Umur dan Usia

Oleh: Hari Murti, S. Sos

DI FORUM-FORUM agama, di khotbah salat Jumat misalnya, penceramah selalu mengingatkan kita tentang pentingnya memanfaatkan waktu sebaik-baiknya untuk beribadat kepada Tuhan dan berbuat baik pada sesama makhluk. Di dalam ceramah tersebut, sering penceramah membedakan pengertian Umur dengan Usia. Menurut penceramah, umur adalah jatah waktu hidup yang diberikan Tuhan kepada manusia di dunia. Jadi, umur adalah durasi hidup manusia sejak lahir sampai mati. Masih menurut penceramah yang didasarkan oleh hadis Nabi Muhammad, umur manusia, dalam hal ini umat Islam khususnya, tidak banyak berbeda dengan umur nabi-nya, yaitu sekitar 60 - 70-an tahun. Sedangkan usia, ia adalah sebagian dari umur yang sudah dijalani manusia. Misalnya, jika saya “dijatah” Tuhan berumur 75 tahun, maka saya sudah menghabiskan 35 tahun (usia) dari 75 tahun tersebut. Artinya, ketika usia saya bertambah, maka umur saya semakin berkurang.  

Tapi, kita tidak akan bicara agama di sini. Kita mau bicara tentang bahasa, tepatnya kata Umur dan Usia ini. Dalam kamus bahasa Indonesia, kedua kata tersebut cenderung sinonim. Umur adalah ‘lama waktu hidup atau ada’ (sejak dilahirkan atau diadakan). Sedangkan usia adalah ‘umur’. Di belakang arti kata usia dalam kamus tersebut, terdapat tanda dalam kurung yang di dalamnya tertulis “lebih takzim”. Jadi, kata usia terasa lebih tinggi rasa bahasanya dibanding umur, bukan berbeda artinya seperti yang dimaksudkan oleh penceramah agama yang dijelaskan dalam paragraf pertama di atas.

Kita juga tidak bermaksud membanding-bandingkan mana lebih benar pengertian usia dengan umur antara kamus dengan agama. Tetapi, karena kata  untuk menyebutkan jatah waktu hidup yang diberikan Tuhan pada seseorang itu belum dikenal atau tidak ada dalam bahasa Indonesia dan di sisi lain kata umur dan usia dalam kamus bahasa Indonesia cenderung bersinonim, bagaimana kalau kata umur maknanya mengikuti pengertian yang diberikan agama saja. Dengan kata lain, bahasa Indonesia  tidak memiliki kata yang singkat apalagi dikenal luas untuk menyebutkan durasi atau jatah lama waktu hidup manusia. Tetapi, untuk menyebut waktu hidup yang sudah dijalani dari total jatah waktu hidup yang diberikan Tuhan pada manusia, terdapat dua kata sekaligus, yaitu umur dan usia tadi. Di sisi lain lagi, karena agama begitu kuat tertanam dalam jiwa kita, maka arti umur versi agama sudah begitu lekat, yaitu jatah waktu hidup yang diberikan pada manusia sejak lahir sampai wafat nanti. Maka, akan sangat baik bila sejak sekarang kata  umur  diberi makna sebagai ‘durasi waktu hidup mulai lahir sampai wafat’, sedangkan usia adalah kata yang menunjukkan waktu hidup yang sudah dijalani manusia.

Tetapi, ini hanya saran. Sebab, rasanya agak kurang  bijak  kalau satu buah  makna sampai memiliki dua kata bersinonim sekaligus untuk menunjukkannya, sedangkan saudara dari kata itu, yaitu durasi waktu hidup, tidak, belum, atau tidak dikenal luas dalam bahasa Indonesia untuk menunjukkannya. Untuk menunjukkan waktu hidup yang sudah dijalani, ada dua kata sekaligus, tetapi tidak satu kata pun untuk menunjukkan jatah waktu hidup total orang sejak lahir sampai wafat. Analoginya, Anda punya dua sepeda motor untuk menuju satu tempat yang sama dengan saudara Anda yang tidak memiliki satu pun sepeda motor.  Sangat baik kalau Anda memberikan satu sepeda motor pada saudara Anda dibanding Anda naik dua sepeda motor sekaligus. Salah-salah, karena dua sepeda motor untuk satu orang, satu sepeda motor Anda hilang padahal saudara Anda sampai tidak ke mana-mana karena tidak ada kendaraan. Hilang sepeda motor itu analogi dari punahnya salahsatu dari dua kata yang bersinonim tersebut, apakah umur atau usia yang hilang karena kedua kata tersebut bersaing.***

Penulis adalah Pamong Bahasa di Sumatera Utara oleh Badan Bahasa, angkatan ketiga.

()

Baca Juga

Rekomendasi