aplikasi pengetahuan ve­teriner untuk keperluan diagnostik fo­rensik. Dengan forensik veteriner akan menja­wab pertanyaan bagai­ma­na, siapa, apa, kenapa, kapan dan di mana kejadian ter­hadap kejahatan sat­wa terjadi. “Ber­peran penting dalam se­mua aspek dari pekerjaan forensik da­lam membantu dan mendukung in­ves­tigasi dan pemeriksaan atau penun­tut­an kasus kriminal,” ujar Prof Bam­bang.

Dokter hewan yang memiliki tugas fo­rensik veteriner juga kerap dijadikan saksi ahli untuk membuktikan dan memberatkan hukuman para pelaku tindak kejahatan satwa liar. Bila dokter hewan tidak memiliki kualifi­kasi yang baik maka, bisa menjadi ken­­dala dalam penegakkan hukum. Me­reka bisa melenggang bebas atau ha­nya mendapatkan hukuman mini­mal tanpa efek jera.

Prof Bambang mengatakan, selama ini dokter hewan yang melakukan fo­rensik veteriner adalah dokter he­wan yang bekerja di Kementerian Lingku­ngan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA). Bila ada dite­mu­kan hewan yang mati, masyarakat atau NGO menghubungi pihak kepo­li­sian yang datang untuk olah tempat ke­jadian perkara (TKP). Setelah olah TKP, biasanya pihak berwajib memin­ta identifikasi melalui forensik penye­bab kematian sang hewan. Ahli foren­sik veteriner dan polisi akan bahu mem­­bahu mengungkap kematian sang satwa liar.

Senior Wildlife Crime Specialist dari Wildlife Conservation Society-Indonesia, Giyanto mengungkapkan perlunya koordinasi antarlembaga terhadap analisis forensik satwa liar. Bukan hanya kepada hewan yang mati, namun juga terhadap hewan-hewan yang diketahui diselundupkan untuk diperjual beli di pasar gelap. Dengan proses identifikasi yang baik, hewan yang diamankan dari hasil penggagalan penyelundupan akan dikembalikan ke habitatnya dengan be­nar. “Bila salah, satwa liar tidak akan mampu beradaptasi dan akan ter­jadi persilangan genetis sehingga asal-usulnya tidak murni lagi,” ujar Giyanto.

Direktur Konservasi Keanekara­gaman Hayati (KKH) Kementerian Lingkungan Hidup, drh Indra Eksplo­ta­sia mengungkapkan, kasus satwa liar yang paling sering dijumpai yaitu kasus kematian yang diduga dise­bab­kan keracunan, penem­ba­kan, pe­nye­truman, penjeratan dan luka. Untuk memastikan dugaan-dugaan itu maka dibutuhkan Wildlife Fo­rensic Team yang terdiri dari be­berapa lembaga untuk mengungkap kasus kematian dan kejahatan satwa liar. “Kebutuhan akan tim itu men­de­sak, karena kejahatan satwa liar di In­­donesia kini menempati peringkat ketiga, setelah narkoba dan perdaga­ngan manusia,” ujarnya.

Berdasarkan hal tersebut, drh Indra mendukung penuh pembentukan Wild­life Forensic Team yang diru­mus­­kan dalam Workshop dan FGD Sis­tem Kerja Forensik Satwa Liar yang digelar selama dua hari di Me­dan. Menurutnya kegiatan yang di­ga­gas Konsorsium Vesswic-FKH (F­a­kul­tas Kedokteran Hewan) UGM de­ngan dukungan dari Tropical Forest Conservation Act (TFCA) mampu men­jadi langkah awal untuk meru­mus­kan tim forensik satwa liar. “De­ngan hadirnya para stakeholderseperti dari Bareskrim Polri, dokter hewan, ahli veteriner, forensik, DNA, NGO dan sebagainya akan memberi masu­kan bagaimana sebaiknya sistem koor­dinasi dilakukan,” ujarnya.

Direktur TFCA Sumatera Samedi PhD mengatakan, dukungan terhadap kegiatan tersebut merupakan bagian dari dukungan TFCA terhadap penanggulangan hutan dan satwa liar di Indonesia. “Kita akan lihat sejauh mana diskusi ini dilakukan, bila me­mang dibutuhkan diskusi lanjutan maka kita siap memberi dukungan. Saya kira pembentukan tim forensik satwa liar ini memang sangat dibutuh­kan,” ujarnya.

Dengan sinergitas, maka akan ter­lihat bagaimana sistem koordinasi an­tarlembaga sehingga mampu meng­ung­kap kasus kematian satwa liar yang ba­nyak dijumpai. Lebih dari itu, kema­tian satwa liar yang diungkap melalui forensik juga akan mengung­kap modus serta siapa pelaku kejahatan yang sebenarnya. Forensik satwa liar akan bercerita kepada khalayak, ba­gaimana kejinya pembantaian dan pe­nyelundupan yang dilakukan oleh para pe­laku kejahatan satwa liar. Tubuhnya yang kaku, dengan bantuan tim forensik, diharapkan mampu menjadi pem­buka jalan: siapa ia yang paling ber­tanggung jawab.

()

Baca Juga

Rekomendasi