Keluarga Korban Kecelakaan Sriwijaya SJ 182 Bisa Tuntut Boeing

Keluarga Korban Kecelakaan Sriwijaya SJ 182 Bisa Tuntut Boeing
Pakar hukum penerbangan Prof. Dr. Ahmad Sudiro (kanan) dan Danto dari kantor pengacara Danto dan Tomi & Rekan (Analisadaily/Sutrisno)

Analisadaily.com, Jakarta - Kecelakaan pesawat Sriwijaya Air SJ 182 di Pulau Laki, Kepulauan Seribu, Sabtu (9/1), rute Jakarta-Pontianak menimbulkan korban jiwa 50 penumpang dan 12 awak kabin pesawat.

Columbanus Priaardanto dari Kantor Pengacara Danto dan Tomi & Rekan, mengungkapkan, selain kompensasi dari maskapai, keluarga korban bisa menuntut Boeing jika ditemukan adanya masalah teknis atau cacat produk.

"Namun demikian, kita tunggu hasil investasi KNKT untuk mengetahui penyebab kecelakaan tersebut," ujarnya di Jakarta, Sabtu (23/1).

Danto mengakui, dirinya sudah mendapat kuasa dari 4 keluarga dari korban kecelakaan pesawat. Danto menyarankan keluarga korban untuk tidak menandatangani Release and Discharge (R&D) saat menerima santunan dari maskapai.

"Kami akan mendampingi empat keluarga korban kecelakaan ketika nanti menerima santunan dari Sriwijaya Air," ucapnya.

Dekan dan Guru Besar FH Universitas Tarumanegara, yang juga pakar penerbangan, Prof. Dr. Ahmad Sudiro mengatakan, dalam peristiwa kecelakan pesawat, terdapat hak-hak ahli waris korban yang harus diperhatikan dan dipenuhi oleh para pihak yang dianggap bertanggung jawab.

"Ganti kerugian dari pengangkut tidak mengurangi dan tidak melepaskan pihak- pihak lain yang diduga turut bertanggung jawab, dan untuk tetap dituntut ganti kerugian atas terjadinya kecelakaan pesawat," sebut Ahmad.

Ahmad menambahkan, ada aturan Menteri Perhubungan terkait kompensasi penumpang pesawat yang mengalami kecelakaan. Ada juga sejumlah pelajaran yang bisa diambil dari kejadian jatuhnya pesawat Lion Air JT 610 pada 29 Oktober 2018.

Namun, lanjut Ahmad, keluarga korban yang terlanjur menandatangani R&D bisa menuntut ke pabrikan pesawat di Amerika Serikat. Akan tetapi mendapatkan santunan yang besarnya hanya sekitar 30 persen dibanding mereka yang menolak menandatangani R&D.

"Memilih pengacara yang memiliki pengalaman dalam menangani kasus penerbangan seperti ini akan sangat membantu perlindungan hak perdata bagi keluarga dan ahli waris korban," jelas Ahmad.

(TRY/RZD)

Baca Juga

Rekomendasi